JAKARTA, TODAY — TransparÂency International (TI) merilis hasil Corruption Perception Index (CPI) atau Indeks PerÂsepsi Korupsi (IPK) 2015, Rabu(27/1/2016). Tahun ini, IPK Indonesia meraih skor 36 dari rentang 0-100 dan menduduki peringkat 88 dari 168 negara yang diukur. Hasil ini lebih baik dibanding tahun sebelumÂnya dimana Indonesia hanya meraih skor 34 dan bertengger di peringkat 107 dari 175 negara yang diukur. Meski demikian, bukan berarti IndoneÂsia telah bersih dari korupÂsi.
Direktur Program TransparenÂcy International Indonesia, Ilham Saenong memaparkan, perbaikan skor dan peringkat IPK IndoneÂsia disumbang oleh peningkatan layanan publik, perbaikan dari segi akuntabilitas, dan efektifitas pencegahan korupsi serta reforÂmasi birokrasi yang menunjukÂkan adanya perbaikan. Namun, Ilham mengungkapkan, skor IPK Indonesia tidak dapat melonjak secara signifiÂkan karena publik, termaÂsuk pelaku usaha memiliki persepsi masih maraknya suap dan korupsi di sektor penegakan hukum dan politik. “Indonesia menunjukkan kenaikan konsisten dalam pemberantasan korupsi, namun terhambat masih tingginya korupsi di sektor penegakan huÂkum dan politik,†kata Ilham dalam peluncuran Corruption PercepÂtions Index 2015 di Jakarta, Rabu (27/1/2016).
Ilham menyatakan, pelaku usÂaha sangat sensitif dengan kepasÂtian penegakan hukum. Dikatakan, tanpa kepastian hukum dan penguÂrangan penyalahgunaan kewenanÂgan politik, kepercayaan publik terhadap pemerintah akan turun. “Iklim usaha memburuk dan kesÂejahteraan warga akan terancam,†tegasnya.
Selain itu, Ilham mengungkapÂkan, terdapat sejumlah sektor yang masih rentan dan rawan terjadinya tindak pidana penyuapan. Sektor-sektor tersebut diantaranya sektor kontruksi, pertambanagn, migas, industri, perdagangan, dan kehutaÂnan. “Penegakan hukum jadi persoÂalan dan masih ada area yang harus diperbaiki. Suap menyuap merusak iklim persaingan usaha,†katanya.
Meski secara skor dan peringÂkat IPK Indonesia membaik, hal itu belum cukup menandingi skor dan peringkat yang dimiliki oleh MalayÂsia yang memiliki IPK 2015 dengan skor 50 dan Singapura (85), serta Thailand (38). Skor IPK Indonesia pun masih di bawah skor rata-rata negara-negara di ASEAN, yakni 40, rata-rata Asia Pasifik (43), dan rata-rata diantara negara-negara yang tergabung dalam G20 (54).
IPK merupakan indeks gabunÂgan yang mengukur persepsi pelaku usaha dan pakar terhadap korupsi di sektor publik yaitu korupsi yang dilakukan oleh pegawai negeri, penyelenggara negara dan poliÂtisi. Skor IPK berada pada rentang 0-100. Negara dengan skor 0 berarti negara dipersepsikan sangat korup. Sebaliknya, negara yang memiliki skor IPK 100 berarti dipersepsikan sangat bersih.
Sejak diluncurkan Transparency International pada tahun 1995, IPK telah digunakan oleh banyak negara sebagai rujukan tentang situasi koÂrupsi dalam negeri dibandingkan dengan negara lain.
Indeks tahunan ini merupakan barometer global yang disusun berÂdasarkan opini para ahli mengenai korupsi di sektor publik. Berbagai faktor mempengaruhi peringkat negara-negara dunia seperti keterliÂbatan pimpinan pemerintah dalam kasus korupsi atau yang tidak diÂhukum karena setelah melakukan penyelewengan, pandangan terhaÂdap penyuapan, dan respons instiÂtusi publik terhadap kebutuhan maÂsyarakat.
Dengan sistem penilaian 100 menunjukkan sangat bersih, dan 0 sangat korup, Denmark menduduki peringkat pertama negara paling bersih di dunia dengan skor 91. SeÂdangkan peringkat terbawah dihuni Korea Utara (Korut) dan Somalia sebÂagai negara terkorup dengan skor 8.
Amerika Serikat (AS) berada di peringkat 16 dengan skor 76, seÂdangkan negara super power lainÂnya China dan Rusia menempati peringkat 83 dan 119 dengan nilai masing-masing 37 dan 29. “Indeks Persepsi Korupsi 2015 secara jelas memperlihatkan bahwa korupsi tetap menjadi sesuatu yang meruÂsak di seluruh dunia. Namun 2015, juga merupakan tahun di mana orang-orang kembali ke jalanan unÂtuk memprotes korupsi, masyarakat di seluruh dunia mengirimkan sinyÂal yang kuat kepada para penguasa: Ini waktunya melawan korupsi,†ungkap Pimpinan Transparency, Jose Ugaz sebagaimana dilansir AsÂsociated Press, Rabu (27/1/2016).
Transparency mencatat di beÂberapa negara seperti Guatemala, Sri Lanka dan Ghana, rakyat dan aktivis berjuang keras untuk memÂberantas korupsi. Mereka juga menÂgatakan, meski dua pertiga dari toÂtal 168 negara mendapatkan skor di bawah 50 dan rataan global hanya berada di angka 43, sebanyak 64 negara menunjukkan peningkatan skor dan hanya 53 yang mengalami penurunan.
Sebuah laporan baru meÂnyatakan bahwa Somalia, Korea Utara dan Afghanistan sebagai negÂara-negara yang paling korup di seÂluruh dunia.
Tidak ada negara mendapatkan nilai sempurna 100, tetapi beberaÂpa negara mendapatkan skor yang mendekati sempurna, yaitu DenÂmark dengan skor 91, sementara Finlandia dan Swedia masing-masÂing dengan skor 90, atau merupakÂan negara-negara yang paling bersih dari korupsi.
Transparency International juga mengatakan bahwa lebih dari 6 miliar penduduk dunia – atau 81 persen lebih dari populasi global (dari sekitar 7,4 miliar populasi penduduk dunia) – masih tinggal di negara-negara “dengan masalah korupsi yang serius.†Wilayah denÂgan kinerja korupsi terburuk adalah negara-negara di sub-Sahara Afrika.
Kawasan Asia, menurut laporan itu, adalah wilayah yang disatukan oleh (budaya) korupsi, namun baru menunjukkan langkah-langkah yang sedikit untuk mengambil tinÂdakan tegas melawan korupsi.
(Yuska Apitya Aji)