MirzaAlasan perlambatan ekonomi Indonesia dan munculnya gejolak pada sektor keuangan sejak 2013 lalu, selalu terkait dengan situasi global. Kenapa demikian? Karena harus diakui, perekonomian Indonesia sangat bergantung kepada asing.

Oleh : Alfian Mujani
[email protected]

Demikianlah diungkapkan Deputi Gu­bernur Senior Bank Indonesia (BI), Mirza Adityaswara, dalam seminar bertemakan Arah Kebijakan Mone­ter dan Fiskal di 2016, di Graha CIMB Niaga, Jakarta Selatan, Jumat (29/1/2016)

“Kenapa harus memperhatikan ekster­nal? Funding negara ini banyak datang dari eksternal. Jadi suka tidak suka, terlepas dari nasionalisme kita, funding kita banyak sekali dari luar,” jelasnya.

Hal ini memang berawal dari kebijakan pemerintah yang merancang Anggaran Pendapatan dan Belanja (APBN) dalam pos­tur defisit. Untuk menutupi belanja yang san­gat besar, sementara pendapatan yang masih rendah, maka harus ada penarikan utang. ‘’Cukup besar dari asing,’’ katanya.

“Karena dana di dalam negeri tidak cukup, pemerintah tidak bisa pinjam dari perbankan karena akan berkom­petisi dengan yang lain, mau tidak mau dana itu datang dari luar negeri. Sekitar 38% Surat Berharga Negara (SBN) dimiliki asing,” terangnya.

BACA JUGA :  Cemilan Manis Gurih dengan Puding Pandan Thai (Kanom Piakpoon), Mudah Dibuat

Posisi utang tersebut sangat rentan bila terjadi gejolak global. Dana yang tadinya di dalam neg­eri, bisa secara tiba-tiba keluar dan memberikan pengaruh buruk ter­hadap perekonomian. Terutama pada kondisi nilai tukar rupiah. Belum lagi ada permasalahan utang luar negeri korporasi swasta.

“Penting kita menjaga confi­dence dan stabilitas flows ini. Be­lum lagi kalau kita bicara utang luar negeri swasta. Utang luar negeri harus dikelola dengan baik. Utang luar negeri swasta saat ini USD167 miliar,” kata Mirza.

Mirza menambahkan, sejak 2013 kondisi Indonesia sangat dipen­garuhi oleh eksternal, yakni ke­bijakan moneter Amerika Serikat (AS). Dari penarikan stimulus hing­ga kenaikan suku bunga acuan oleh Bank Sentral AS Federal Reserve (The Fed). Ini memicu pelemahan rupiah yang dalam dan turunkan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG). “Sejak saat itu sampai 2015 terjadi gejolak kurs di seluruh du­nia,” imbuhnya.

BACA JUGA :  Perumda PPJ Akan Renovasi Pasar Merdeka, Bakal Ada Rooftop Kuliner

Tidak hanya Indonesia, nilai tukar Brasil melemah 33%, Afrika Selatan melemah 27% dan negara maju seperti Norwegia melemah 40%, Selandia Baru melemah 16%, Australia melemah 32% terhadap dolar AS.

“Hanya 2 mata uang yang men­guat yaitu dolar dan swiss franc. Karena saat seperti itu, maka capi­tal outflow dari emerging markets terjadi,” jelasnya.

Maka dari itu, Mirza menilai per­lu ada upaya menjaga kestabilan perekonomian dalam negeri. Baik berupa pengendalian inflasi, defisit transaksi berjalan dan lainnya.

“Itulah mengapa pemerintah dan BI selalu menjaga prudent. Arti prudent dari BI adalah inflasi harus turun, defisit ekspor-impor harus di level yang kita bisa danai. Peri­ode 2013-2015 adalah periode di mana kita turunkan inflasi, defisit ekspor-impor, dan ULN,” papar Mirza.

(detik)

Bagi Halaman
============================================================
============================================================
============================================================