BERJALANLAH ke arah Rancamaya dan perhatikan dengan seksama relief alam di sana. Kawasan itu merupakan daerah yang meninggalkan sisa kerjanyata Prabu SribaÂÂduga Maharaja yang legendÂÂaris. Yaitu, pembangunan infrastruktur berupa Sakakala Gugunungan, tanda peringatan berupa perbukitan buatan.
Oleh : Bang Sem Haesy
Sasakala gugunungan, kemudian kita kenal sebagai bukit Badigul sepanjang 7 (tujuh) kilometer di sebelah tenggara kota Bogor kini. Uniknya, bukit ini berbentuk paÂÂrabola, yang sebagiannya kini namÂÂpak kering dibandingkan dengan bukit-bukit di sekelilingnya. Kaki bukit ini terhubung dengan tepi telaga Rena Mahawijaya, yang kini sudah menjadi permukiman.
Sasakala gugunungan itu, dilengkapi dengan jalan berbalay (jalan dengan penetrasi bebatuan) yang pada tahun 1687 ditemukan oleh ekspedisi Scipio, antara BoÂÂgor – Rancamaya. Jalan ini sangat rapi dan nampak pembangunanÂÂnya didesain dengan teliti. Tahun 1690, Adolf Winkler menemukan sebuah jalan berbatu yang lebih rapi, tak jauh dari lokasi Prasasti Rancamaya.
7 (tujuh) batang beringin meÂÂnandai jalan yang terhubung ke wilayah paseban, disertai dengan sisa bangunan keraton. Winkler meyakini, itulah salah satu peningÂÂgalan fisik Pajajaran yang bisa diteÂÂmukan, karena pada dasarnya, yang ditinggalkan para raja Pajajaran lebÂÂih banyak sistem nilai kehidupan.
Seperti pembangunan inÂÂfrastruktur lainnya, jalan ini juga dilengkapi dengan hutan (leuweÂÂung), yang disebut samada. Yaitu, hutan yang teri ragam pepohonan, yang kayunya wangi dan diperguÂÂnakan untuk pembakaran jenazah. Jenis pohon kayu itu, sama dengan kayu yang tumbuh di desa Trunyan – Bali. Kayu samida sebagaimana halnya pinus, mengandung terpenÂÂtin, sehingga mudah terbakar.
Jenis hutan samida ini juga ditemukan Winkler tumbuh di perbatasan Pakuan. Itu sebabnya, tanda khas dari Pakuan sebagai ibukota kala itu, adalah wangi. Saya menyebutnya sebagai aroÂÂma Pakuan, yang memengaruhi udara Pakuan ketika itu, sehingga masyarakatnya juga disehatkan oleh udara yang dihasilkan oleh hutan samida. Layaknya kita menÂÂdapatkan aroma terapi kayu khas, bila kita pergi ke spa kini.
Secara filosofis, korelasi inÂÂfrastruktur dengan hutan yang meÂÂnyertai dan melindunginya, memÂÂberikan gambaran, bagaimana desain pembangunan fisik mesti senantiasa memperhatikan asÂÂpek harmoni dengan alam. Dalam konteks itu berlaku prinsip, ketika pembangunan infrastruktur harus mengorbankan hutan (tatangkaÂÂlan), maka pada saat pembanguÂÂnan dilakukan, harus ditanam jumÂÂlah tatangkalan sama banyaknya dengan yang ditebang. Dengan deÂÂmikian produksi O2 yang dihasilkan tetap dalam volume yang sama.
Setiap pembangunan inÂÂfrastruktur, baik berupa jalan atau bangunan, harus terlebih dahulu menghitung dengan teliti dan sekÂÂsama, top soil yang akan dikupas dan tanah yang akan digali. Maka pada saat bersamaan, seluruh jenis flora yang terdapat di atas lapisan tanah itu, tidak dibuang begitu saja.
Dalam konteks policy design, atau rancang kebijakan, kini dapat dipertimbangkan peraturan daeÂÂrah, bahwa di setiap proyek pemÂÂbangunan harus tersedia tempat mengamankan top soil, sekaligus tempat penyemaian flora yang terÂÂdapat di areal itu. Dengan demikian, ketika pembangunan infrastruktur selesai, top soil dan beragam jenis flora semula dapat ditempatkan lagi di lokasi yang bersangkutan.
Dengan cara demikian, maka jenis flora dan fauna, termasuk yang berada di dalam tanah, akan tetap hidup dan ketika ditempatÂÂkan kembali setelah pembangunan usai, dapat meneruskan fungsinya semula. Termasuk memelihara keÂÂseimbangan alam.