minyak-mentah-duniaJAKARTA, TODAY — Harga minyak dunia pada awal perdagangan Februari kembali turun setelah Korea Selatan (Korsel) mencatat data ekspornya mengalami pelemahan terdalam se­jak 2009 dan prospek produksi berkurang.

Tercatat pada Senin (1/2/2016), harga minyak brent diperdagangkan pada harga USD35,55 per barel pada pukul 00.47 GMT, turun 44 sen atau 1,2% dari penutupan terakhir. Begitu juga dengan harga minyak Amerika Serikat (AS), West Texas Intermediate (WTI) turun 32 sen menjadi USD33,30 per barel.

Korea Selatan mencatat penurunan ekspor hingg 18,5% dari tahun ke tahun atau senilai USD36,7 miliar, turun ke level terendah sejak terjadi pada puncak krisis keuan­gan global pada 2009. Kem­erosotan ekonomi Asia utara berorientasi ekspor menjadi indika­tor terbaru dari perlambatan percepatan di perekonomian terbesar di Asia.

Pada saat yang sama, prospek pemo­tongan terkoordinasi produksi oleh ekspor­tir terkemuka seperti Organisasi Negara Pengekspor Minyak (OPEC) dan Rusia tam­paknya sulit untuk mewujudkan karena perbedaan antara produsen tersebut.

Selain itu, Iran sebagai anggota OPEC yang bulan ini diizinkan untuk sepenuhnya kembali mengekspor ke pasar setelah sank­sinya dicabut, tidak bersedia untuk berpar­tisipasi dalam pemotongan. “Kurangnya kemauan politik dapat menghalangi pros­pek kesepakatan,” kata ANZ Bank.

Sebagian karena pengembalian Iran, produksi minyak OPEC telah melompat ke 32,60 juta barel per hari (bph), tertinggi dalam setahun, menambah kelebihan pa­sokan minyak global lebih dari 1 juta barel minyak mentah yang diproduksi setiap hari lebih dari permintaan.

BACA JUGA :  Kurangi Overthinking dengan Lakukan 6 Kebiasaan Ini

Sementara itu, data ekonomi dari Cina menunjukkan sektor manufaktur dalam kondisi pertumbuhan tercepat dalam 3,5 tahun pada Januari lalu. Hal ini menambah kekhawatiran negara-negara konsumen ter­besar energi dunia karena pasar saat ini su­dah mengalami kesulitan pasokan.

Sementara, harga minyak jenis West Texas Intermediate turun 42 sen pada level US$ 33,20 per barel. Harga minyak kem­bali tertekan karena adanya pembatalan prospek pembatasan produksi dari negara-negara penghasil minyak, seperti Organiza­tion of the Petroleum Exporting Countries (OPEC) dan Rusia, karena masalah perbe­daan.

“Kami tidak memperhitungkan pem­batasan seperti ini dapat terjadi, kecuali jika pertumbuhan global turun tajam dari kondisi saat ini. Hal inilah yang tidak dira­malkan para ekonom,” kata pejabat Gold­man Sachs, seperti yang dilansir Reuters, Jakarta, Senin, (1/2/ 2016).

Selain itu, anggota OPEC, Iran, yang sejak bulan lalu diizinkan kembali ke pasar setelah sanksinya dipulihkan, juga tidak mau berpartisipasi dalam pembatasan ini. Dengan kembalinya Iran, harga minyak OPEC melonjak menjadi USD 32,60 juta per barel, yang menjadi harga tertinggi dalam setahun.

Tekanan harga itu menambah kele­bihan produksi sebanyak 1 juta yang me­nyeret harga minyak turun 70 persen se­jak pertengahan 2014. Karena kelebihan penawaran ini, analis di BMI Research men­gatakan mereka telah mengurangi proyeksi harga minyak. “Kami telah menurunkan perkiraan harga minyak Brent menjadi USD 40 per barel dari US$ 42,5,” kata analis di BMI. BMI berharap harga minyak jenis WTI berada pada level US$ 39,50 tahun ini. Harga minyak baru diperkirakan akan naik pada paruh kedua tahun ini.

BACA JUGA :  Lokasi SIM Keliling Kota Bogor, Selasa 16 April 2024

Sementara itu, Direktur Utama PT Per­tamina Dwi Soetjipto mengatakan dalam menghadapi merosotnya harga minyak du­nia, Pertamina berupaya menekan pembi­ayaan operasi. “Kami sedang bekerja keras untuk merumuskan strategi apa untuk kita bisa survive terhadap gempuran harga min­yak ini,” kata Dwi, Senin (1/2/2016).

Dwi menyebutkan, Pertamina sudah mengidentifikasi penekanan biaya yang su­dah berhasil diperoleh sebesar 25 persen. Pertamina menargetkan adanya menekan biaya sebesar 30 persen. “Artinya efisiensi harus menurunkan biaya sebesar 30 pers­en,” katanya.

Sepanjang 2016, Soecipto mengaku Pertamina telah melakukan penetrasi dalam upaya efisiensi pembiayaan. Namun, upaya tersebut harus lebih digali lagi un­tuk menekan biaya hingga 30 persen dari penurunan biaya operasi dan berbagai ma­cam upaya tertentu. Selain itu, jika langkah efisiensi dalam proses bisnis masih kurang, Pertamina akan masuk kepada upaya menurunkan pendapatan dan sebagainya. Baru setelah itu mengambil tindakan tera­khir yakni pengurangan tenaga kerja. “Tapi kami yakin masih banyak peluang di sektor efisiensi proses bisnis,” katanya.

Untuk itu, Pertamina akan mengevalu­asi penggunaan jasa, serta renegosiasi agar sama-sama baik bagi penyedia jasa. Dengan penekanan biaya hingga 30 persen, Dwi Soetjipto menilai dengan harga minyak USD 30 per barel, perusahaan masih akan tetap bisa bertahan.

(Yuska Apitya Aji)

============================================================
============================================================
============================================================