Tantangan lain yang dihadapi perekonoÂmian nasional adalah terkait dampak global yang ditimbulkan oleh proses normalisasi kebiÂjakan moneter Amerika Serikat (AS), baik dari sisi waktu maupun besaran perubahan tingkat suku bunga The Fed (Fed Fund Rate). Setelah suku bunga The Fed naik pada pertengahan Desember 2015, tahun ini diperkirakan perÂlahan masih akan naik.
Tantangan berikutnya adalah penurunan harga komoditas yang diperkirakan masih berlanjut pada 2016 sejalan berakhirnya super-cycle harga komoditas dan rendahnya permintaan dari negÂara tujuan ekspor. Pertumbuhan ekonomi China yang melambat berakibat pada menurunnya laju produksi, konsumsi, dan investasi sehingga memberikan pengaruh signifikan pada perekonomian global. China yang memiliki pangÂsa pasar global mencapai 56% ikut memukul penurunan kinÂerja ekspor Indonesia, terutama ekspor komoditas akibat turunnya permintaan komoditas dari China.
Di tengah perlambatan ekonomi global dan domesÂtik, kinerja ekspor dan impor juga terkena dampaknya. Pada 2015 kinerja ekspor dan impor kurang menggembirakan. Ter-depresiasinya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS ternyata tiÂdak mampu meningkatkan nilai ekspor nasional secara signifiÂkan. Perkembangan ekspor yang kurang menggembirakan di anÂtaranya disebabkan oleh banyak hal, terutama menyangkut anÂjloknya harga-harga komoditas ekspor utama di pasar dunia.
Sementara era booming ekspor komoditas pada tahun sebelumnya tidak dimanfaatkan oleh pemerintah untuk memperÂsiapkan diri meningkatkan daya saing ekspor nonmigas dan koÂmoditas, terutama sektor manuÂfaktur baik dalam memperkuat daya saing dan nilai tambah serta mengatasi defisit.
Pada 2015 ekspor IndoneÂsia turun 14,62% dari USD176,29 miliar menjadi USD150,25 milÂiar. Adapun nilai impor turun 19,89% dari USD178,18 menjadi USD142,74 miliar.
Faktor penting lainnya yang menghambat potensi peningkaÂtan ekspor adalah terbatasnya sarana dan prasarana penunjang ekspor serta pembiayaan perdaÂgangan ekspor dan impor (trade financing).
Prospek ekspor impor 2016 sangat dipengaruhi oleh tiga fakÂtor penting yaitu perkembangan ekonomi dan perdagangan dunia, iklim usaha yang memungkinkan dunia usaha untuk tumbuh dan berkembang secara wajar menuÂrut prinsip ekonomi efisiensi, serta perilaku dunia usaha dalam bersaing merebut pasar di luar negeri.
Pelemahan ekonomi tahun lalu juga telah menekan kinÂerja sektor perbankan. Risiko kredit meningkat yang memenÂgaruhi non-performing loan dan memengaruhi laba perusahaan akibat pelemahan rupiah. PenyalÂuran kredit melambat karena ke-mampuan sektor riil melambat dalam menyerap kredit.
Stabilitas fiskal juga menghaÂdapi tekanan akibat penurunan harga minyak dan tidak tercaÂpainya target lifting sehingga menekan penerimaan negara. Pada 2015 penerimaan negara dari migas hanya Rp177,47 trilÂiun atau hanya 85% dari target APBN Perubahan 2015. Produksi minyak sepanjang 2015 adalah 777,560 barel per hari atau 94,2% dari target yang ditetapÂkan pemerintah sebesar 825.000 barel/ hari. Sementara produksi gas juga di bawah target yakni 6.933,27 billion british thermal unit (BBTU) atau 97,9% dari tarÂget 7.079 BBTU.
Pemerintah menargetkan produksi minyak tahun ini sebesar 830.040 barel per hari dengan harga USD50/barel. SeÂmentara saat ini harga minyak mentah di perdagangkan dalam kisaran USD30/barel sehingga terjadi selisih sebesar USD20/ barel. Sementara itu, implikasinÂya terhadap APBN 2016, setiap terjadi pergeseran harga sebesar USD1/ barel terhadap harga minÂyak akan mengurangi peneriÂmaan negara sekitar Rp3,5 triliun hingga Rp3,9 triliun. Sementara pengaruhnya terhadap belanja negara sekitar Rp2,5 triliun hingÂga Rp3,6 triliun.
Baik dari sisi produksi mauÂpun fluktuasi harga, asumsi dalam APBN 2016 akan sulit terÂcapai. Konsekuensinya pemerÂintah harus merevisi APBN 2016 agar lebih realistis. Target produksi yang ditetapkan sebesar 830.040 barel per hari bakal sulit tercapai lantaran harga minyak mentah terus melorot. Kondisi ini membuat kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) malas-malasan menggenjot produksi lantaran keuntungan menjadi tipis.
Sementara dari sisi peneriÂmaan perpajakan juga tidak menÂcapai target. Dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) 2015, pemerÂintah menargetkan pendapatan negara sebesar Rp1.761,6 triliun dengan target penerimaan paÂjak Rp1.294 triliun. Hingga akhir 2015 pemerintah hanya mengumÂpulkan penerimaan Rp1.055,61 triliun atau 83% dari target.
Target penerimaan pajak pada 2016 sebesar Rp1.565,8 triliun. TarÂget itu meningkat 5% dari peneriÂmaan negara tahun ini. Dalam empat tahun terakhir, target penerÂimaan pajak tidak pernah tercapai. Potensi penerimaan pajak nasional masih cukup besar jika melihat tax ratio yang masih rendah.
Menjawab Tantangan
Di tengah tantangan eksterÂnal yang masih cukup berat, tanÂtangan Indonesia mewujudkan ketahanan ekonominya sangat bergantung pada kemampuan bangsa kita sendiri dalam mengeÂliminasi berbagai hambatan dan sekaligus kemampuan meningÂkatkan daya saingnya.
Pemerintah harus meningÂkatkan peran sektor fiskal, sektor keuangan, dan iklim bisnis yang mampu mendorong pertumbuÂhan dunia usaha. Membaiknya iklim investasi dan pembangunan infrastruktur menjadi pendorong ekonomi di samping serapan angÂgaran dalam negeri.
Untuk mencapai pertumÂbuhan ekonomi yang tinggi, pemerintah perlu melakukan diÂsiplin fiskal yakni efektivitas dan efisiensi belanja negara yang diÂarahkan untuk sektor-sektor yang lebih produktif. Selain itu, perÂekonomian juga perlu didukung oleh penguatan sektor keuangan. Dunia usaha harus memperoleh dukungan sektor keuangan dan perbankan yang efisien.
Untuk membiayai pembanguÂnan dan mendorong pertumbuÂhan ekonomi, sektor keuangan domestik harus kuat. Dengan demikian, Indonesia tidak terlalu bergantung pada dana-dana asing untuk pembiayaan pembangunan.
Bank Indonesia sudah melongÂgarkan BI Rate seiring laju inflasi dan defisit transaksi berjalan yang menurun. Bank Indonesia memuÂtuskan untuk memangkas suku bunga acuan atau BI Rate sebesar 25 basis poin menjadi 7,25% dari 7,5% dengan lending facility 7,75% dan deposit facility 5,25%.
Meski demikian, suku bunga kita masih cukup tinggi dibandÂingkan negara ASEAN. Suku bunÂga kita hanya lebih rendah dari Myanmar yang mencapai 10%. SeÂmentara suku bunga di Singapura 0,21%, Kamboja 1,12%, Thailand 1,50%, Malaysia 3,25%, Filipina 4%, Laos 4,5%, Vietnam 4,5%, dan Brunei Darussalam 5,50%.
Pemerintah berharap penuÂrunan BI Rate masih akan berlanÂjut guna mendorong sektor riil. Namun, disadari bahwa penuÂrunan BI Rate memiliki risiko karena ekonomi global yang maÂsih tidak menentu dan masih ada kemungkinan The Fed menaikÂkan suku bunga sehingga bisa meÂmicu arus modal keluar yang bisa menekan nilai tukar rupiah. IndoÂnesia masih bergantung pada paÂsokan valuta asing dari investor asing dari instrumen portofolio di pasar modal, pasar uang, dan pasar obligasi pemerintah.
sumber: sindonews.com