Untitled-11DALAM dua tulisan sebelumnya, merujuk pada Carita Parahyangan, saya ungkapkan beberapa faktor yang menyebabkan Pajajaran dan Pakuan mengalami masa redup. Baik pada era Ratu Dewata, Ratu Sakti dan Nilakendra. Bagaimana ketiga penerus Prabu Siliwangi dan Prabu Surawisesa itu mengalami masalah dalam menghadapi kompetisi akibat perubahan zaman.

Oleh : Bang Sem Haesy

Dalam hal menghadapi kompetisi, dari ber­bagai referensi yang debatable, mencuat pesan : jangan mengi­kuti apa yang dilakukan Ratu Dewata dan kedua penerusnya, yang melakukan aksi a historis, dikonti­nuitas. Terutama dalam meng­hidupkan harmonitas hubungan antara manusia, alam, dan Tuhan. Meski Ratu Dewata melakukan manurajasuniya, tapi bersifat sangat personal dan ubudi, tidak merupa­kan aksi. Hanya hubungan spiritual kontemplatif dengan sang dewata. Padahal, tantangan jaman yang di­hadapinya menuntut sikap rasional, berpijak di bumi.

Karena sibuk ber-manurajasuni­ya, itulah di masa Ratu Dewata, sejumlah daerah kawikuan (sentra-sentra pencerahan) yang sebelumnya dilindungi Pajajaran, seperti Ciran­jang, Cibadak, dan Pakuan sendiri, diporak-porandakan ‘musuh’. Karena sang raja: “Nya iyat-iyatna sang­kawuri, haywa ta sira kabalik pupua­saan”. Suatu sisindirian: Berhati-ha­tilah, dan jangan berpura-pura rajin puasa.

BACA JUGA :  Resep Membuat Cah Kangkung Saus Tiram yang Lebih Sedap Bikin Ketagihan

Sisindiran ekspresif menyampai­kan kegeraman melihat polah Ratu Dewat, yang dituding seolah-olah sengaja menyerahkan Pakuan, se­bagai cara menghindari ancaman. Antara lain, dengan pura-pura tidak tahu, bahwa dia dan rakyat sedang terancam. Karena itu, masa kepem­impinan Ratu Dewata disebut seba­gai jaman samangkana ta precinta, jaman susah, karena raja terlalu yakin dirinya dicintai rakyat, dan lupa mengambil aksi strategis.

Ratu Dewata yang lebih suka bersunyi-sunyi dan ‘ngibuda’ ban­dera bodas. Penerusnya, Ratu Sakti menggelisahkan kawula. Ia menyuar­akan perubahan revolusioner selama dua belas tahun kepemimpinannya, dengan cara gurung-gusuh. Terburu-buru. Ingin cepat beraksi dan meng­abaikan perencanaan komprehen­sif. Ratu Sakti berambisi mengubah keadaan, dengan ambisi besar tanpa melihat realitas.

BACA JUGA :  Sinergi Jaga Ketahanan Pangan, Sekda Kabupaten Bogor Hadiri Rakor Bersama Sekda Se-Jawa Barat 

Di bawah kepemimpinannya, rakyat yang kadung lemah tanpa daya, dipaksa berubah frontal. Revo­lusi sosial dilakukannya. Celakanya, esensi sabalegandrung (visi dan persepsi) tentang perubahan, itu tak dipahami aparatur dan kawulanya. Akibatnya, banyak aturan yang dita­brak. Ketika tahu, ditarik kembali. Seperti kereta yang sedang langsir.

Hak-hak dasar rakyat terabai­kan. Pelanggaran susila berlang­sung dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya larangan mengawini per­empuan pengungsi yang telah ber­tunangan, estu larangan ti kaluara, diabaikan begitu saja. Tragis, akhirn­ya, Sri Ratu mengakhiri kepemimpi­nannya dengan lembaran hitam.

Setelah itu, Pakuan pun men­galami pareuman jagad. Kehidupan rakyat tak menentu dan dirundung pesimisme. ‘Wong huma darpa mamangan, tan igar yan tan pepele­kan”. Kelaparan dan saling serakah memperebutkan makanan, tidak produktif, dan malas.

============================================================
============================================================
============================================================