Foto : Antara
Foto : Antara

BOGOR TODAY – Pemerintah melarang peredaran minyak goreng curah berbahan baku kelapa sawit mulai 27 Maret 2016. Aturan ini bakal diterap­kan ke semua daerah, terma­suk Kota dan Kabupaten Bogor. Bagaimana kesiapan pedagang dan masyarakat di Bogor?

“Ya, dipikir keberatan ya keberatan Mas. Apalagi, kondi­si ekonomi lagi kayak gini. Da­gangan juga belum tentu laku semua kan. Ya, harapan kami sih ada toleransi buat peda­gang kecil,” kata Mahdi(45), pemilik Warung Tegal (Warteg) Bahari di Jalan Raya Ke­bon Pedes, Kelurahan Kebon Pedes, Kecamatan tanah­sareal, Kota Bogor, Senin (16/2/2016).

Mahdi mengaku berbelanja minyak curah untuk menambal kebutuhan minyak di dapur lapaknya. “Mau beli yang kemasan ya kami kan kudu hitung untung rugi. Modal nggak cukup,” kata dia.

Dikonfirmasi, Kabid Perdagangan pada Disperindag Kota Bogor, Mangahit Sinaga, mengatakan, pihaknya sedang mengupayakan sosialisasi ke tingkat bawah. “Kami baru koordinasi dengan aparat kecamatan dan kelurahan untuk melakukan sosialisasi. Harus diakui, masih banyak masyarakat yang belum tahu aturan ini,” kata dia, Senin petang. ”Kami berharap aturan itu tidak banyak berimbas ke pelaku usaha,” imbuh Mangahit.

Ia juga mengatakan, pihaknya tengah memantau pasar maupun toko-toko yang menjual minyak goreng curah. Menurutnya, pemerintah telah menyosialisasi­kan aturan itu. “Yang kasian itu pedagang kecil, ya kaya pedagang gorengan, warteg, warung makan kecil,” kata dia.

BACA JUGA :  Lokasi SIM Keliling Kota Bogor, Kamis 28 Maret 2024

Sementara itu, Dinas Perdagangan, Perindustian dan Koperasi Menengah (Disperindagkop) Kabupaten Bogor mengaku kesulitan mensosialisakan larangan ini. Sedangkan sejumlah pedagang mengeluhkan larangan tersebut.

Sejumlah pedagang di Pasar Cibinong, mengaku masih banyak masyarakat menginginkan minyak curah lantaran harganya lebih murah dibandingkan minyak kemasan. “Jual minyak curah, cepat laku, sebab harg­anya lebih murah,” ucap Julius, pedagang sembako di Pasar Cibinong, Senin (15/2/2016).

Menurutnya, harga minyak curah ke konsumen di­jual Rp13.000 per liter, sedangkan pedagang membeli dari agen Rp10.500. “Setengah bulan saya mampu men­jual 30 kilo leter minyah curah,” ujarnya.

Sedangkan ibu-ibu mengaku, kebijakan pemerintah itu tidak diikuti dengan solusi, tapi memaksa rakyatnya untuk beralih ke minyak kemasan. “Saat ini, semua ke­butuhan pokok sudah mahal, ditambah minyak curah dihapus. Semakin repot dan ngos-ngosan kaum ibu yang hanya mengandalkan gaji suaminya yang kecil dan tak kunjung naik,” keluh Ny. Marisa.

Terpisah, Kasie Perdagangan Dalam Negeri Diperin­dagkop Kabupaten Bogor, Yatirun, mengaku pihaknya kesulitan mensosialisasikan larangan ini. ”Meski berat diterapkan, penghapusan minyak curah harus dilaku­kan, sebab sudah keputusan pemerintah karena berba­haya,” katanya.

Dia memastikan, implementasi dari Peraturan Men­teri Perdagangan No.80/2014 itu mulai berlaku per 27 Maret 2016. Nantinya, minyak goreng yang dikonsumsi warga harus kemasan dengan merek Standar Nasional Indonesia (SNI). “Kami terapkan supaya masyarakat tercegah dari berbagai penyakit yang timbul akibat menggunakan minyak goreng curah,” ujarnya.

BACA JUGA :  Diduga Dibunuh, Pasutri di Banten Ditemukan Tewas Membusuk Penuh Luka

Sementara itu, Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Tulus Abadi, meminta kebijakan ini dikaji ulang oleh Pemerintah Pusat. “Kami setuju minyak goreng curah harus dikemas dengan baik. Ini untuk melindungi konsumen. Tapi, yang harus dikaji lagi adlaah soal dampak ke pengusaha kecil,” kata dia, kemarin.

Memang ada kekhawatiran minyak goreng curah yang dikemas plastik biasa terkesan tidak higines dan mudah dioplos. Namun, ia meminta jangan sampai ma­salah kemasan, lalu mematikan usaha kecil menengah (UKM) dan menguntungkan industri besar.

Ia meminta Kementerian Perdagangan (Kemendag) sebaiknya memfasilitasi agar minyak goreng curah yang dibuat mereka bisa dikemas dengan baik. “Biar­kan minyak goreng curah tanpa merek buatan UKM tetap beredar di pasar, asalkan kemasan dibuat dengan baik. Anggap saja minyak goreng curah generik. Sebab bagaimana pun juga, Kemendag harus memperhatikan daya beli masyarakat,” kata dia. “Tak semua masyara­kat mampu membeli minyak goreng kemasan buatan pabrikan yang harganya mahal,” tandasnya.

(Rishad Noviansyah|Yuska Apitya)

============================================================
============================================================
============================================================