SANGHYANG Siksakanda ing Karesian, juga mengisyaratkan kita untuk memahami kulit sebagai indria yang kudu dipelihara dengan baik.
Bang Sem Haesy
SECARA harafiah, disebutkan: Kulit ulah dipake gulang-gasehan, ku panas ku tiris, kenana dora bancana, sangkan nemu mala na lunas papa naraka; hengan laÂmunna kapahayu ma sinengguh utama bijilna ti kulit. (Kulit jangan digelisahkan karena panas atauÂpun dingin sebab menjadi pintu bencana, penyebab kita mendaÂpat celaka di dasar kenistaan nerÂaka; tetapi kalau kulit terpelihara, kita akan mendapat keutamaan yang berasal dari kulit.)
Kulit merupakan alat perasa, sekaligus lapisan terluar tubuh manusia yang mempunyai banÂyak fungsi, baik secara harafiah maupun maknawi. Pemeliharaan kulit menjadi sesuatu yang pentÂing dalam kehidupan orang Sunda, di Pakuan. Inilah konon, yang dulu membuat pesona perÂsona lelaki dan perempuan PaÂkuan terkenal cantik dan elok.
Tapi, makna di balik “KuÂlit ulah dipake gulang-gasehan, ku panas ku tiris,â€terkandung makna yang mendalam. Antara lain, terkait dengan upaya menÂciptakan lingkungan yang sehat. Antara lain dengan memelihara alam yang mampu memberikan nilai tambah atas cuaca dan iklim. Aksi pemeliharaan lingÂkungan hijau dapat dipahami dalam konteks memelihara kesÂehatan, yang tercermin melalui kualitas kulit orang Sunda di PaÂkuan.
Setarikan nafas dengan itu pula, sejumlah produk unggulan hasilbumi dari Pakuan masa itu, kelak di kemudian hari, terbukti sebagai aneka tetumbuhan yang bermanfaat langsung dalam pemeliharaan kulit. Misalnya: bengkuang, sirih, bayam, brokoÂli, melati, serta jenis tetumbuhan perdu yang hidup di bawah kanÂopi hutan samaya, yang adalah hutan hujan tropis.
Dalam keseluruhan konteks pembangunan lingkungan hidup (alam fisik, budaya, dan adat isÂtiadat) pemeliharaan kulit menÂjadi begitu sangat penting. Hutan yang terpelihara dengan baik, membuat serapan air hujan yang menimbulkan mata air sumÂber salsabil, yang kesejukannya memberikan kelembaban tertenÂtu pada kulit, lantas ekspresinya tertampak pada kemolekan atau kecantikan.
Demikian juga halnya denÂgan udara bersih yang dihasilkan oleh hutan yang tak tercemari memberikan pengaruh tertentu terhadap kondisi kulit manusia yang hidup di dalam lingkungan itu. Lingkungan yang terpelihara dengan baik, di masa itu, memÂbuat manusia Sunda di Pakuan, dikenal dengan julukan awet jaya awet ngora, selalu tampak awet muda. Selain menjadi penamÂpang pesona, kulit juga diamsalÂkan laksana pelindung raga.
Lingkungan alam yang buÂruk dan tercemari, mudah memÂberikan pengaruh buruk terhaÂdap kesehatan, hal itu tertampak pada kulit manusia. Adalah reÂalitas yang tak terpungkiri, kita dapat mengenali orang dan asal muasalnya, termasuk di mana dia hidup, dari kulitnya, termasÂuk warna kulit.
Dalam beberapa dokumen terkait Pajajaran, warna kuÂlit menjadi isyarat terjadinya perubahan dalam masyarakat dengan beragam pertandanya. Misalnya bule (kulit putih) atau kulit kuning, dan kulit legam. Secara maknawi, kulit juga menÂjadi siloka untuk menjelaskan bagaimana pasang surut terjadi.
Pada acara pernikahan adat Sunda, ketika mempelai peremÂpuan hendak dikerik – sebelum upacara Ngeuyeuk Sereuh –, diÂbacakan jangjawokan: Peso putih ninggang kana kulit putih / Cep tiis taya rasana / Mangka mumÂpung mangka melung / Maka eunteup kana sieup / Mangka meleng ka awaking, ngeuyeuk seureuh.