santriDALAM Sanghyang Siksa Kandang Karesian, salah satu perlambang yang menarik disimak adalah memahami diri sebagai sarana pembelajaran. Relevan dengan isyarat Rasulullah Muhammad SAW : “Ibda’ bi nafsik,” – belajar dari sendiri. Imam al Ghazali menyebut, siapa yang mengenali dirinya akan mengenal Tuhan-nya.

Bang Sem Haesy

DALAM tradisi Banten dan pelajaran dari Mama’ Falak – Pagentongan – Bo­gor yang saya peroleh kala masih bocah, pelajaran mengenali diri sendiri meru­pakan bagian penting dari ilmu tahu diri. Dengan tahu diri dan mawas diri inilah, para buhun membangun Pakuan di masa lalu, sebagai wilayah yang menyejahterakan rakyatnya. Dan dari Pakuan ini pula, selu­ruh wilayah Pakuan di simpul-simpul Garuda Mupuk (daerah aliran sungai Cisadane – Cili­wung – Citarum, Gunung Salak – Gede – Pangrango – Sangga Bhuwana) berkembang sebagai sentra kesejahteraan rakyat.

Pola fikir dalam membangun kesejahteraan rakyat, itu berbasis pada pemiliharaan seluruh potensi sumberdaya alam dan sumberdaya manusia secara harmonis. Meliputi pengelolaan seluruh anasir semesta, meliputi tanah, air, cahaya, dan angkasa. Sanghyang Siksakanda Karesian menyebut tentang Panca Byapara, meliputi Sanghyang Pretiwi, meliputi tanah, air, cahaya, angin, dan angkasa. Semua itu milik kita. Tanah laksana kulit, air ibarat darah dan ludah, mata ibarat cahaya, tulang ibarat angin, dan kepala ibarat angkasa. Kesemuanya merupakan penguasa bumi, yang menjelma menjadi rama, resi, ratu, disi dan tarahan.

BACA JUGA :  REFLEKSI HARI PENDIDIKAN NASIONAL: REPRESI SISTEM PENDIDKAN DALAM BENTUK KOMERSIALISASI

Kesemua itu terungkap dalam kalimat: Sanghyang pretiwi, apah, teja, bayu mwang akasa. Carek sang sadu maha purusa. eta keh drebya urang. Kangken pretiwi ku­lit, kangken apah darah ciduh, kangken teja panon, kang­ken bayu tulang, kangken akasa kapala. Iya pretiwi di sari­ra ngaranya. Nya mana dikangkenkeun ku nu mawa bumi. Ya mangupati pra rama, resi, prabu, disi mwang tarahan.

Mereka yang mampu mengelola Sanghyang Pretiwi dengan ilmu pengetahuan dan pengalaman kehidupan, akan mampu membangun kesejahteraan kolektif. Teru­tama, karena ngejo (perlambang kesejahteraan) harus di­lakukan dengan kemauan dan kemampuan mengaplikasi­kan pengetahuan, termasuk di dalamnya nilai-nilai luhur yang ditinggalkan para buhun.

BACA JUGA :  Ravindra Titip Ribuan Bibit Pohon Ke Peserta Upacara Hardiknas di Sukajaya

Bila kita telusuri lebih jauh, dari sudut pandang im­agineering (rekacita), apa yang termaktub dalam Sanghy­ang Pretiwi merupakan focal concern kehidupan insaniah manusia. Meliputi pendidikan – ilmu pengetahuan dan teknologi, budaya dan spiritualitas – religi, ekonomi, dan kesehatan jasmani rohani.

Harmoni atau keseimbangan seluruh anasir dalam tu­buh, mulai dari kepala sampai ke ujung kaki, itulah yang memungkinkan kita berinteraksi dan menemukan kekua­tan pendorong (driving forces). Yaitu, meliputi sistem tata kelola kehidupan sosial kemasyarakatan – termasuk tata pemerintahan dan politik di dalamnya, nilai pem­bangunan (sosial, ekonomi, budaya, agama), dan nilai keberdayaan masyarakat meliputi visioneering sampai program aksi.

Keberjayaan Pakuan di masa lalu, bila hendak dipela­jari sebagai cermin untuk melihat realitas kini dan men­datang, semestinya akan memperlihatkan kepada kita, berbagai pelajaran menarik. Khasnya dalam berperilaku di seluruh aspek kehidupan yang berbasis moral atau eti­ka. Soalnya tinggal, bagaimana kita melihat realitas hari ini dan proyeksi masa depan, sesungguhnya bertalian dengan masa lalu.

============================================================
============================================================
============================================================