Untitled-16LANGKAH Bank Indonesia (BI) memangkas suku bunga acuan (BI rate) sebesar 6,75 % membuka ruang lebar-lebar bagi perbankan untuk memangkas suku bunga kredit. Namun, bunga kredit perbankan tak serta merta turun. Sejumlah bank masih melakukan hitung-hitungan.

Oleh : Yuska Apitya
[email protected]

Gubernur BI Agus D.W Mar­towardojo mengatakan perbankan butuh satu bulan hingga tiga bulan ke depan untuk menggunting bunga kredit. Ini karena bank harus ter­lebih dulu menurunkan dulu biaya dana (cost of fund). Sejumlah bank besar menjanjikan penurunan bun­ga kredit setelah BI rate berada di 6,75 persen per Maret 2016. “Bunga kredit bisa turun lebih cepat,” kata Direktur Keuangan Bank Rakyat In­donesia (BRI) Haru Koesmahargyo, Minggu(20/3/2016).

BRI menargetkan nasabah dapat menikmati bunga kredit rendah pada semester II-2016. Tahap awal, BRI akan menurunkan bunga kredit untuk segmen ritel sebesar 25 basis poin (bps)-50 bps. Menyusul kemu­dian bunga kredit korporasi dan mi­kro.

Sedikit berbeda, Direktur Kon­sumer Bank Mandiri Hery Gunardi mengatakan, bunga kredit Bank Mandiri akan turun sekitar tiga bulan sampai enam bulan ke depan karena deposito baru akan jatuh tempo pada waktu tersebut.

Sebagai permulaan, Mandiri akan menurunkan bunga kredit 25 bps untuk kredit pemilikan rumah (KPR) dan kredit kendaraan bermo­tor (KKB).

Selain biaya dana, Hery menu­turkan, bunga kredit dapat turun dengan rasio yang cukup besar jika Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) menurunkan LPS rate.

Senada, Direktur PT Bank Tabun­gan Negara Tbk (BTN) Iman Nugroho Soeko juga bilang, deposito BTN be­lum memasuki waktu jatuh tempo sehingga penurunan BI rate akan efektif menurunkan bunga kredit pada dua bulan hingga tiga bulan ke depan.

BACA JUGA :  Ini 5 Oleh-oleh Khas Bogor, Cocok Buat Dijadikan Cinderamata

BTN memprioritaskan penurunan bunga kredit konsumsi dan KPR non subsidi. “Semuanya akan turun 25 bps,” kata Iman.

Menanggapi hal ini, Wahyu Sulis­tio, Vice Director Corp. Communica­tion PT Metropolitan Land Tbk. men­gatakan, penurunan BI rate baru akan mendongkrak pertumbuhan pasar properti bila ditransmisikan dengan penurunan suku bunga perbankan.

Jika bank mematok bunga KPR dengan single digit, katanya, akan memberikan dampak positif baik bagi dunia properti. “Kuncinya, kalau penurunan BI Rate turun di­tranmisikan dengan penurunan suku bunga,” katanya, Minggu (20/03/2016).

Selain itu, kebijakan loan to val­ue (LTV) juga dinilai perlu ditinjau kembali karena dirasa masih mem­bebani. Wahyu mengatakan, bagi konsumen menengah ke bawah akan sulit jika diminta down payment (DP) sekitar 20%.

Dia pun menuturkan, pemerintah tidak perlu khawatir dengan resiko bubble seperti yang terjadi di Amerika.

Kondisi industri properti nasional berbeda dengan negeri Paman Sam lantaran permintaan rumah masih lebih tinggi ketimbang jumlah rumah yang tersedia dan tidak diagunkan kembali. “Di Indonesia, sangat ber­beda situasinya dengan Amerika. Kebutuhan rumah masih tinggi, se­hingga rumah dipakai. End user ma­sih banyak,” katanya.

Ekonom Indef, Dzulfian Syahrian mengatakan, suku bunga yang lebih rendah akan mendorong pengusaha untuk berani ekspansi dan investasi. “Meski demikian, suku bunga kita masih jauh kalah kompetitif jika kita bandingkan dengan negara-negara tetangga karena tingginya suku bunga merupakan salah satu penye­bab utama ekonomi berbiaya tinggi (High-cost economy) yang mem­buat perekonomian kita kalah saing dengan Negara-negara lain,” jelas­nya di Jakarta, Minggu (20/3/2016). Oleh karena itu, jika suku bunga masih terlalu tinggi seperti saat ini, Indonesia tidak mungkin bisa bersaing dengan negara lain. Lanjut dia, penurunan BI rate ini su­dah tepat karena selisih antara inflasi dan BI rate sudah terlalu lebar. Pada­hal selama 2015 dan beberapa bulan terakhir, inflasi Indonesia tergolong sangat rendah.

BACA JUGA :  Menu Makan Siang dengan Kari Ayam Bakar yang Lezat Bareng Keluarga

Pada bulan Februari 2016, Indo­nesia juga mengalami deflasi (Kontra-inflasi) yang berarti tekanan terhadap inflasi tentunya menjadi lebih longgar. Sementara data-data perekonomian selama bulan Januari-Februari 2016, seperti deflasi dan ekspor-impor, mengindikasikan perlambatan ekono­mi sehingga diharapkan penurunan BI rate ini dapat menjadi stimulus mon­eter untuk mendongkrak perekonomi­an kembali. “Terlebih, pesimisme eko­nomi 2016 juga mulai dirasakan oleh lembaga-lembaga internasional sep­erti IMF dan Bank Dunia (World Bank) yang telah memotong proyeksi per­tumbuhan ekonomi Indonesia masing-masing 5,1% (Bank Dunia) dan 4,9% (IMF) dimana lebih rendah dibanding proyeksi Pemerintah (5,3%),” jelas dia.

Selain itu, nilai tukar rupiah juga tergolong stabil, cenderung menguat belakangan ini. Hal ini menunjukkan bahwa kekhawatiran BI akan capital outflow (modal keluar) berlebihan. Sedangkan tren negara-negara di Dunia, kecuali AS, memang sedang memotong suku bunganya.

Bahkan banyak negara, seperti Jepang, Denmark, Swedia, mener­apkan kebijakan suku bunga nega­tif (negative interest rate policy) atau suku bunga kurang dari 0 (nol) persen dalam rangka memberikan stimulus pada perekonomian mer­eka yang sedang mandek, bahkan berpotensi resesi. “Sehingga, jika indikator-indikator tersebut masih tetap terjadi, ada peluang bagi BI utk terus memangkas suku bunganya. Terlebih, saat ini perekonomian du­nia sedang diancam masalah ’Deflasi Global’ yaitu terjadi deflasi di banyak negara-negara di dunia, khususnya negara-negara maju seperti di Eropa dan Jepang,” tandasnya.(*)

============================================================
============================================================
============================================================