Edi dengan tegas membantah ke­wajiban bagi bank untuk menyerah­kan seluruh data kartu kredit terse­but bertujuan untuk mengenakan pajak dari setiap transaksi yang di­lakukan menggunakan kartu kredit. Ia beralasan, langkah tersebut meru­pakan upaya instansinya menambah basis data perpajakan.

“Tidak akan dikenakan pajak. Itu hanya untuk dijadikan bagian dari cara kita menghitung pajak tapi bu­kan berarti dihitung begitu saja tarif­nya. Karena pajak yang berdasarkan nilai transaksi ya pajak konsumsi PPN. Sementara pajak penghasilan kan bukan dari transaksi,» ujar Edi.

Basis data yang dimaksud terse­but nantinya bisa digunakan oleh para fiskus sebagai salah satu bahan pertimbangan dalam melakukan pemeriksaan wajib pajak (WP).

Jika nantinya ditemukan keti­dakcocokan data dengan yang dil­aporkan WP dalam Surat Pelaporan Tahunan (SPT), maka DJP berhak menerbitkan Surat Perintah Pemer­iksaan (SP2) Pajak. «Yang jelas pajak itu memerlukan sejumlah data untuk memastikan kita bisa menghitung pajak secara objektif. Maka kita har­us banyak data-data yang terkait soal itu, jangan sampai karena kekuran­gan data kita memutuskan yang tidak tepat dan tidak objektif,» katanya.

Tidak hanya dari data perbank­an, menurutnya selama ini DJP juga banyak mendapat data dari berbagai pihak yang sudah ditetapkan dalam Undang Undang Ketentuan Umum Perpajakan (KUP).

“Di KUP pasal 35 disebutkan se­luruh lembaga institusi yang miliki kewenangan atas data-data yang ternyata terkait dengan pajak, bisa dijadikan data pajak. Dan mereka wajib mengirim laporan kepada DJP,” katanya.

Adapun bank atau lembaga peny­elenggara kartu kredit yang diwajib­kan melapor antara lain:

– Pan Indonesia Bank Ltd Tbk – PT Bank Bukopin, Tbk – PT Bank Central Asia Tbk – PT Bank CIMB Niaga Tbk – PT Bank Danamon Indonesia Tbk – PT Bank MNC Internasional – PT Bank ICBC Indonesia – PT Bank Maybank Indonesia Tbk – PT Bank Mandiri (Persero) Tbk – PT Bank Mega Tbk – PT Bank Negara Indonesia 1946 (Persero) Tbk – PT Bank Negara Indonesia Syariah – PT Bank OCBC NISP Tbk – PT Bank Permata Tbk – PT Bank Rakyat Indonesia (Per­sero) Tbk – PT Bank Sinarmas – PT Bank UOB Indonesia – Standard Chartered Bank – The Hongkong & Shanghai Banking Corp. – PT Bank QNB Indonesia – Citibank N.A – PT AEON Credit Services – PT Bank ANZ Indonesia

BACA JUGA :  Menu Bekal dengan Telur Gulung Sayuran Andalan Keluarga Tercinta

Sementara, Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) membaca terjadinya pergeseran tren pem­bayaran pembelian produk ritel berharga mahal dari sebelumnya dengan menggunakan kartu kredit, menjadi tunai. Selain itu yang lebih mengkhawatirkan Aprindo adalah, kebijakan tersebut akan memicu warga negara Indonesia berbelanja ke luar negeri.

Wakil Ketua Umum Aprindo Tutum Rahanta menduga peruba­han perilaku itu muncul karena kon­sumen tidak nyaman bertransaksi dengan kartu kredit karena kini data-data transaksinya bisa dibuka oleh Di­rektorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan (DJP Kemenkeu). «Sebetul­nya tujuan Pemerintah ini baik, tapi implementasinya itu bikin psikologis masyarakat terganggu. Apalagi bagi mereka yang memang orang kaya,” kata Tutum, Rabu (18/5).

Tutum menuturkan, perusahaan ritel sendiri tidak mempermasalah­kan terjadinya perubahan metode pembayaran tersebut karena sama-sama memberikan pemasukan bagi bisnis mereka. Namun yang mem­buat Tutum khawatir adalah, efek jangka panjang dari aturan wajib lapor transaksi kartu kredit akan membuat warga kelas atas Indonesia lebih memilih berbelanja di luar neg­eri. “Tidak menutup kemungkinan juga orang-orang kaya ini malah akan lebih sering shopping ke luar negeri nantinya,» tegas Tutum.

BACA JUGA :  Menu Kreasi dengan Lumpia Kembang Tahu yang Gurih dan Lezat

Sebagai informasi, akses Pemer­intah terhadap data kartu kredit na­sabah tertuang di dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 39/PMK.03/2016 tentang Rincian Jenis Data dan Informasi Serta Tata Cara Penyampaian Data dan Infor­masi yang Berkaitan dengan Perpa­jakan.

Merujuk pada implementasi ke­bijakan itu, Presiden Direktur PT Bank Central Asia Tbk (BCA) Jahja Setiaatmadja bilang banyak nasabah ketakutan sampai akhirnya menu­tup kartu kreditnya di bank dengan kapitalisasi terbesar di Indonesia itu. «Sejak peraturan itu berlaku ada 3 kali lipat penutupan kartu kredit BCA, mutasi harian kami turun dari Rp147 miliar per hari langsung turun ke Rp120 miliar,» ujar Jahja, kemarin.

Ia menilai aturan tersebut men­jadi contoh ketidakselarasan aturan yang dibuat oleh instansi pemer­intah. Sebab di sisi lain, otoritas moneter dan jasa keuangan tengah meningkatkan pola transaksi tanpa menggunakan uang tunai yang salah satunya akan digenjot melalui peng­gunaan kartu kredit.

“Padahal Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sedang meningkatkan cashless society atau bagaimana mengurangi peredaran uang tunai biar lebih efisien. Ini yang menjadi dilematis dan menjadi satu hal yang tidak match antar regulasi,» jelas Jahja.

Sebagai informasi, sebelum aturan tersebut diberlakukan, BI telah mencatat penurunan volume transaksi kartu kredit pada kuar­tal I 2016 sebanyak 25,84 juta atau turun 3,59 persen dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu, 26,80 juta. Sementara dari sisi nominal, transaksi turun 6,77 persen dari Rp26,57 triliun menjadi Rp24,77 triliun.(*)

Halaman:
« 1 2 » Semua
============================================================
============================================================
============================================================