KEMENTERIAN pertahanan (kemenhan) mewacanakan kurikulum bela negara dimasukkan dalam proses pembelajaran di sekolah dari tingkat TK hingga perguruan tinggi. Muatan bela negara dari dasar yakni baris berbaris, kunjungan museum hingga tingkat lanjut pembelajaran dasar-dasar intelijen bagi siswa.

Oleh: AHMAD SASTRA
Dosen Pascasarjana UIKA Bogor

Di tingkat sekolah usia dini, pendidikan bela negara akan diberi­kan sebulan sekali berdurasi satu jam. Harapannya dalam jangka panjang memori naluri bela negara itu akan terus tersimpan dan tertanam.

Sedang untuk jenjang pen­didikan selanjutnya, pendidi­kan bela negara akan diberikan dalam waktu lima hari dalam ma­sing-masing tingkat. Dicontohkan di tingkat SD akan diberikan pada kelas V. di tingkat SMP, materi bela negara akan diberikan pada siswa kelas VIII. Sementara pada tingkat SMA, materi bela negara akan diajarkan pada kelas XI. (Re­publika, 14/11).

Sebenarnya tanpa diajarkan membela diri, keluarga dan neg­ara adalah naluri setiap manu­sia sebagai anugerah dari Allah. Semua manusia memiliki naluri untuk mempertahankan diri dan mencintai serta membela nega­ranya dari berbagai ancaman yang akan merusak keutuhan negaranya. Secara naluriah hal ini tak perlu lagi diajarkan. Apa­lagi Indonesia, memang pantas dibela. Indonesia, negeri kaya di khatulistiwa, tak henti dirundung nestapa. Di Indonesia, dinamika politik, ekonomi, sosial budaya, dan pertahanan keamanan se­lama satu dekade menunjukkan betapa negeri ini belum mapan dan kian jauh dari harapan.

Di bidang politik, praktek demokrasi telah banyak melahir­kan para pemimpin yang minim naluri bela negara. Mereka justru merugikan negara dengan berb­agai praktek korupsi, kolusi dan nepotisme. Partai-partai politik yang seharusnya alat untuk mem­bela negara, justru digunakan sebagai pelampiasan syahwat mengumpulkan pundi-pundi uang dengan segala cara untuk kepentingan demokrasi. Jadilah partai politik menjadi sarang ber­cokolnya para koruptor. Wakil-wakil rakyat yang duduk di DPR satu per satu diciduk oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Direktur Jenderal Otonomi Daerah Djohermansyah Djohan menilai faktor utama tindak pidana korupsi yang dilakukan para kepala daerah itu adalah tingginya biaya politik selama pemilihan umum kepala dae­rah berlangsung. “Karena dalam politik tidak ada yang gratis.” Itulah mengapa, politik dinasti muncul di daerah. Begitu salah satu bagian dinasti meraih kursi, singgasana itu akan terus diper­tahankan pada dinastinya. Pa­kar menyebut ini sebagai ‘cacat bawaan demokrasi’.

Hakekat bela negara melalui jalur politik bagi para pemimpin bangsa ini semestinya dijadikan sebagai suri teladan bagi generasi mendatang bagaimana mem­bangun dan membela negeri ini dengan merumuskan hukum-hukum yang adil bagi kesejahter­aan rakyat. Jangan sampai rakyat yang telah lama terzolimi dipaksa bela negara, sementara yang diatas justru mempertontonkan praktek merusak dan merugikan negara. Istilah bela negara bagi rakyat awam masih terlalu ma­hal. Mereka masih berkeringat untuk membela keluarganya agar hari ini dan besuk bisa makan dan bertahan hidup. Membela negara adalah membela rakyat dengan tegaknya hukum dan ke­adilan demi kesejahteraan.

Di bidang ekonomi, Indonesia masih merupakan negara yang terjerat utang luar negeri lebih dari 4000 triliun. Pembangu­nan di Indonesia ternyata lebih mengandalkan utang daripada sumber kekayaan alam. Utang ini menjadi andalan Indonesia kare­na kekayaan alam telah tergadai­kan kepada asing. Hingga Sep­tember 2013 aset negara sekitar 70-80 persen telah dikuasi bang­sa asing. Tanpa usaha keras un­tuk mengambilnya kembali, aset itu semuanya akan jatuh ke tan­gan orang asing. Aset di bidang perbankan misalnya, bangsa as­ing telah menguasai lebih dari 50 persen. Sektor migas dan batu bara antara 70-75 persen, teleko­munikasi antara 70 persen dan lebih parah adalah pertambam­bangan hasil emas dan tembaga yang dikuasai asng mencapai 80- 85 persen. Dalam situasi seperti itu pemerintah tak berkutik. Ti­tah asing tak bisa ditolak. Jadilah pemerintah membebek perintah asing untuk mencabut subsidi ba­han bakar minyak (BBM). Rakyat juga yang harus menanggung be­ban ini. Membela negara adalah dengan mengambil alih seluruh asset milik rakyat dan dikemba­likan untuk kesejahteraan raky­at, bukan malah menjualnya. Kembalikan Freeport untuk kes­ejahteraan rakyat, itu baru bela negara namanya. Membela nega­ra adalah membela rakyat untuk keluar dari jerat kemiskinan.

BACA JUGA :  TIPS JITU BERHENTI MEROKOK

Angka kemiskinan ini ber­korelasi positif dengan jumlah pengangguran. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat jumlah pengangguran terbuka sebesar 6,25 persen atau sebanyak 7,39 juta orang (per Agustus 2013) atau meningkat sebesar 6,14 pers­en (7,24 juta orang) dibandingkan periode yang sama 2012. Bertum­buhnya jumlah pengangguran ini lantaran adanya perlambatan pertumbuhan ekonomi. Perlam­batan ekonomi ini menyebab­kan pengurangan lapangan kerja yang pada akhirnya kurang ada penyerapan tenaga kerja.

Ekonomi yang kian sulit men­dorong para buruh terus berupa­ya mendapatkan perbaikan peng­hasilan. Sepanjang tahun aksi buruh terjadi di mana-mana. Mer­eka menuntut perbaikan upah minimum. Para pengusaha pun keberatan karena mereka ban­yak terbebani biaya siluman alias pungutan liar. Sementara buruh merasa upahnya tak lagi cukup untuk hidup. Konflik itu terus berkepanjangan hingga hari ini. Mensejahterakan rakyat adalah hakekat bela negara, sementara rakyat kecil dari dulu telah mem­bela dan mencintai negara ini.

Di bidang sosial budaya, sepanjang tahun 2015 Indonesia tak lepas dari konflik horizontal dari kasus Tolikara hingga Sing­kili di Aceh. Demokrasi yang digadang-gadang mampu mela­hirkan tatanan masyarakat yang lebih baik ternyata sebaliknya. Masyarakat kian liberal dan ter­putus jalinan persaudaraannya. Konflik antar anggota masyarakat berlangsung hampir setiap saat. Setiap masalah berujung kepada kekerasan, anarkisme. Bentrok antarkampung, antarsuku, an­tarpreman, antarsekolah, an­tarormas, antarpendukung calon kepala daerah, bahkan antargeng mewarnai pemberitaan televisi. Dan negara dibuat tak berdaya.

Budaya kekerasan ini berim­bas kepada lahirnya manusia-ma­nusia sadis. Kriminalitas tumbuh sampai taraf yang mengkhawatir­kan. Pembunuhan terjadi dengan berbagai modus. Ada mutilasi kepada orang terdekatnya, meng­gunakan pembunuh bayaran, dibunuh lalu dimasukkan koper, dibunuh pasangan suami istri dan sebagainya. Sementara di ka­langan remaja terjadi degradasi moral yang luar biasa. Seks bebas menggejala. Video mesum tak hanya dibuat kalangan dewasa, tapi remaja bahkan siswa SMP. Bahkan ada pelajar SMP di Sura­baya yang menjadi mucikari un­tuk kawan-kawannya sendiri. Tak heran jika sekarang anak seusia SD pun ada yang melahirkan (ka­sus di Musi Banyuasin, Sumsel).

Di sisi lain, pendidikan yang diharapkan mampu melahirkan generasi terbaik, gagal. Banyak koruptor justru pernah meng­enyam pendidikan tinggi. Bahkan diantaranya ada yang bergelar profesor dan doktor. Terbukti, pendidikan yang berjalan kering dari nilai-nilai moral dan etika, apalagi agama. Yang terlahir jus­tru generasi yang permisif, hedo­nis, materalis, dan individualis. Bela negara adalah membangun generasi penerus bangsa yang lebih baik dan lebih mulia dengan pendidikan bermutu dan gratis. Sebab generasi inilah kelak yang akan menggantikan generasi pe­mimpin bangsa hari ini. Bukan malah memberikan ruang bagi kebebasan pergaulan dan men­gizinkan berbagai ajang amoral yang justru menambah keru­sakan generasi penerus bangsa.

Krisis politik, sosial, budaya, hukum, ekonomi, dan sebagain­ya yang terjadi di dunia, khusus­nya di negeri-negeri Muslim, ter­masuk Indonesia, saat ini, tidak dapat dipisahkan dari ideologi Kapitalisme. Artinya, ideologi Kapitalisme yang diterapkan itulah yang menjadi sumber dan akar berbagai krisis tersebut. Se­bagaimana diketahui, ide dasar Kapitalisme adalah sekularisme, yaitu pemisahan antara agama dengan kehidupan. Sumber hu­kum dalam ideologi ini dari akal semata, karena pada satu sisi ke­beradaan Tuhan diakui, namun di sisi lain manusialah yang di­anggap layak untuk menetapkan berbagai aturan.

Ideologi merupakan pan­dangan hidup yang menjadi asas dalam berbagai aspek kehidupan negara, seperti ekonomi, politik, budaya, hukum, pemerintahan dan lainnya. Di Indonesia, Kapital­isme telah dipilih oleh pemerintah Orde Baru sebagai landasan dalam menyelesaikan berbagai persoalan saat itu yang dihadapi saat itu. Di­antaranya melakukan liberalisasi ekonomi dan pasar, serta mengi­katkan diri dengan IMF dan Bank Dunia yang memberikan utang. Pada sisi lain, Indonesia harus membuka pasar dan kekayaan alamnya untuk dieksploitasi oleh pihak asing atas nama investasi dan pembangunan ekonomi.

BACA JUGA :  REFLEKSI HARI PENDIDIKAN NASIONAL: REPRESI SISTEM PENDIDKAN DALAM BENTUK KOMERSIALISASI

Di era reformasi, Indone­sia semakin menyempurnakan agenda kapitalistiknya. Lahir ber­bagai undang-undang yang pro-kapitalis seperti UU Migas, UU Sumber Daya Air, UU Penanaman Modal, UU Kelistrikan dan seb­againya. Berdasarkan UU liberal inilah berbagai kebijakan eko­nomi dikeluarkan yang kenyata­annya justru menimbulkan ber­bagai problem baru. Misalnya, kemiskinan dan pengangguran bukannya menurun, justru terus meningkat. Kekayaan sumber alam dikeruk asing, sementara utang negara terus menumpuk.

Kapitalisme gagal menye­jahterakan warga dunia. Kapital­isme menciptakan ketidakadilan ekonomi dan kemiskinan struk­tural, dan hanya menyenangkan para kapitalis. Meskipun terbukti gagal, namun kapitalisme masih bisa bertahan hingga saat ini. Pe­nyebabnya karena adanya dukun­gan imperialisme atau penjaja­han global. Kapitalisme bersama turunannya yakni liberalisme, pluralisme, demokrasi, dan HAM dipaksakan oleh para kapitalis yang bekerja sama dengan kaum imperialis agar dijadikan ideologi oleh negara-negara di dunia. Tu­juannya agar mereka bisa men­ciptakan kondisi yang memung­kinkan untuk mengeruk kekayaan negara-negara tersebut dan men­guasasinya secara politik.

Setiap penerapan sistem sekuler, yakni sistem yang tidak bersumber dari Allah SWT, Sang Pencipta manusia, kehidupan dan alam semesta, pasti akan menimbulkan kerusakan dan kerugian bagi umat manusia. Di­kuasainya sumber daya kekayaan alam negeri ini oleh kekuatan as­ing, maraknya korupsi di seluruh sendi di seantero negeri, konflik horizontal yang tiada henti, kena­kalan dan kriminalitas di kalan­gan remaja yang tumbuh di ma­na-mana adalah bukti nyata dari kerusakan dan kerugian itu. Dit­ambah dengan kedzaliman yang diderita umat di berbagai negara, serta sulitnya perubahan ke arah Islam dilakukan oleh karena di­hambat oleh negara Barat yang tidak kehilangan kendali kontrol atas wilayah-wilayah di Dunia Islam, semestinya menyadarkan kita semua untuk bersegera kem­bali kepada jalan yang benar, yak­ni jalan yang diridhai oleh Allah SWT, dan meninggalkan semua bentuk sistem dan ideologi kufur, terutama kapitalisme yang nyata-nyata sangat merusak dan meru­gikan umat manusia.

Demokrasi dalam teorinya adalah sistem yang memberikan ruang kepada kehendak rakyat. Tapi dalam kenyataannya negara-negara Barat tidak pernah mem­biarkan rakyat di negeri-negeri muslim membawa negaranya ke arah Islam. Mereka selalu beru­saha agar sistem yang diterapkan tetaplah sistem sekuler meski dibolehkan dengan selubung Islam, serta penguasanya teta­plah mereka mau berkompromi dengan kepentingan Barat. Itu­lah yang terjadi saat ini di negeri ini, sebagaimana tampak dari proses legislasi di parlemen dan kebijakan-kebijakan yang diambil oleh pemerintah, khususnya di bidang ekonomi dan politik yang sangat pro terhadap kepentingan Barat. Cengkeraman Barat juga tampak di negeri-negeri muslim yang tengah bergolak seperti di Suriah, begitu juga di Mesir dan negara-negara lain di kawasan Timur Tengah. Kenyataan ini juga semestinya memberikan perin­gatan umat Islam untuk tidak mu­dah terkooptasi oleh kepentingan negara penjajah. Juga peringatan kepada penguasa dimanapun un­tuk menjalankan kekuasaannya dengan benar, penuh amanah demi tegaknya kebenaran Islam, bukan demi memperturutkan nafsu serakah kekuasaan dan kes­etiaan pada negara penjajah.

Bila kita ingin sungguh-sung­guh lepas dari berbagai persoalan yang tengah membelit negeri ini seperti sebagiannya telah diu­raikan di atas, maka kita harus memilih sistem yang baik dan pemimpin yang amanah. Sistem yang baik hanya mungkin datang dari Dzat yang Maha Baik, itu­lah syariah Islam dan pemimpin yang amanah adalah yang mau tunduk pada sistem yang baik itu.

Karena itu, harus ada usaha sungguh-sungguh dengan penuh keikhlasan dan kesabaran serta kerjasama dari seluruh kom­ponen umat Islam di negeri ini untuk menghentikan hegemoni ideologi kapitalisme sekuler mau­pun komunisme atheis dengan ideologi Islam. Hanya dengan sistem berdasar syariah, Indone­sia dan juga dunia, benar-benar bisa menjadi baik. Syariah adalah jalan satu-satunya untuk mem­berikan kebaikan dan kerah­matan Islam bagi seluruh alam semesta, sedemikian sehingga kedzaliman dan penjajahan bisa dihapuskan di muka bumi. (*)

 

Bagi Halaman
============================================================
============================================================
============================================================