BANK Dunia (World Bank) mengeluarkan laporan mengenai kinerja logistik dunia atau Logistik Performance Index (LPI) tahun 2016. Dari catatan Bank Dunia terhadap 163 negara yang disurvei, nilai kinerja logistik Indonesia turun 10 peringkat dibandingkan penilaian 2 tahun lalu atau tahun 2014.
Oleh : Yuska Apitya
[email protected]
Indonesia pada tahun 2016 berada di peringkat 63, sebaliknya tahun 2014 pada peringkat 53. Bila dibandingkan dengan negara tetangga di Asia TengÂgara, peringkat logistik RI masih tertinggal dibandingkan Singapura (5), Malaysia (32) dan Thailand (45). Namun Indonesia masih unggul daripada Vietnam (64), Brunei DaÂrussalam (70), Filipina (71), Kamboja (73), Myanmar (113), dan Laos (152).
Pada penilaian kinerja logisÂtik atau LPI ini, Bank DuÂnia memakai 6 komponen indikator yakni: Bea Cukai, Infrastruktur, Pengiriman Barang Internasional, Kualitas dan KompeÂtensi Logistik, Pencarian Barang, kemudian Ketepatan Waktu.
Dalam survei terbaru di dalam LPI, Bank Dunia memasukkan perÂtanyaan baru mengenai kecakapan tenaga kerja di sektor logistik. PeÂnilaian memakai skor 1-5 untuk seÂtiap komponen indikator. Secara keÂseluruhan indikator, rata-rata skor LPI Indonesia ialah 2,98. Angka ini sama dengan skor rata-rata keseluÂruhan yang diperoleh Vietnam. PerÂingkat atau skor tertinggi diraih oleh Jerman yakni 4,23.
Semakin lemahnya perekonoÂmian dunia membuat berbagai negara juga turut merasakan damÂpaknya. Guna mengantisipasi hal ini berimbas semakin besar ke InÂdonesia, sektor industri manufakÂtur perlu dikembangkan lagi agar tidak hanya bergantung pada koÂmoditas yang tengah mengalami penurunan.
Industri manufaktur dan jasa dapat memperkuat pertumbuhan ekonomi Indonesia ke depannya dengan melibatkan banyak pekerja. Berbagai terobosan tentu perlu diÂlakukan agar sektor ini dapat kemÂbali bergairah seperti di era 1990- an. “Sektor manufaktur serta jasa di negara ini dapat memberikan pekerjaan yang membutuhkan ketÂerampilan dan berupah tinggi apaÂbila melakukan reformasi agresif,†terang Kepala Perwakilan Bank DuÂnia di Indonesia, Rodrigo Chaves, saat acara Indonesia Economic Quarterly di Auditorium KementÂerian Perdagangan, Jakarta Pusat, kemarin.
Di era 1990-an, pertumbuhan ekonomi Indonesia ditopang dari sektor industri manufaktur. Angka pertumbuhan industri manufaktur pada saat itu cukup tinggi mencapai 11% per tahun dibandingkan dengan beberapa tahun ke belakang yang menurun hanya 4% per tahun. “InÂdonesia tahun 1990-an saat itu kuat dalam manufaktur. Saat itu IndoÂnesia melihat manufaktur mereka tumbuh 11% per tahun. Sayangnya, saat ini sektor manufaktur jauh lebÂih kecil sekitar 4% per tahun,†ujar Chaves.
Angka pertumbuhan industri manufaktur di Indonesia saat ini kalah dibandingkan negara tetÂangga seperti Vietnam. Pemerintah perlu memberikan kebijakan baru agar industri manufaktur di IndoÂnesia dapat meningkat seperti di zamannya. “Saat ini sektor manuÂfaktur Vietnam jauh lebih besar dari Indonesia. Kita membutuhkan aksi untuk revitalisasi manufaktur. Mudah-mudahan negara ini dan pemerintahnya bisa menjadikan reÂformasi kebijakan yang dibutuhkan sehingga bisa mendapatkan posisi kembali,†kata Chaves.
Seiring dengan pelemahan ekoÂnomi global dan penurunan berbÂagai harga komoditas ke titik terÂendahnya, Bank Dunia beberapa waktu lalu merevisi angka pertumÂbuhan ekonomi dunia. Sebelumnya angka pertumbuhan ekonomi dunia diproyeksikan di angka 2,9% dan kemudian dipangkas ke angka 2,4%.
Semua negara di dunia juga mengalami akibat dari pelemahan ekonomi global tang turut berimbas pada angka pertumbuhan ekonomi di masing-masing negara.
Menurut catatan Bank Dunia, penjualan berbagai barang komoÂditas diperkirakan belum beranÂjak naik dan bahkan diperkirakan mengalami penurunan. “Risiko eksternal sangat besar karena harga komoditas yang masih tetap rendah dan pertumbuhan perdagangan duÂnia tidak terlalu menjanjikan bahÂkan mengalami penurunan,†terang Rodrigo.
Selain itu, yang perlu diwaspaÂdai juga adalah kebijakan ekonomi Amerika Serikat yang akan menaiÂkan suku bunga bank sentralnya atau Fed Fund Rate di tahun ini. “Kebijakan ekonomi Amerika SeriÂkat menjadi hal yang perlu diperÂtimbangkan,†tambah Chaves.
Saat ini, ekspor manufaktur InÂdonesia didominasi oleh produk teknologi rendah, peleburan materi (blending) dan perakitan. AkibatÂnya, Indonesia rentan terhadap perÂpindahan Iokasi perusahan-perusaÂhaan multi-nasional.
Selain rangkuman tantangan biÂdang manufaktur, laporan IEQ juga menganalisa berkembangnya deÂregulasi perdagangan dan dampak liberalisasi perdagangan pada biaya hidup, terutama harga pangan.
Laporan ini juga menjelaskan bagaimana pendapatan dan pengeÂluaran bank, pasar keuangan yang terbatas, serta persaingan dari pemerintah untuk mendapat sumÂber pembiayaan, berdampak pada tingginya suku bunga di Indonesia.(*)
Bagi Halaman