916-ekspor-imporJAKARTA, TODAY—Ekspor Indonesia menin­gkat 12,18% (month to month) pada Juni 2016 menjadi USD 12,92 miliar. Salah satu pendo­rong peningkatan ekspor adalah kenaikan harga komoditas internasional, seperti emas, perak, dan seng serta lainnya.

“Harga komoditas internasional terus naik, ini besar pengaruhnya untuk ekspor,” ungkap Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Suryamin di Kan­tor Pusat, Jakarta, Jumat (15/7/2016).

Komoditas yang mengalami kenaikan pada Juni 2016:

Palm Kernel Oil naik 6%

Log naik 3,29%

Emas naik 1,19%

Nikel naik 2,8%

Silver naik 3,27%

Timah naik 1,53%

Seng naik 8,58%

Sementara, neraca perdagangan pada Juni 2016 tercatat surplus sebe­sar USD 900,2 juta. Di mana ekspor sebesar USD 12,92 miliar lebih besar dibandingkan dengan impor yang hanya USD 12,02 miliar. “Neraca perdagangan Juni surplus USD 900,2 juta. Ini memang karena baru per­tama kali sejak beberapa bulan lalu ekspor kita mencapai angka USD 12,92 miliar,” kata Suryamin.

Ekspor Juni tercatat USD 12,92 mil­iar atau naik 12,18% dibandingkan Mei 2016. Ekspor migas naik 23,92% dari USD 960 juta menjadi USD 1,19 miliar. Sementara ekspor non migas naik 11,12% dari USD 10,56 miliar menjadi USD 11,73 miliar. Dibandingkan den­gan Juni 2015, masih ada penurunan 4,42% dari USD 13,51 miliar. “Tahun 2016 ekspor kita paling tinggi di bulan Juni 2016, sejak Juli 2015 lalu,” jelas Suryamin.

Akumulasi ekspor Januari-Juni 2016 USD 69,51 miliar atau turun 11,37%. Eskpor non migas USD 63,01 miliar atau turun 7,92%. Ekspor terbe­sar adalah kelompok Lemak dan Min­yak Hewan/Nabati USD 7,92 miliar dan Bahah Bakar Mineral (BBM) USD 6,47 miliar.

Pangsa pasar

Amerika Serikat (AS) USD 7,88 miliar

Jepang USD 6,42 miliar

China USD 6,08 miliar

ASEAN USD 13,72 miliar

Uni Eropa USD 7,03 miliar

Sementara impor tercatat USD 12,02 miliar atau naik 7,86%. Impor migas naik 1,02% dari USD 1,67 miliar menjadi USD 1,69 miliar. Impor non migas naik 9,07% dari USD 9,47 miliar menjadi USD 10,33 miliar. Diband­ingkan Juni 2015 ada penurunan 7,41% dari USD 12,98 miliar. Akumu­lasi impor Januari-Juni 2016 USD 5,92 miliar atau turun 10,86%. Impor non migas USD 57,3 miliar atau 5,83%.Kelompok impor terbesar

BACA JUGA :  Pj. Bupati Bogor Apresiasi Umbara Jadi Kampus Pertama di Indonesia Yang Terapkan Smart and Green Energy Campus

Mesin dan peralatan mekanik USD 10,32 miliar

Mesin dan peralatan listrik USD 7,36 miliar

Pangsa pasar

China USD 14,96 miliar

Jepang USD 6,27 miliar

Thailand USD 4,51 miliar

ASEAN USD 12,6 miliar

Uni Eropa USD 5,38 miliar

Peningkatan ekspor dimungkinkan masih akan terus berlanjut pada periode Juli 2016, bila produksi tetap berjalan. Walaupun ada kecenderun­gan banyak perusahaan menghenti­kan produksi karena libur lebaran. “Ekspor bakalan turun, karena 10 hari after lebaran masih slowdown, pabrik masih banyak yang tutup. Jadi nggak bakal ada produksi,” tambah Deputi Bidang Distribusi Statistik dan Jasa Sasmito Hadi Wibowo pada kes­empatan yang sama.

“Tapi kalau perusahaan masih kejar tayang, ini akan mendorong ekspor. CPO harga membaik meski volume turun. Masih bisa jadi komo­ditas strategis punya peluang,” terang Sasmito.

Sementara itu, Deputi Senior Bank Indonesia Mirza Adityaswara juga menyebutkan bahwa surplus perda­gangan yang terjadi pada bulan Juni dikarenakan meningkatnya harga ko­moditas utama yang diekspor Indone­sia ke luar negeri.

Beberapa harga komoditas ung­gulan yang rutin diekspor seperti kelapa sawit, batu bara, dan karet mengalami peningkatan harga.“Saya rasa ada dua fenomena yang sekarang kita sedang cermati adalah harga komoditi yang memang kalau kita lihat harga apakah itu kelapa sawit, apakah itu karet, apakah itu batu bara itu memang year to date­nya itu naik. Year to date itu berarti dari Januari sampai ke kinerja tera­khir yang ada, memang naik, gitu ya,” tutur Mirza di Kompleks BI, Jakarta Pusat, Jumat (15/7/2016).

Pihaknya menambahkan bahwa sesungguhnya harga komoditas pada kuartal II 2016 mengalami sedikit penurunan dibandingkan kuartal I 2016. Perbaikan harga komoditas yang rutin diekspor Indonesia belum sepenuhnya kembali pulih. “Jadi kalau kita bilang apakah sudah ada recov­ery dari komoditi tambang perkebu­nan dan minyak sebenarnya, menurut saya sih, belum terlalu signifikan, gitu ya,» jelas Mirza.

Impor, lanjut Mirza, yang dilaku­kan Indonesia selama satu bulan tera­khir juga terbilang masih rendah. Hal ini yang kemudian membuat neraca perdagangan mengalami surplus sebe­sar US$ 900,2 juta. “Dan memang juga impor masih relatif lemah. Jadi memang itu yang kemudian membuat surplus di neraca perdagangan,” ujar Mirza.

BACA JUGA :  Rafael Struick Yakin Timnas Indonesia Mampu Tumbangkan Uzbekistan

Defisit Neraca Berjalan

Neraca Perdagangan Indonesia bulan Juni 2016 mengalami surplus sebesar US$ 900,2 juta. Dengan ter­jadinya surplus ini dipastikan dapat membantu kinerja Current Account Deficit (CAD) atau defisit neraca ber­jalan. “Surplus neraca perdagangan tentu membantu kinerja Current Ac­count Deficit karena kan CAD adalah neraca perdagangan ditambah neraca jasa. Jadi neraca barang dan jasa kita atau current account itu di kuartal I, kuartal II ini memang kalau menurut kami, relatif sama lah,” kata Mirza.

Current Account Deficit (CAD) Indonesia saat ini tercatat di kisaran 2,2% hingga 2,4% dari total PDB Indo­nesia. Besaran CAD tersebut berada di kisaran yang cukup baik untuk per­ekonomian Indonesia. Kondisi eko­nomi Indonesia yang tengah dalam kondisi baik ini dapat menarik minat lebih banyak investor untuk mena­namkan modalnya di Indonesia.

“Jadi memang bisa dibilang di semester I ini current account defi­cit situasi yang bagi Bank Indonesia­comfortable, level sekitar antara 2,2 sampai 2,4% dari PDB gitu ya. Jadi suatu level yang sehat dan itu juga menunjang optimisme dari para inves­tor di pasar keuangan terhadap kin­erja dari makro ekonomi Indonesia,” jelas Mirza.

Mirza pun mengatakan bahwa be­saran inflasi di Indonesia masih cukup terkendali. Besaran inflasi di bulan Juli diperkirakan masih mengalami peningkatan dibandingkan bulan lain­nya. Hal ini dikarenakan peningkatan jumlah konsumsi saat puasa dan Leba­ran. “Awal Juli kan, the first week of July itu masih periode puasa memang angka (inflasi) kan lebih tinggi diband­ingkan periode Juni,” tutur Mirza.

Peningkatan inflasi diperkirakan hanya terjadi hingga minggu kedua Juli karena efek Lebaran. Pada min­ggu ketiga dan keempat, besaran in­flasi diperkirakan masih cukup stabil. “Jadi setelah Lebaran itu kan periode minggu kedua, minggu ketiga Juli itu periode inflasinya menurun. Saya rasa tidak bisa kita ambil patokan angka awal minggu pertama Juli untuk me­lihat inflasi keseluruhan bulan Juli,” tutup Mirza.

(Yuska Apitya/dtk/ed:Mina)

Bagi Halaman
============================================================
============================================================
============================================================