JAKARTA, TODAY—Upaya pemerintah menekan harga daging sapi hingga di kisaran Rp 80.000/kilogram ternyata belum memÂbuahkan hasil signifikan. Hingga kini, baik di pasar modern maupun di pasar tradisional seperti di Pasar Anyar Kota Bogor, harga dagÂing sapi masih dibanderol Rp 140.000/kg.
Padahal, upaya yang diÂlakukan pemerintah sudah cukup gencar, yakni dengan mengeluarkan sejumlah kebiÂjakan baru seperti membuka impor jeroan, daging jenis secÂondary cut dan daging kerbau. Upaya ini belum membuahÂkan hasil nyata.
Sejumlah pihak pun meraÂgukan keampuhan keran imÂpor ini dalam menurunkan harga di dalam negeri. Bahkan banyak kalangan yang menÂduga daging impor tersebut akan membawa wabah peÂnyakit seperti PMK (Penyakit Mulut dan Kuku) untuk daging kerbau.
Irwan, salah seorang penÂjual daging sapi di Pasar JatinÂegara, Jakarta Timur menÂgatakan, isu seperti ini sudah sering beredar setiap kali ada upaya pemerintah melakukan impor.
“Tapi dari dulu memang begitu. Kalau sudah mau imÂpor, menjelang hari raya pasti banyak gosip, yang anthrax lah, flu burung lah,†ujarnya kepada detikFinance, Minggu (17/7/2016).
Ia mengaku, usaha pemerÂintah dalam menurunkan harÂga daging dengan melakukan operasi pasar melalui sejumÂlah BUMN dan swasta tahun ini lumayan berhasil dalam menahan harga daging sapi, hingga tak melonjak tinggi.
“Memang harga nggak tuÂrun, tapi stabil. Standar saja. Nggak terlalu banyak/tinggi melonjak. Seperti dari bank Artha Graha kemarin juga ada kan, jadi bisa nekan harga juga. Kalau dulu sebulan sekaÂli, naik itu bisa berkali-kali naik. Seminggu bisa tiga kali naik,†tambahnya.
Praktik kartel yang terjadi selama ini pun menjadi salah satu kendala yang dihadapi para pedagang kecil. “PedaÂgang mah ngikut saja. Di atas jual mahal mah kita ngikut saja. Harga daging mahal kan kayak model feedloter-feedloter kan. Yang susah kita. Kalau harga naik, langganan kan nggak mau naik. Yah gimana siasatnya kita saja,†pungkasnya.
Impor Jeroan
Permintaan jeroan sapi menjelang Lebaran lalu meÂningkat. Bulog mengaku telah melakukan impor jeroan sapi sebanyak 2.000 ton, yang diÂlakukan bersamaan dengan impor daging beku, terdiri dari 1.000 ton hati dan 1.000 ton jantung.
Jeroan impor ini pun ditarÂgetkan oleh Menteri Pertanian Amran Sulaiman untuk dijual dengan harga Rp 20.000-30.000/kg.
Salah seorang penjual dagÂing sapi di Pasar Jatinegara, Jakarta Timur mengaku telah mengambil pasokan jeroan impor dari Bulog sejak sebeÂlum Lebaran lalu. Harga jeÂroan yang dijual berkisar Rp 50.000-Rp 80.000/kg, yang terdiri dari hati, jantung, dan paru.
“Jeroan kayak usus, baÂbat di sini memang jualnya Rp 30.000. Tapi kalau paru, limpa jualnya nggak bisa Rp 30.000 (jeroan lokal). Kalau impor (limpa) nggak tahu, karena impor belum pernah saya lihat. Kalau hati impor masih bisa murah Rp 35.000-Rp 44.000 kemarin. Kita jualÂnya bisa Rp 50.000 sampai Rp 60.000,†kata Irwan.
Irwan menambahkan, saat ada jeroan yang diimpor, ia mengambil jeroan jenis hati saja. Hal ini dikarenakan untuk hati, selera konsumen masih bisa dipenuhi lewat jatah imÂpor. Sementara untuk jantung, menurutnya konsumen lebih banyak memilih yang lokal.
“Kalau hati ada yang imÂpor. Cuma kemarin pas LebaÂran harganya tinggi sampai Rp 44.000, paru juga ada tapi baÂrangnya langka, dan barangÂnya mahal. Kayak paru, 15 hari menjelang Lebaran sudah muÂlai kosong. Masalahnya perÂmintaan banyak, kayak yang punya duit itu ngedrop barang duluan. Jadi saat barang sudah mulai kosong, barangnya maÂhal,†imbuhnya.
Ia pun mengakui ada perÂbedaan antara jeroan impor dan lokal. Dibanding impor, jeroan lokal dirasa lebih baik dalam hal rasa dan kualitas. Meskipun rasa menurutnya tergantung kembali kepada cara mengolahnya.
“Untuk hati, ada yang beÂdain. Karena ada beda rasa impor sama lokal. Impor itu agak keras. Kalau lokal rasanÂya lebih enak digigit. Tapi ada ibu yang bisa bedain, ada ngÂgak. Rasa kualitas impor pasti beda. Lebih enak lokal,†tuÂturnya.
Namun saat ini pedagang lebih banyak yang menjual jeÂroan lokal. Alasannya karena permintaan konsumen akan daging sudah mulai menurun, dan tidak berani mengambil jeroan impor yang diambil dalam jumlah besar.
“Sekarang lagi nggak amÂbil (impor). Karena nggak ada pemakaian. Sekarang jadinya cuma lokal. Karena permintaan juga sudah mulai berkurang. Kalau jeroan itu kan satu kardus langsung isinÂya 27 kilo. Nggak berani ambil banyak-banyak,†pungkasnya.
(Alfian Mujani|detik)
Bagi Halaman