JAKARTA TODAY– Sudah dua taÂhun Jaksa Agung Muhammad PraÂsetyo memimpin korps Adhyaksa. Selama itu pula, gebrakan yang diharapkan bisa menaikan pamor kejaksaan dalam memberantas koÂrupsi masih dipertanyakan.
“Kita bingung apa gebrakan yang dibuat oleh Prasetyo,†kata anggota Divisi Monitoring Hukum dan Peradilan Indonesia Corruption Watch (ICW) Lalola Easter dalam diskusi Catatan Terhadap KejakÂsaan RI di kantornya, Jalan Kalibata Timur, Jakarta Selatan, kemarin.
Lola menilai saat ini banyak perkara yang mandek di kejaksaan. Kasus-kasus besar yang menjadi perhatian publik seperti Setya NoÂvanto, dan Riza Chalid, hingga saat ini belum tampak kejelasannya. Selain itu, kejaksaan juga memiliki tunggakan eksekusi untuk perkara korupsi seperti kasus Bantuan LiÂkuiditas Bank Indonesia dan Cessie Bank Bali (BLBI).
Menurut Lola, kejaksaan sangat lambat menangani kasus BLBI. UpÂdate terakhir kali adalah Kejaksaan Agung berhasil memulangkan terpiÂdana kasus BLBI Samadikun Hartono. Namun, hingga hari ini, belum jelas soal penggantian kerugian negaranya.
Selain itu, Lola menganggap KejakÂsaan Agung kurang transparan dalam memberikan informasi terkait penyÂelamatan aset negara. Menurut dia, pidana uang pengganti harus benar-benar dieksekusi karena berkaitan dengan pembayaran kerugian negara. “Kalau sampai itu eksekusi tidak berjaÂlan, negara akan tekor,†kata dia.
Sementara itu, Hasil temuan ICW besaran kerugian negara di seÂmester 1 tahun 2016 mencapai Rp 1,4 triliun. Dari total tersebut ada sekitar Rp 400 miliar yang belum dibayarkan.
Indonesia Corruption Watch menilai vonis hakim semakin menÂguntungkan pelaku korupsi. Hal itu terlihat dari hasil kajian dan pemanÂtauan yang dilakukan ICW sepanÂjang Januari-Juni 2016.
Anggota Divisi Hukum dan MonÂitoring ICW, Aradila Caesar, menÂgatakan sebagian besar koruptor hanya mendapatkan hukuman rata-rata 2 tahun 1 bulan penjara. “Ada kecenderungan hakim hanya meÂmilih hukuman minimal,†katanya di kantor ICW, Jakarta, kemarin.
Hukuman minimal di bawah 4 tahun ada dalam Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-undang Tindak Pidana Korupsi. Bila dibandingkan denÂgan semester I 2015, jumlah vonis ringan naik. ICW mencatat, pada periode yang sama tahun sebelumÂnya, 163 terdakwa mendapatkan voÂnis ringan. Sedangkan pada semesÂter I 2014, ada 193 terdakwa yang mendapat vonis ringan.
Melihat masih ringannya vonis ringan yang diberikan hakim, ucap Aradila, ICW mendesak pengadilan, khususnya Mahkamah Agung, meÂmiliki kesamaan pandangan. PenÂgadilan harus memandang bahwa korupsi adalah kejahatan luar biasa. Aradila juga meminta pengadilan menjatuhkan pidana tambahan. Bentuknya bisa berupa pencabutan aset serta mencabut hak politik atau status kepegawaian.
Selama Januari-Juni 2016, ICW memantau 325 perkara korupsi dengan 384 terdakwa yang telah diperiksa dan diputus pengadilan. Perkara itu berasal dari pengadilan tipikor (243 perkara), pengadilan tinggi (67 perkara), dan Mahkamah Agung (15 perkara). Total nilai keruÂgian negara yang timbul mencapai Rp 1,4 triliun dan US$ 19,7 juta.
Dari 325 perkara korupsi, 319 terdakwa (83,1 persen) dinyatakan bersalah, 46 terdakwa (12 persen) divonis bebas, dan 19 terdakwa (4,9 persen) tak dapat diidentifikasi.
Sedangkan dari putusan perkara, ICW membagi menjadi empat kateÂgori, yaitu bebas, ringan (0-4 tahun), sedang (5-10 tahun), dan berat (di atas 10 tahun). Tercatat, sepanjang semester I 2016, 46 putusan berstaÂtus bebas, 275 putusan ringan, 37 puÂtusan sedang, dan 7 putusan berat.
ICW menggunakan metodologi pemantauan dengan mengumÂpulkan data perkara korupsi, dari pengadilan tingkat pertama hingga Mahkamah Agung. Data lalu diolah dengan menambah sumber acuan dari situs MA atau pengadilan.
(Yuska Apitya/net)
Bagi Halaman