B1-26-7-2016-BisnisOleh : Yuska Apitya
[email protected]

BANK Indonesia (BI) menahan suku bunga acuan (BI rate) pada level 6,5%. Pertimbangan dari keputusan tersebut adalah kondisi perekonomian global yang masih mengkhawatirkan.

Kita mungkin harus per­timbangkan seperti juga negara-negara lain adalah perkembangan dari eko­nomi dunia,” ungkap Gubernur BI Agus Martowardojo di Gedung DPR, Jakarta, Senin (25/7/2016).

Ini terutama pasca referendum Inggris yang keluar dari Uni Eropa atau dikenal dengan nama Brexit. Dalam jangka pendek, efek dari persoalan tersebut sudah terken­dali, namun masih ada risiko jang­ka panjang. “Kita kan sama-sama mengikuti bahwa Brexit itu dam­paknya adalah nanti kepada nera­ca perdagangan dan juga kepada ketidakpastian karena nanti perlu ada renegosiasi dari semua per­janjian perdagangan yang ada dan bagaimana nanti outlook-nya kita masih belum tahu,” papar Agus.

Tidak hanya bagi Indonesia, Amerika Serikat (AS) sekalipun ma­sih waspada. Niat Bank Sentral AS the Federal Reserve (The Fed) untuk menaikkan suku bunga acuan, be­sar kemungkinkan ditunda hingga tahun depan. “Amerika pun men­gatakan sangat masih melihat ada dampak dari Brexit ini kepada eko­nomi dunia dan juga kepada eko­nomi Amerika,” jelasnya.

Agus mengakui, ruang pelong­garan kebijakan moneter masih terbuka lebar. Terutama melihat data perekonomian Indonesia yang membaik, seperti terkendalinya in­flasi dan defisit transaksi berjalan. Namun sekarang masih mencari waktu yang tepat. “Kita melihat ma­sih ada ruang pelonggaran tapi ten­tu kita masih ada waktu untuk me­lihat kapan waktu yang tepat untuk melakukan pelonggaran itu,” tegas mantan Menteri Keuangan tersebut.

Terkait dengan pergantian BI rate menjadi BI 7 days reverse repo rate, Agus menilai, sekarang tengah dalam persiapan. BI tetap konsisten untuk merealisasikan pada Agustus mendatang. “Kita harapkan dengan kita gunakan 7 day reverse repo rate itu transmisi kebijakan moneter kita akan semakin efektif untuk mem­pengaruhi kondisi interbank inter­est rate,” tukasnya.

Sementara itu, Menko Pereko­nomian Darmin Nasution menilai ruang pelonggaran kebijakan mon­eter masih terbuka cukup lebar un­tuk mendorong pertumbuhan eko­nomi, terutama menurunkan suku bunga acuan (BI Rate). Walaupun akhirnya Bank Indonesia (BI) lebih memilih untuk menahan pada level 6,5%. “Sebetulnya ruang pelongga­ran moneter itu masih terbuka. Jadi kalau BI tidak menurunkan BI rate, saya melihatnya kok lebih karena mereka mau melakukan kebijakan baru yang tingkat Reverse Repo 7 hari,” jelas Darmin di kantornya, Ja­karta, Minggu (24/7/2016).

BACA JUGA :  Hidangan Segar dan Creamy dengan Selada Udang dan Nanas ala Restoran Chinese Food

Indikasinya terlihat pada realisa­si inflasi yang terjaga dengan baik. Inflasi pada Juni 2016 tercatat sebe­sar 0,66% (month to month) atau 3,45% (year on year), relatif lebih rendah dibandingkan dengan rata-rata inflasi periode Ramadan dalam empat tahun terakhir. “Kalau dilihat ruang untuk pelonggaran moneter, dilihat dari inflasi, dilihat dari kebu­tuhan untuk mendorong pertum­buhan sebenarnya cukup jelas,” terangnya. “Sehingga saya kok per­caya pada bulan bulan mendatang, BI masih akan mengembangkan lebih jauh, supaya dia sejalan den­gan situasi perekonomian,” ungkap Mantan Gubernur Bank Indonesia (BI) tersebut.

Sementara, Bank Indonesia (BI) memprediksi laju pertumbuhan ekonomi Indonesia di 2016 ini akan berada di kisaran 5-5,4% di tahun ini. Faktor yang menjadi perhatian BI adalah cerainya Inggris dan Uni Eropa (Brexit) dan program pen­gampunan pajak atau tax amnes­ty di dalam negeri.

Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI, Tirta Segara, men­gatakan ekonomi global memang akan tumbuh lebih lambat karena efek Brexit. Cerainya Inggris dari Uni Eropa ini berpotensi mem­perlambat pertumbuhan ekonomi negara maju dan beberapa negara berkembang yang memiliki hubun­gan kuat dengan Inggris dan Uni Eropa.

“Selain berdampak pada eko­nomi Inggris dan Uni Eropa, per­tumbuhan ekonomi Tiongkok dan India, yang memiliki pangsa ekspor cukup besar ke kawasan tersebut, diperkirakan dapat tumbuh lebih rendah dari proyeksi sebelumnya,” kata Tirta.

Di sisi lain, lanjut Tirta, di ten­gah pertumbuhan ekonomi AS yang membaik dan adanya Brexit, maka dolar AS mengalami penguatan. BI memperkirakan, penguatan dolar AS ini mengurangi peluang naiknya suku bunga acuan AS (Fed Fund Rate/FFR). «Sehingga FFR diperki­rakan hanya meningkat satu kali di akhir tahun 2016,» ujar Tirta.

BACA JUGA :  Menu Kreasi dengan Lumpia Kembang Tahu yang Gurih dan Lezat

Sementara di pasar komoditas, Tirta mengatakan, harga minyak dunia bergerak naik akibat penu­runan produksi AS dan gangguan pasokan di beberapa negara. Ke depan, harga minyak diperkirakan masih berada pada level yang rela­tif rendah seiring permintaan yang masih lemah. Sementara itu, harga beberapa komoditas ekspor Indone­sia membaik, khususnya batu bara dan CPO.

Kemudian dari dalam negeri, BI melihat bahwa program pen­gampunan pajak berpotensi me­nambah likuiditas perekonomian nasional, yang bisa dimanfaatkan untuk kegiatan ekonomi produktif di dalam negeri. “Bank Indonesia akan terus melakukan pendalaman pasar keuangan dengan menam­bah produk investasi dan lindung nilai (hedging) di pasar keuangan, memperkuat strategi pengelolaan moneter, dan mendorong sektor riil untuk memanfaatkan dana repatri­asi secara optimal. Bank Indonesia juga akan terus berkoordinasi den­gan Pemerintah agar pelaksanaan UU Pengampunan Pajak termasuk repatriasi dana dapat bermanfaat bagi perekonomian nasional,” pa­par Tirta.

Dia menjelaskan, pertumbuhan ekonomi Indonesia di kuartal II- 2016 akan membaik, namun terba­tas, Konsumsi rumah tangga disebut membaik, yang terlihat dari tum­buhnya penjualan eceran dan mobil menjelang lebaran.

Namun, pertumbuhan investasi, khususnya non bangunan, belum menunjukkan perbaikan yang sig­nifikan di tengah tingginya belanja modal dan barang pemerintah. Dari sisi eksternal, ekspor diperkirakan masih lemah, meskipun beberapa komoditas mulai mengalami pen­ingkatan. «Pertumbuhan ekonomi pada triwulan-triwulan mendatang diperkirakan akan terus membaik. Hal ini didukung oleh pelonggaran moneter dan makroprudensial, serta penguatan stimulus fiskal yang sejalan dengan implementasi UU Pengampunan Pajak, serta tetap tingginya belanja pemerintah. Den­gan perkembangan tersebut, per­tumbuhan ekonomi untuk keseluru­han 2016 diperkirakan berada pada kisaran 5,0-5,4%,» tandasnya.(*)

 

Bagi Halaman
============================================================
============================================================
============================================================