PERTUMBUHAN ekonomi Indonesia pada tahun 2016 diprediksi akan tumbuh pada level 5-5,5%. Namun, secara teori, pertumbuhan ekonomi Indonesia sebenarnya bisa mencapai 8% pada akhir tahun nanti.
Oleh : Yuska Apitya
[email protected]
Vice President Economic dan Currency Research DBS Bank, Gundi CaÂhyadi mengatakan, ada 3 faktor utama yang membuat pertumÂbuhan ekonomi Indonesia mandek di kisaran 5%.
“Secara teorinya Indonesia lebih stabil dibanding negara lain sehingga bisa mencapai di atas 7%, bahkan 8%. Tapi untuk sampai kembali ke level 6,6% seperti dulu saja sulit. SetiÂdaknya karena 3 alasan utama,†jelas Gundi di Marina Bay FiÂnancial Center (MBFC),
kantor pusat DBS Bank, Singapura, Rabu (3/7/2016).
Faktor pertama, kata Gundi, yakni faktor penghambat jangka panjang berupa ketertinggalan inÂfrastruktur. “Pertama jelas secara pembangunan infrastruktur kita sangat terlambat. Sementara pengaÂruh infrastruktur juga butuh proses lama karena bangun infrastruktur rata-rata perlu setidaknya 5 tahun,†ujarnya.
Untuk penghambat pertumÂbuhan ekonomi kedua, lanjut dia, yakni sektor industri manufaktur yang diharapkan jadi penggerak ekonomi pengganti sektor komoÂditas yang harganya anjlok, malah ikut terpuruk. “Jangka menenÂgahnya pertumbuhan manufaktur sangat lambat. Yang seharusnya jadi substitusi penggerak saat komoditas turun. Manufaktur kalah cepat denÂgan Korea, Malaysia, dan Thailand,†terang Gundi.
Dia menjelaskan, tren pertumÂbuhan sektor industri manufaktur hanya sebesar 4% saja. Merosot dari angka pertumbuhan industri manuÂfaktur yang pada tahun 2011-2012 raÂta-rata 6%. “Sementara faktor ketiga berupa belum ada support dari sisi fiskal. Sampai Juli baru terealisasi 33% dari target setahun. Tax raÂtio atau rasio penerimaan pajak terÂhadap GDP sampai Juli baru 10,1%. Itu merupakan angka paling rendah dalam 20 tahun terakhir, kecuali 2009 yang memang sedang krisis,†ungkap Gundi.
Optimisme terhadap ekonomi Indonesia semakin menguat dalam beberapa waktu terakhir. Angin segar datang dari berbagai kebiÂjakan pemerintah, sehingga timbul sentimen positif bagi investor. Dana asing pun mengalir deras masuk ke dalam negeri.
Reza Priyambada, Analis NongÂhyup Korindo Sekuritas, menaruh optimisme pertumbuhan ekonomi 2016 bisa mencapai 5,3%. Walaupun bisa saja realisasinya lebih tinggi, seiring dengan berjalannya kebiÂjakan program pengampunan pajak atau tax amnesty. “Dengan upaya pemerintah yang kita lihat, maka saya optimis pertumbuhan ekoÂnomi bisa mencapai rentang 5,05%- 5,3%,†ujarnya.
Dari sisi inflasi, Reza memperkiÂrakan laju inflasi tahun ini ada di kisaran 3,8-4,2%. Ini sesuai dengan asumsi yang dipatok pemerintah, meskipun sebenarnya masih risiko, seperti kenaikah harga bahan bakar minyak (BBM) dan tarif dasar listrik.
Pada kesempatan yang sama, Rangga Cipta, Analis Samuel SekuÂritas Indonesia, melihat realisasi ekonomi Indonesia pada 2016 lebih rendah, yakni 5,1%. Namun masih lebih tinggi dibandingkan tahun lalu, yang sebesar 4,8%. Konsumsi rumah tangga tetap menjadi pendoÂrong utama, akan tetapi porsi dari belanja pemerintah cukup besar terÂhadap ekonomi Indonesia. Di sampÂing investasi swasta dan ekspor yang terus membaik. “Ekspor akan lebih baik dari tahun lalu, karena terkait dengan tren positif pada harga koÂmoditas,†jelas Rangga.
Sementara itu Leo Putra Rinaldy, Analis Mandiri Sekuritas, melihat lebih pesimistis. Indonesia masih dalam fase perlambatan ekonomi. Tidak jauh berbeda dengan kebanÂyakan negara di dunia. Leo memÂroyeksi perekonomian Indonesia di 2016 tumbuh 5%. “Perekonomian Indonesia memang masih dalam perlambatan,†ujarnya.
Menurut Leo, untuk mendoÂrong ekonomi tumbuh lebih cepat memang diperlukan peningkatan investasi yang drastis. Ini belum terÂlihat signifikan pada periode 2016.
Terhadap inflasi, Leo memÂproyeksikan 3,5-3,9%. Hal ini diangÂgap berkat upaya pemerintah unÂtuk menjaga stabilitas harga bahan makanan melalui kebijakan yang membuka keran impor. «Jadi risiko inflasi kalau dari bahan makanan itu hampir sedikit, tinggal adminisÂter price seperti BBM dan listrik,» terang Leo.
Sementara, ekonomi dunia taÂhun 2015 tumbuh lebih lambat dari tahun 2014, yang salah satunya akiÂbat dari moderasi ekonomi China, meskipun beberapa negara lainnya menunjukkan percepatan dalam pertumbuhan seperti India, Jepang, dan beberapa negara di kawasan Eropa.
Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BappeÂnas) Bambang Brodjonegoro menÂgatakan, risiko perlambatan masih ada dengan adanya harga komodiÂtas yang masih cenderung rendah, perdagangan global lemah dan berkurangnya arus modal. “Harga komoditas memang sedang rendah-rendahnya. Yang paling kritikal adalah minyak bumi. Itu adalah cerÂminan harga komoditas lain masih rendah. Harga minyak kadang kita sikapi dengan gembira, namun artiÂnya juga globaldemand sedang renÂdah,†kata dia.
Ekonomi Indonesia sendiri tumÂbuh dengan laju yang cukup stabil. Konsumsi masyarakat masih terjaga dengan tumbuh sebesar 4,9%. Hal ini didukung oleh rendahnya inflasi dan program pemerintah dalam menjaga daya beli seperti Program PKH, Kartu Pintar, Kartu Sehat, dan lain-lain.
Namun, Bambang mengatakan, konsumsi rumah tangga seperti makanan, minuman dan transporÂtasi menjadi komponen utama yang menjadi penggerak bagi pertumbuÂhan ekonomi Indonesia.
Sumber utama pertumbuhan konsumsi rumah tangga Indonesia sendiri pada kuartal I-2016 terdiri dari makanan dan minuman (selain restoran), transportasi dan komuÂnikasi, perumahan dan perlengkaÂpan rumah tangga, serta restoran dan hotel. «Sektor konsumsi khuÂsusnya makanan dan minuman masih cerah. Itu yang masih menÂjadi backbone ekonomi kita. IndusÂtri makanan dan minuman di luar restoran masih cukup cerah. PerÂmintaan masih bagus, makanan dan minuman mungkin salah satu yang kita dorong secara global,» ujarnya.
Bambang pun menyebutkan, ada salah satu produk konsumsi dari Indonesia yang sudah menduÂnia, seperti produk mi yang dimiliki Indofood. Ia bahkan terkejut produk ini sudah hadir di beberapa negara yang tidak terduga dan memiliki pabrik di negara tersebut. “Mereka sudah punya pabrik di Serbia, SuÂdan dan Nigeria. Ini artinya sudah jadi pemain global, orang Saudi itu jatuh cinta sekali sama Indomie, beÂlum lagi Kapal Api sampai Kacang Garuda,†ungkap Bambang.
Namun demikian, Bambang menjelaskan apa yang telah disamÂpaikannya tidak bermaksud untuk mendorong investor membeli saÂham di industri yang dimaksud. Ia mengatakan memilih emiten, harÂuslah melihat kinerja dan sahamÂnya.(*)
Bagi Halaman