B1--04-8-2016-Bisnis PERTUMBUHAN ekonomi Indonesia pada tahun 2016 diprediksi akan tumbuh pada level 5-5,5%. Namun, secara teori, pertumbuhan ekonomi Indonesia sebenarnya bisa mencapai 8% pada akhir tahun nanti.

Oleh : Yuska Apitya
[email protected]

Vice President Economic dan Currency Research DBS Bank, Gundi Ca­hyadi mengatakan, ada 3 faktor utama yang membuat pertum­buhan ekonomi Indonesia mandek di kisaran 5%.

“Secara teorinya Indonesia lebih stabil dibanding negara lain sehingga bisa mencapai di atas 7%, bahkan 8%. Tapi untuk sampai kembali ke level 6,6% seperti dulu saja sulit. Seti­daknya karena 3 alasan utama,” jelas Gundi di Marina Bay Fi­nancial Center (MBFC),

kantor pusat DBS Bank, Singapura, Rabu (3/7/2016).

Faktor pertama, kata Gundi, yakni faktor penghambat jangka panjang berupa ketertinggalan in­frastruktur. “Pertama jelas secara pembangunan infrastruktur kita sangat terlambat. Sementara penga­ruh infrastruktur juga butuh proses lama karena bangun infrastruktur rata-rata perlu setidaknya 5 tahun,” ujarnya.

Untuk penghambat pertum­buhan ekonomi kedua, lanjut dia, yakni sektor industri manufaktur yang diharapkan jadi penggerak ekonomi pengganti sektor komo­ditas yang harganya anjlok, malah ikut terpuruk. “Jangka menen­gahnya pertumbuhan manufaktur sangat lambat. Yang seharusnya jadi substitusi penggerak saat komoditas turun. Manufaktur kalah cepat den­gan Korea, Malaysia, dan Thailand,” terang Gundi.

Dia menjelaskan, tren pertum­buhan sektor industri manufaktur hanya sebesar 4% saja. Merosot dari angka pertumbuhan industri manu­faktur yang pada tahun 2011-2012 ra­ta-rata 6%. “Sementara faktor ketiga berupa belum ada support dari sisi fiskal. Sampai Juli baru terealisasi 33% dari target setahun. Tax ra­tio atau rasio penerimaan pajak ter­hadap GDP sampai Juli baru 10,1%. Itu merupakan angka paling rendah dalam 20 tahun terakhir, kecuali 2009 yang memang sedang krisis,” ungkap Gundi.

Optimisme terhadap ekonomi Indonesia semakin menguat dalam beberapa waktu terakhir. Angin segar datang dari berbagai kebi­jakan pemerintah, sehingga timbul sentimen positif bagi investor. Dana asing pun mengalir deras masuk ke dalam negeri.

Reza Priyambada, Analis Nong­hyup Korindo Sekuritas, menaruh optimisme pertumbuhan ekonomi 2016 bisa mencapai 5,3%. Walaupun bisa saja realisasinya lebih tinggi, seiring dengan berjalannya kebi­jakan program pengampunan pajak atau tax amnesty. “Dengan upaya pemerintah yang kita lihat, maka saya optimis pertumbuhan eko­nomi bisa mencapai rentang 5,05%- 5,3%,” ujarnya.

BACA JUGA :  Menu Makan Malam Spesial dengan Ikan Kembung Masak Santan yang Gurih dan Maknyus

Dari sisi inflasi, Reza memperki­rakan laju inflasi tahun ini ada di kisaran 3,8-4,2%. Ini sesuai dengan asumsi yang dipatok pemerintah, meskipun sebenarnya masih risiko, seperti kenaikah harga bahan bakar minyak (BBM) dan tarif dasar listrik.

Pada kesempatan yang sama, Rangga Cipta, Analis Samuel Seku­ritas Indonesia, melihat realisasi ekonomi Indonesia pada 2016 lebih rendah, yakni 5,1%. Namun masih lebih tinggi dibandingkan tahun lalu, yang sebesar 4,8%. Konsumsi rumah tangga tetap menjadi pendo­rong utama, akan tetapi porsi dari belanja pemerintah cukup besar ter­hadap ekonomi Indonesia. Di samp­ing investasi swasta dan ekspor yang terus membaik. “Ekspor akan lebih baik dari tahun lalu, karena terkait dengan tren positif pada harga ko­moditas,” jelas Rangga.

Sementara itu Leo Putra Rinaldy, Analis Mandiri Sekuritas, melihat lebih pesimistis. Indonesia masih dalam fase perlambatan ekonomi. Tidak jauh berbeda dengan keban­yakan negara di dunia. Leo mem­royeksi perekonomian Indonesia di 2016 tumbuh 5%. “Perekonomian Indonesia memang masih dalam perlambatan,” ujarnya.

Menurut Leo, untuk mendo­rong ekonomi tumbuh lebih cepat memang diperlukan peningkatan investasi yang drastis. Ini belum ter­lihat signifikan pada periode 2016.

Terhadap inflasi, Leo mem­proyeksikan 3,5-3,9%. Hal ini diang­gap berkat upaya pemerintah un­tuk menjaga stabilitas harga bahan makanan melalui kebijakan yang membuka keran impor. «Jadi risiko inflasi kalau dari bahan makanan itu hampir sedikit, tinggal adminis­ter price seperti BBM dan listrik,» terang Leo.

Sementara, ekonomi dunia ta­hun 2015 tumbuh lebih lambat dari tahun 2014, yang salah satunya aki­bat dari moderasi ekonomi China, meskipun beberapa negara lainnya menunjukkan percepatan dalam pertumbuhan seperti India, Jepang, dan beberapa negara di kawasan Eropa.

BACA JUGA :  Resep Ikan Kembung Kukus, Menu Lezat Simple Untuk Diet

Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappe­nas) Bambang Brodjonegoro men­gatakan, risiko perlambatan masih ada dengan adanya harga komodi­tas yang masih cenderung rendah, perdagangan global lemah dan berkurangnya arus modal. “Harga komoditas memang sedang rendah-rendahnya. Yang paling kritikal adalah minyak bumi. Itu adalah cer­minan harga komoditas lain masih rendah. Harga minyak kadang kita sikapi dengan gembira, namun arti­nya juga globaldemand sedang ren­dah,” kata dia.

Ekonomi Indonesia sendiri tum­buh dengan laju yang cukup stabil. Konsumsi masyarakat masih terjaga dengan tumbuh sebesar 4,9%. Hal ini didukung oleh rendahnya inflasi dan program pemerintah dalam menjaga daya beli seperti Program PKH, Kartu Pintar, Kartu Sehat, dan lain-lain.

Namun, Bambang mengatakan, konsumsi rumah tangga seperti makanan, minuman dan transpor­tasi menjadi komponen utama yang menjadi penggerak bagi pertumbu­han ekonomi Indonesia.

Sumber utama pertumbuhan konsumsi rumah tangga Indonesia sendiri pada kuartal I-2016 terdiri dari makanan dan minuman (selain restoran), transportasi dan komu­nikasi, perumahan dan perlengka­pan rumah tangga, serta restoran dan hotel. «Sektor konsumsi khu­susnya makanan dan minuman masih cerah. Itu yang masih men­jadi backbone ekonomi kita. Indus­tri makanan dan minuman di luar restoran masih cukup cerah. Per­mintaan masih bagus, makanan dan minuman mungkin salah satu yang kita dorong secara global,» ujarnya.

Bambang pun menyebutkan, ada salah satu produk konsumsi dari Indonesia yang sudah mendu­nia, seperti produk mi yang dimiliki Indofood. Ia bahkan terkejut produk ini sudah hadir di beberapa negara yang tidak terduga dan memiliki pabrik di negara tersebut. “Mereka sudah punya pabrik di Serbia, Su­dan dan Nigeria. Ini artinya sudah jadi pemain global, orang Saudi itu jatuh cinta sekali sama Indomie, be­lum lagi Kapal Api sampai Kacang Garuda,” ungkap Bambang.

Namun demikian, Bambang menjelaskan apa yang telah disam­paikannya tidak bermaksud untuk mendorong investor membeli sa­ham di industri yang dimaksud. Ia mengatakan memilih emiten, har­uslah melihat kinerja dan saham­nya.(*)

Bagi Halaman
============================================================
============================================================
============================================================