banjir-13MAU seberapa parah lagi banjir negeri ini? mau seberapa kering lagi negeri ini saat kemarau? maukan kita Indonesia ini tanpa hewan liar? dan maukah kita negeri kita makin banyak keragaman tumbuhan yang punah? Pertanyaan itu harus didalami jika ingin mengembangkan lebih luas kebun sawit ditanah air. Perkebunan sawit termasuk komoditas unggulan perkebunan sebagai penopang perekonomian banyak orang.

Oleh: BAHAGIA, SP., MSC.
Pengelolaan Sumberdaya Alam Dan Lingkungan IPB dan
Dosen Tetap Universitas Ibn Khaldun Bogor.

Banyak orang bergan­tung kepada sawit. Masyarakat banyak bergantung hidup pada sawit. Negara juga bergantung kepada sawit. Ber­gantungnya manusia terhadap sawit tadi membuat perluasan kebun sawit tidak mempertim­bangkan kualitas ekologi desa dan perkotaan. Keseimbangan luasan hutan dan sawit harus di­pertimbangkan. Kita tidak bisa mengejar keuntungan secara ekonomi terus menerus. Perlah­an-lahan kualitas ekologis makin parah dan kondisinya kini sangat gawat.

Bencana banjir sering terjadi karena perluasan kebun. Keker­ingan mudah terjadi, peningka­tan gas emisi juga mudah terjadi, dan bahkan kehilangan biodi­versitas hewan dan tumbuhan. Satu persatu jenis kayu-kayu kita belum diselamatkan. Satu per­satu keragaman pakis-pakisan hilang dan punah. Keragamanan tanaman hias hutan juga punah. Ayam hutanpun hilang dan sulit untuk mencarinya. Habitat he­wan menyempit. Hewan teran­cam kepunahan karena habitat yang sempit. Habitat yang sempit mempermudah perburuan he­wan.

Hewan jadi korban perbu­ruan dan lama kelamaan akan punah. Disamping itu, hewan su­lit untuk berkembang biak. Jenis tumbuh-tumbuhanpun begitu. Keragaman yang berbagai jenis harus punah dan berganti men­jadi satu keragaman saja yaitu kebun sawit. Dampak banjirpun akan dirasakan oleh masyaraat sekitar. Sering kita dengar banjir di Kabupaten Rokan Hulu Riau karena disana luasan sawit ter­masuk luas. Dulu hutannya cu­kup bagus. Orang-orang disana senengnya berhuma.

Menanam padi daratan ke­mudian berganti kepada lahan berikutnya. Lahan yang pertama dibiarkan hutan kembali. Kini huma tidak lagi ada. Luasan sawit tadilah yang tertinggal. Daerah lain juga sama, Kalimanatan Timur, Kalimantan Tengah, Su­mara selatan, dan jangan sampai perlusan hingga Papua. Disini nampak kita terlalu serakah. Ka­lau dilakukan maka banjir merata dibumi karena perluasan sawit-sawait tadi. Banjir permukaan pada kebun tadi akan masuk ke sungai.

BACA JUGA :  TIPS JITU BERHENTI MEROKOK

Sungai jadi butek dan berwar­na kuning kecoklatan dan bah­kan lebih parah lagi. Tandanya banyak sekali lapisan tanah yang terangkat kemudian menumpuk disungai. Semua karena erosi tinggi permukaan akibat dae­rah lahan sawit tidak ada yang menghabat air. Vegetasi kosong dibawah-bawah pohon sawit. Satu sisi akar kelapa sawit sangat dangkal dan serabut sehingga tak bisa membuat tanah makin gem­bur. Akhirnya ekosistem sungai jadi rusak.

Sungai jadi dangkal. Sungai jadi tidak bisa menampung air saat hujan banyak turun. Kalau­pun hujan tidak lebat namun tetap saja banjir karena kapasitas sungai yang biasanya dapat me­nampung. Kini tidak lagi karena terjadi pendangkalan dan peny­empitan sungai. Pinggiran sungai rawan longsor. Harusnya kita tau bahwa hujan yang turun sudah sesuai dengan kapasistas dan kekeringan pada daerah terten­tu. Memperluas sungai namun membuatnya semakin dangkal.

Air yang ada disungai tadi akan masuk dan mengalir kelau­tan. Air akan penuh dilaut. Banjir lautan dan kemungkinan akan balik lagi kedaratan. Masyarakat sekitar sungai dan masyarakat yang jauh dari sungai disekitar kebun akan terimbas akibat ke­bun kita ini. Lantas apakah kita belum mau mengakui, kejam juga kita ini. Egois sekali kalau ada pula ilmuwan yang mau mer­ekomendasi terus menerus per­luasan kebun sawit. Berarti sama artinya mendukung banjir terus menerus.

Kekeringanpun terjadi pula, hujan yang turun tak masuk sam­pai kedalam tanah. Tanahnya ter­tutup dan mudah berlari menuju sungai. Saat musim kemarau, air tadi tidak ada sehingga tanah jadi kering. Daerah sekitarpun akan kekeringan. Meluas dae­rah kekeringan. Jika masalahnya demikian rumit. Apakah kita masih memilih untuk memperlu­asnya atau cukup hanya sampai disitu saja. Alasan sawit sebagai sumber ekonomi dapat kita bena­rkan. Seperti itu adanya namun perlu dipertimbangkan jangan hanya memperluas saja.

Efek bencana ekologisnya yang sulit diatasi. Disini pemerin­tah rela membuang-buang uang untuk menangani banjir karena kerusakan hutan dan sawit. Habis pula uang untuk mengendalikan kebakaran hutan karena perlua­san sawit baik masyarakat biasa dan perusahaan besar. Uang tadi lebih baik dipakai untuk pengem­bangan usaha lain yang lebih baik untuk masyarakat. Sayang uang­nya dibuang begitu saja untuk menangani bencana.

BACA JUGA :  REFLEKSI HARI PENDIDIKAN NASIONAL: REPRESI SISTEM PENDIDKAN DALAM BENTUK KOMERSIALISASI

Dengan analis tadi maka ma­kin banyak uang yang akan dike­luarkan oleh pemerintah untuk menangani bencana ekologis karena kerusakan hutan dan ke­bun. Terus makin banyak. Ada beberapa hal yang harus dilaku­kan. Pertama, setiap daerah ha­rus punya peta ruang ekosistem. Ruang ekosistem tadi harus di­petakan berapa luasan untuk hutan dan rumput. Berapa untuk kebun sawit, perumahan dan kota. Luasan ini harus seimbang. Disinilah letak apakah bijak atau tidak pemerintah daerah.

Mendukung atau tidak dae­rah untuk penanganan bencana ekologis sawit. Jika luasan sawit lebih luas dibandingkan dengan kawasan hijau maka bencana akan datang pada daerah itu. Kota daerah itu akan terancam panas, banjir, dan kekeringan. Bahkan hidupnya akan teran­cam oleh kedatangan hewan liar. Kedua, luasan sawit perlu dipertimbangkan dengan luasan tanaman lainnya. Di Rokan Hulu Riau misalnya, dulu orang-orang bertani huma (padi ladang). Kini sudah jarang dilakukan. Satu sisi kita butuh pangan.

Benih lokal padi akan teran­cam dari kepunahan. Baiknya pemerintah juga menggalakkan komoditas pangan pada daerah yang tadinya daerah pangan. Dengan sawit akan menyingkir­kan huma. Menyingkirkan huma artinya menghilangkan benih lokal padi. Kita selalu inginnya seperti itu. Pada daerah lainpun sama. Kita terlalu mengikuti tren pasar sehingga lupa dengan sum­berdaya genetik lain yang harus diselamatkan.

Ketiga, kementerian ling­kungan harus memantau iklim termasuk kadar oksigen pada daerah kelapa sawit, memnatau keadaan air warga sekitar, banjir dan kekeringan. Lakukan penu­kuran sampai dengan beberapa tahun kedepan sehingga dik­etahui seberapa rusak akibatnya terhadap ekologis. Dengan di­dapatkannya data tersebut maka kementerian lingkungan bisa memperbaiki keadaan ekologis. Tanpa harus meniadakan kebun sawit yang terlanjur sudah dita­nam. (*)

 

Bagi Halaman
============================================================
============================================================
============================================================