MAU seberapa parah lagi banjir negeri ini? mau seberapa kering lagi negeri ini saat kemarau? maukan kita Indonesia ini tanpa hewan liar? dan maukah kita negeri kita makin banyak keragaman tumbuhan yang punah? Pertanyaan itu harus didalami jika ingin mengembangkan lebih luas kebun sawit ditanah air. Perkebunan sawit termasuk komoditas unggulan perkebunan sebagai penopang perekonomian banyak orang.
Oleh: BAHAGIA, SP., MSC.
Pengelolaan Sumberdaya Alam Dan Lingkungan IPB dan
Dosen Tetap Universitas Ibn Khaldun Bogor.
Banyak orang berganÂÂtung kepada sawit. Masyarakat banyak bergantung hidup pada sawit. Negara juga bergantung kepada sawit. BerÂÂgantungnya manusia terhadap sawit tadi membuat perluasan kebun sawit tidak mempertimÂÂbangkan kualitas ekologi desa dan perkotaan. Keseimbangan luasan hutan dan sawit harus diÂÂpertimbangkan. Kita tidak bisa mengejar keuntungan secara ekonomi terus menerus. PerlahÂÂan-lahan kualitas ekologis makin parah dan kondisinya kini sangat gawat.
Bencana banjir sering terjadi karena perluasan kebun. KekerÂÂingan mudah terjadi, peningkaÂÂtan gas emisi juga mudah terjadi, dan bahkan kehilangan biodiÂÂversitas hewan dan tumbuhan. Satu persatu jenis kayu-kayu kita belum diselamatkan. Satu perÂÂsatu keragaman pakis-pakisan hilang dan punah. Keragamanan tanaman hias hutan juga punah. Ayam hutanpun hilang dan sulit untuk mencarinya. Habitat heÂÂwan menyempit. Hewan teranÂÂcam kepunahan karena habitat yang sempit. Habitat yang sempit mempermudah perburuan heÂÂwan.
Hewan jadi korban perbuÂÂruan dan lama kelamaan akan punah. Disamping itu, hewan suÂÂlit untuk berkembang biak. Jenis tumbuh-tumbuhanpun begitu. Keragaman yang berbagai jenis harus punah dan berganti menÂÂjadi satu keragaman saja yaitu kebun sawit. Dampak banjirpun akan dirasakan oleh masyaraat sekitar. Sering kita dengar banjir di Kabupaten Rokan Hulu Riau karena disana luasan sawit terÂÂmasuk luas. Dulu hutannya cuÂÂkup bagus. Orang-orang disana senengnya berhuma.
Menanam padi daratan keÂÂmudian berganti kepada lahan berikutnya. Lahan yang pertama dibiarkan hutan kembali. Kini huma tidak lagi ada. Luasan sawit tadilah yang tertinggal. Daerah lain juga sama, Kalimanatan Timur, Kalimantan Tengah, SuÂÂmara selatan, dan jangan sampai perlusan hingga Papua. Disini nampak kita terlalu serakah. KaÂÂlau dilakukan maka banjir merata dibumi karena perluasan sawit-sawait tadi. Banjir permukaan pada kebun tadi akan masuk ke sungai.
Sungai jadi butek dan berwarÂÂna kuning kecoklatan dan bahÂÂkan lebih parah lagi. Tandanya banyak sekali lapisan tanah yang terangkat kemudian menumpuk disungai. Semua karena erosi tinggi permukaan akibat daeÂÂrah lahan sawit tidak ada yang menghabat air. Vegetasi kosong dibawah-bawah pohon sawit. Satu sisi akar kelapa sawit sangat dangkal dan serabut sehingga tak bisa membuat tanah makin gemÂÂbur. Akhirnya ekosistem sungai jadi rusak.
Sungai jadi dangkal. Sungai jadi tidak bisa menampung air saat hujan banyak turun. KalauÂÂpun hujan tidak lebat namun tetap saja banjir karena kapasitas sungai yang biasanya dapat meÂÂnampung. Kini tidak lagi karena terjadi pendangkalan dan penyÂÂempitan sungai. Pinggiran sungai rawan longsor. Harusnya kita tau bahwa hujan yang turun sudah sesuai dengan kapasistas dan kekeringan pada daerah tertenÂÂtu. Memperluas sungai namun membuatnya semakin dangkal.
Air yang ada disungai tadi akan masuk dan mengalir kelauÂÂtan. Air akan penuh dilaut. Banjir lautan dan kemungkinan akan balik lagi kedaratan. Masyarakat sekitar sungai dan masyarakat yang jauh dari sungai disekitar kebun akan terimbas akibat keÂÂbun kita ini. Lantas apakah kita belum mau mengakui, kejam juga kita ini. Egois sekali kalau ada pula ilmuwan yang mau merÂÂekomendasi terus menerus perÂÂluasan kebun sawit. Berarti sama artinya mendukung banjir terus menerus.
Kekeringanpun terjadi pula, hujan yang turun tak masuk samÂÂpai kedalam tanah. Tanahnya terÂÂtutup dan mudah berlari menuju sungai. Saat musim kemarau, air tadi tidak ada sehingga tanah jadi kering. Daerah sekitarpun akan kekeringan. Meluas daeÂÂrah kekeringan. Jika masalahnya demikian rumit. Apakah kita masih memilih untuk memperluÂÂasnya atau cukup hanya sampai disitu saja. Alasan sawit sebagai sumber ekonomi dapat kita benaÂÂrkan. Seperti itu adanya namun perlu dipertimbangkan jangan hanya memperluas saja.
Efek bencana ekologisnya yang sulit diatasi. Disini pemerinÂÂtah rela membuang-buang uang untuk menangani banjir karena kerusakan hutan dan sawit. Habis pula uang untuk mengendalikan kebakaran hutan karena perluaÂÂsan sawit baik masyarakat biasa dan perusahaan besar. Uang tadi lebih baik dipakai untuk pengemÂÂbangan usaha lain yang lebih baik untuk masyarakat. Sayang uangÂÂnya dibuang begitu saja untuk menangani bencana.
Dengan analis tadi maka maÂÂkin banyak uang yang akan dikeÂÂluarkan oleh pemerintah untuk menangani bencana ekologis karena kerusakan hutan dan keÂÂbun. Terus makin banyak. Ada beberapa hal yang harus dilakuÂÂkan. Pertama, setiap daerah haÂÂrus punya peta ruang ekosistem. Ruang ekosistem tadi harus diÂÂpetakan berapa luasan untuk hutan dan rumput. Berapa untuk kebun sawit, perumahan dan kota. Luasan ini harus seimbang. Disinilah letak apakah bijak atau tidak pemerintah daerah.
Mendukung atau tidak daeÂÂrah untuk penanganan bencana ekologis sawit. Jika luasan sawit lebih luas dibandingkan dengan kawasan hijau maka bencana akan datang pada daerah itu. Kota daerah itu akan terancam panas, banjir, dan kekeringan. Bahkan hidupnya akan teranÂÂcam oleh kedatangan hewan liar. Kedua, luasan sawit perlu dipertimbangkan dengan luasan tanaman lainnya. Di Rokan Hulu Riau misalnya, dulu orang-orang bertani huma (padi ladang). Kini sudah jarang dilakukan. Satu sisi kita butuh pangan.
Benih lokal padi akan teranÂÂcam dari kepunahan. Baiknya pemerintah juga menggalakkan komoditas pangan pada daerah yang tadinya daerah pangan. Dengan sawit akan menyingkirÂÂkan huma. Menyingkirkan huma artinya menghilangkan benih lokal padi. Kita selalu inginnya seperti itu. Pada daerah lainpun sama. Kita terlalu mengikuti tren pasar sehingga lupa dengan sumÂÂberdaya genetik lain yang harus diselamatkan.
Ketiga, kementerian lingÂÂkungan harus memantau iklim termasuk kadar oksigen pada daerah kelapa sawit, memnatau keadaan air warga sekitar, banjir dan kekeringan. Lakukan penuÂÂkuran sampai dengan beberapa tahun kedepan sehingga dikÂÂetahui seberapa rusak akibatnya terhadap ekologis. Dengan diÂÂdapatkannya data tersebut maka kementerian lingkungan bisa memperbaiki keadaan ekologis. Tanpa harus meniadakan kebun sawit yang terlanjur sudah ditaÂÂnam. (*)
Bagi Halaman