SAPIDitemukannya praktik ilegal perdagangan daging babi “celeng” di Kota Bogor pada tanggal 8 Agustus 2016 yang diketahui setelah diberlakukannya “sidak” cepat terpadu itu kembali membuka lembaran kelam betapa rentannya konsumen terhadap ketersediaan daging halal yang beredar di pasar.

Oleh: MAHIPAL, SH., MH.
Sekretaris Program Studi Hukum Ekonomi Syariah,
Fakultas Hukum Universitas Pakuan, Bogor

Kejadian ini sebenarnya merupakan ulangan dari beberapa kejadi­an sebelumnya dan tentu saja membawa dampak pada perubahan pola transaksi perdagangan daging di pasar, kendati hanya dalam jang­ka pendek saja. Namun demikian, tentu saja kejadian ini sangat merugikan konsumen, terutama umat Islam, yang notabene meru­pakan konsumen terbesar perda­gangan daging di pasar, terlebih pasar-pasar tradisional.

Dalam jangka pendek, keru­gian ini bukan hanya merugikan konsumen umat Islam, akan teta­pi juga merugikan pedagang dag­ing yang tidak turut serta dalam praktik perdagangan daging “ celeng oplosan”. Setidaknya, konsumen umat Islam akan cen­derung berhati-hati atau bahkan mengurungkan niatnya untuk membeli daging di pasar akibat trauma atas kejadian praktik perdagangan ilegal tersebut.

Perlu disampaikan bahwa umat Islam dituntut untuk me­megang prinsip kehidupan yang berbasis pada nilai-nilai yang dia­jarkan sesuai tuntunan Al Qur’an dan As Sunnah. Nilai-nilai ini menjadi hukum mutlak yang dia­nut umat Islam, sehingga sangat tidak mungkin untuk berpaling dan menghalalkan apa yang su­dah diharamkan Penguasa Hari Akhir bagi dirinya. Allah SWT se­cara tegas mengharamkan umat Islam untuk memakan daging babi/celeng seperti yang diam­anatkan di dalam QS. Al Baqarah ayat 173, Al Maidah ayat 3 dan ayat 60, Al An’am ayat 145, dan An Nahl ayat 115.

Oleh karena, maka tidaklah mengherankan bilamana ke­jadian praktik perdagangan dag­ing “celeng oplosan” ini bukan hanya melukai konsumen daging yang terlanjur membeli atau bah­kan memasak dan memakannya, tetapi juga melukai umat Islam secara keseluruhan. Dan tentu saja, sebagai bagian dari warga negara Indonesia, maka hak per­lindungan konsumen tidak dapat dipenuhi dan bukan hanya men­uai kerugian materi semata, akan tetapi yang paling utama adalah kerugian batiniah.

Menyikapi kejadian tersebut, tentu saja penulis merasa ter­gugah untuk mengungkapkan beberapa hal yang perlu diperha­tikan dalam kasus perdagangan daging “celeng oplosan” terse­but, terutama ditinjau dari per­spektif hukum ekonomi syariah. Pertama, perdagangan daging “celeng oplosan” ini bukanlah merupakan yang pertama kali terjadi, sehingga dari sini ha­dir “kelengahan” pemerintah (melalui pihak yang berwenang mengurusi persoalan dimaksud) untuk memberikan kepastian hukum bagi terciptanya perlind­ungan konsumen umat Islam un­tuk memperoleh daging halal di pasaran.

BACA JUGA :  HALAL BIHALAL HANYA ADA DI INDONESIA DAN BANYAK MANFAATNYA

Kedua, perdagangan dag­ing “celeng oplosan” ini meru­pakan kesengajaan dari pihak yang tidak bertanggung jawab untuk mendapatkan nilai rente ekonomi yang lebih besar dari perdagangan daging yang dilaku­kannya dengan mengorbankan pihak konsumen umat Islam, se­hingga jelas bahwa praktik “riba” di pasar sudah sedemikian be­sarnya terjadi, moralitas sudah tidak menjadi bagian dari prin­sip bermasyarakat dalam perda­gangan, bahkan mereka sudah mengindahkan nilai-nilai ketu­hanan sebagai bentuk “ubudi­yah” yang seharusnya menjadi dasar dan mentalitas manusia sebagai makhluk sosial.

Dan tentu saja, hal ini seo­lah merupakan perbuatan mela­wan hukum yang dapat dida­kwa pidana karena melanggar “hukum dunia” yang berlaku saat ini. Dan, ketiga, terjadinya pengulangan kasus perdagan­gan daging “celeng oplosan” ini semakin menunjukkan adanya ketidakmengertian masyarakat akan hak-haknya sebagai kon­sumen yang seharusnya terlind­ungi. Tentu saja hal ini semakin menguatkan bahwa hak perlind­ungan konsumen belum terso­sialisasikan dengan baik karena masyarakat hanya bisa “merata­pi” apa yang terjadi tanpa men­getahui saluran mana yang dapat digunakan untuk mendapatkan hak perlindungan konsumen tersebut.

Mengkritisi tiga persoalan yang dikemukakan di atas, maka menurut perspektif hijau penulis perlu dilakukan suatu strategi yang baik dan terpadu agar pen­anganan terhadap kasus serupa tidak akan terulang lagi di masa-masa mendatang. Beberapa ke­bijakan strategis yang perlu di­lakukan oleh semua komponen masyarakat diantaranya pertama pemerintah perlu melakukan upaya perlindungan konsumen melalui berbagai kegiatan yang dipayungi secara hukum tertulis (baca: minimal peraturan dae­rah) yang mengikat semua pihak untuk bersama-sama memberi­kan perlindungan konsumen dalam perdagangan daging halal.

Melalui payung hukum terse­but, pemerintah (pihak yang di­beri kewenangan) mempunyai dasar yang kuat untuk melaku­kan monitoring dan kontrol yang dilakukan secara terus menerus, mulai dari proses pemotongan hingga proses distribusi dan pemasaran.

Kedua, tindakan tegas dan ti­dak pandang bulu harus menjadi panglima dari proses implemen­tasi peraturan yang dibuat agar dapat menumbuhkan efek jera bagi para pemburu rente perda­gangan daging “celeng oplosan” yang hanya mementingkan dirin­ya dengan mendzholimi kon­sumen umat Islam yang menjadi pelanggannya.

Ketiga, perlu juga dilakukan penelusuran praktik “mafia” perda­gangan daging “celang oplosan” ini hingga tuntas untuk memastikan bahwa “hulu” perbuatan ini di­berikan hukuman yang tegas dan setimpal atas perbuatan melanggar hukum yang dilakukan olehnya.

BACA JUGA :  REFLEKSI HARI PENDIDIKAN NASIONAL: REPRESI SISTEM PENDIDKAN DALAM BENTUK KOMERSIALISASI

Keempat, Pemerintah juga dapat menyiapkan perangkat sertifikasi perdagangan daging halal yang diberikan secara cu­ma-cuma kepada pedagang yang telah berhasil menunjukkan bah­wa daging yang dijualnya berasal dari sumber yang jelas dan meng­gunakan tata cara syariah (baca: rumah potong hewan “syariah”).

Kelima, pedagang “hijau” yang tidak melakukan praktik ini seharusnya dapat menjadi kontrol sosial bagi terciptanya praktik perdagangan daging ha­lal yang mampu memberikan perlindungan konsumen umat Islam. Hal ini sangat penting untuk dilakukan karena peda­gang “hijau” ini tentu saja akan menerima dampak turunan yang tidak kalah merugikan secara ekonomi karena “animo” ma­syarakat untuk membeli daging halal di pasar tradisional akan mengalami penurunan dan pada gilirannya akan mengurangi tran­saksi perdagangan dagingnya sendiri. Keenam, konsumen seharusnya lebih cerdas untuk dapat mencium aroma kecuran­gan yang disinyalir bakal terjadi bilamana ada daging yang dijual dengan harga “miring” diband­ingkan dengan harga daging yang biasa dijual di pasar. Selain itu, konsumen dapat menjadikan salah satu atau beberapa peda­gang yang dapat dipercaya akan mampu menyediakan daging halal yang salah satunya dapat di­tunjukkan dengan memperoleh sertifikasi halal dari instansi ber­wenang mengeluarkannya. Dan ketujuh, pemerintah dapat mem­buka kotak layanan perlindun­gan konsumen yang disediakan sebagai saluran terbuka bagi seluruh komponen masyarakat yang ingin mendapatkan layanan hak perlindungan konsumen. Untuk itu, pemerintah harus juga menyediakan perangkat terpadu yang dapat menjalankan amanah untuk memberikan hak perlind­ungan konsumen secara publik.

Perlindungan konsumen merupakan hak setiap warga negara Indonesia dan wajib di­penuhi oleh setiap komponen masyarakat yang berhubungan dengan penyediaan barang pub­lik yang diperjual belikan di pasa­ran.

Kehadiran pemerintah seb­agai service provider dan service arranger dalam penentuan kebi­jakan, monitoring dan kontrol sangat dibutuhkan untuk memit­igasi proses perdagangan daging “celeng oplosan”.

Kehadiran produsen dan ped­agang jujur juga mutlak diperlu­kan agar praktik ilegal perda­gangan daging “celeng oplosan” tidak berulang-ulang terus terjadi dan merugikan konsumen umat Islam. Dan akhirnya, kehadiran konsumen yang cerdas sebagai media kontrol individu dan ba­gian kontrol sosial untuk men­gucilkan para pedagang “licik” dan pemburu rente perdagan­gan daging “celeng oplosan” dan pada akhirnya kejadian serupa tidak akan terulang di masa-masa mendatang. (*)

 

Bagi Halaman
============================================================
============================================================
============================================================