pungli-polisi-1Yuska Apitya Aji

[email protected]

Presiden Joko Widodo benar-benar menyatakan perang dengan pungutan liar, berapapun jumlahnya. Ucapan itu menyusul kritikan terhadapnya karena mendatangi langsung Kementerian Perhubungan saat Kepolisian tengah menggelar operasi tangkap tangan di sana terkait pungli yang jumlahnya dianggap kecil.

“Bukan hanya Rp500 ribu atau Rp1 juta. Rp10 ribu pun akan saya urus,” kata Presiden di Surakarta, Jawa Tengah, Minggu (16/10).

Jokowi menegaskan, persoalan bukan terletak pada jumlah uang. Sebab meski dinilai berjumlah kecil, jika dilakukan terus-menerus maka sangat menjengkelkan dan meresahkan sehingga budaya pungli harus diberantas.

“Banyak yang sampaikan ke saya, ‘Pak Presiden, kemarin di Kementerian Perhubungan hanya ada uang berapa juta saja diurus.’ Yang lebih kecil (jumlahnya) pun akan saya urus. Kalau (ada pungli) dari Sabang sampai Merauke, di kantor instansi, pelabuhan dan jalan raya, kalau dihitung bisa puluhan triliun,” ujar Jokowi.

Ia mengatakan akan terus mengontrol sektor pelayanan terhadap masyarakat agar bebas dari pungli sekecil apapun nilainya. “Kalau urusan (jumlah uang) yang gede, yang miliar, yang triliun, itu urusan KPK. Tapi yang urusan kecil-kecil biar saya. Rp10 ribu enggak apa-apa,” kata Jokowi.

Pungli, ujar Jokowi, harus diberantas baik dalam urusan sertifikat tanah, surat izin mengemudi, kartu tanda penduduk, hingga beragam perizinan lainnya. “Kalau bayar resmi engak apa-apa. Tapi jangan yang harusnya gratis, dipungut biaya. Hati-hati,” kata Jokowi, mengancam.

Ketiadaan pungli diyakini Jokowi akan membuat pelayanan di semua instansi pemerintahan berjalan cepat dan lebih baik. Itu pula yang menjadi alasan Jokowi membentuk Tim Sapu Bersih (Samber) Pungli. “Tak boleh lagi rakyat disusahkan. Rakyat harus dimudahkan, digampangkan, tapi enggak bisa cepat-cepat, mesti ada tahapan-tahapan,” kata Jokowi.

Operasi tangkap tangan di Kementerian Perhubungan belum lama ini, menurut Kepolisian, dilakukan atas perintah langsung dari Jokowi. Kasus ini terkait pungli di Direktorat Jenderal Perhubungan Laut Kemhub. Polisi menyita uang tunai Rp130 juta dan delapan buku tabungan dengan total rekening berjumlah Rp1 miliar.

Terpisah, Anggota Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, Aboe Bakar Al Habsyi menilai praktik pungutan liar yang terjadi di Kementerian Perhubungan nilainya terlalu kecil. Pemerintah seharusnya lebih fokus memberantas praktik pungli yang terjadi di tubuh Kepolisian Republik Indonesia dan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. “Berdasarkan temuan Ombudsman, empat instansi yang paling marak melakukan pungli itu lembaga pemasyarakatan, imigrasi, lokasi pembuatan Surat Izin Mengemudi, dan tempat penanganan perkara tilang,” kata Aboe Bakar dalam sebuah diskusi di kawasan Cikini, Jakarta Pusat, kemarin.

BACA JUGA :  Penemuan Mayat Bayi di Sungai Ngelo Jepara, Pelaku Pembuang Masih Diburu

Ia menambahkan, pemerintah juga seharusnya memeriksa Direktorat Jenderal Perhubungan Darat Kemhub. Menurutnya, direktorat ini kerap melakukan pungli di jembatan timbang. “Jadi kalau memberantas pungli kami back-up penuh, apalagi kalau semua instansi turun tangan,” kata Aboe Bakar.

Di tempat yang sama, Direktur Nasional Martime Institute Siswanto Rusdi menilai pemberantasan praktik pungli di Kemenhub terlambat. Menurutnya, bukan hal baru bahwa sejumlah oknum di Kemenhub melakukan pungli dalam pengurusan surat perizinan. “Kok ditangkap baru sekarang. Semestinya dari awal pemerintahan Jokowi, sudah ditangkap,” ujarnya.

Ia pun meminta kepolisian memberantas praktik pungli yang terjadi di kawasan pelabuhan. Menurutnya, praktik pungli di pelabuhan kerap luput dari perhatian aparat penegak hukum.

Misalnya, Siswanto mencontohkan, seharusnya Kemhub menyurvei kapal secara berkala untuk mengetahui apakah kondisi kapal masih dalam keadaan layak atau tidak. Namun yang terjadi, lantaran menerima suap, Kemhub menyatakan kapal yang sudah usang masih layak untuk digunakan. “Padahal sekoci tidak bisa diturunkan saat evakuasi, lalu penumpang tidak kebagian pelampung karena ya tidak diperiksa,” katanya.

Namun begitu, ia tetap mengapresiasi langkah pemerintah membentuk satuan tugas (satgas) pemberantasan pungli. Siswanto meminta agar pemerintah segera membuat arah kebijakan untuk memperbaiki sistem pelayanan di Kemhub.

Sementara itu, data Ombudsman RI menyebutkan, praktek suap dan pungutan liar (pungli) mendominasi layanan publik di institusi lembaga hukum, pemerintah daerah, dan sektor pendidikan.

Komisioner Ombusdman RI Alamsyah Saragih mengatakan, berdasarkan data dari laporan yang diterima Ombudsman sektor penegakan hukum kepolisian paling tinggi terindikasi penundaan berlarut, 51 persen. “Suap atau pungli itu biasanya ditandai dengan adanya penundaan berlarut dan pelanggaran prosedur,” ujarnya.

BACA JUGA :  SAHUR OF THE ROAD RAWAN DENGAN TAWURAN PELAJAR

Dalam laporan itu juga terungkap suap dan pungli paling banyak di sektor pendidikan mencapai 45 persen. “Ini sejalan setiap kali penerimaan siswa baru isu pungli dan suap begitu marak,” kata Alamsyah.

Terkait dengan laporan suap dan pungli di sejumlah lembaga negara itu, Ombusdman menyimpulkan modus yang paling banyak digunakan adalah penundaan berlarut dan pelanggaran prosedur (maladministrasi).
Sejak Januari-September 2016, Ombusdman menerima banyak laporan terkait dengan suap dan pungli pada layanan publik di sejumlah lembaga pemerintahan dan berbagai sektor. Laporan dugaan maladministrasi berdasarkan sektor paling banyak terjadi di sektor penegakan hukum (51 persen), sektor kepegawaian dalam bentuk penundaan berlarut dengan jumlah 11 laporan per hari, sektor kepegawaian sebesar 42 persen melanggar prosedur dengan rata-rata empat laporan setiap harinya. Sedangkan sektor pendidikan paling banyak praktek suap dan pungli (45 persen) dengan dua laporan per hari.

Laporan maladministrasi berdasarkan institusi, kepolisian (45 persen) dalam bentuk penundaan berlarut dengan 11 laporan per hari, institusi pemerintahan 42 persen dalam bentuk kesalahan prosedur sebanyak lima laporan per hari dan praktek suap dan pungli di instansi pemerintah daerah (53 persen) dengan rata-rata dua laporan setiap harinya.

Terkait dengan tingginya laporan suap dan pungli pada layanan publik ini, Alamsyah mengatakan pemberantasan pungli harus sistemik, tidak cukup dengan terapi kejut. Menurut dia, pemerintah perlu memperkuat sistem pengawasan internal dan penanganan pengaduan, memperkuat inspektorat dengan dukungan anggaran dan personel yang memadai, bukan sebagai tempat buangan. “Dapat dipertimbangkan apakah inspektorat perlu dikeluarkan dari kementerian dan pemda.”

Inspektorat jenderal, menurut Alamsyah, bisa langsung di bawah presiden dan penanganan aduan harus dengan batas waktu yang pasti.

Bagi Ombudsman, kata Alamsyah, jika perkembangan data laporan dengan dugaan suap, pungli dan penundaan berlarut yang masuk ke Ombudsman tak berkurang tahun depan, dapat diartikan bahwa satuan tugas sapu bersih pungutan liar bentukan Presiden Joko Widodo telah gagal menjalankan tugasnya.(*)

============================================================
============================================================
============================================================

1 KOMENTAR

  1. Tuntaskan dan saya sangat mendukung adanya gebrakan semacam ini,semoga bisa berjalan tuk mendongkrak adanya pungutan liar di negri ini..
    Dan minta alamat webnya agar kami bisa melaporkan segala bentuk yg ada di daerah yg kami singgahi
    Thanks..