JAKARTA TODAY- Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) DKI Jakarta Putaran Kedua tinggal menunggu hasil hitungan resmi. Berdasarkan hasil hitung cepat sebagian besar menunjukan bahwa paslon nomor 3 Anies-Sandi memimpin perolehan suara.

Jakarta sebagai ibu kota dan pusat perekonomian tentu sosok pemimpinnya cukup ditunggu-tunggu dunia usaha. Namun menurut Pengamat Pasar Uang Farial Anwar siapapun yang menang sebenarnya tidak mempengaruhi pasar uang.

“Saya melihat tidak ada pengaruh, tapi dampaknya lebih kepada hasil yang berjalan aman,” tuturnya, Rabu (19/4/2017).

Farial memandang, Anies-Sandi memang belum teruji performanya untuk memimpin Jakarta. Janji-janji program yang dikampanyekan juga belum tentu berjalan baik. “Tapi minimal mereka punya program, rencana dan niat yang baik untuk menyejahterakan masyarakat Jakarta. Kalau Jakarta maju tentu Indonesia akan terkena dampaknya, karena Jakarta merupakan pusat perekonomian,” imbuhnya.

Nilai tukar rupiah juga menurutnya lebih dipengaruhi oleh kebijakan-kebijakan pemerintah pusat dan Bank Indonesia (BI) yang menjaga kestabilan mata uang Garuda. Sehingga siapapun sosok yang memimpin Jakarta tidak begitu berpengaruh terhadap pergerakan Rupiah. Kendati begitu, pesta demokrasi di Ibu Kota yang berjalan kondusif setidaknya memberikan sentimen positif bagi pasar uang. Bahkan menurut Farial tren positif itu sudah berlangsung sejak sebelum Pilkada putaran kedua berlangsung.

BACA JUGA :  Resep Membuat Donburi Ayam Krispi untuk Menu Makan Andalan Keluarga

“Kita lihat selama berapa hari terakhir pasar keuangan seperti IHSG melejit sampai level tertinggi, nilai tukar rupiah juga berada di bawah Rp 13.300. Ini ketika pilkada belum berjalan. Karena kita selama ini ditakut-takuti bahwa pilkada akan rusuh, padahal itu bohong. Ternyata berjalan tertib,” tukasnya.

Pilkada DKI Jakarta Putaran kedua berjalan aman. Pelaku pasar uang tentu akan merespon positif situasi politik yang kondusif setelah dalam perjalannya bertensi tinggi. Menurut Farial, meski pengaruhnya tidak terlalu besar namun seharusnya Pilkada DKI Jakarta yang berjalan kondusif seharusnya bisa menjadi sentimen pendorong Rupiah. Sebab banyak pelaku pasar yang khawatir atas isu-isu liar yang bergulir sepanjang masa pemilu hingga pilkada berlangsung.

Namun dia memperkirakan penguatan Rupiah tidak akan terlalu tajam. Sebab Bank Indonesia (BI) dicurigai melakukan intervensi untuk menjaga agar Rupiah tidak terlalu menguat tajam. “Tentu ada berbagai macam alasan, kenapa BI mengendalikan itu. Salah satunya supaya ekspor impor kita bisa lebih baik, di tengah kondisi global yang kurang baik. Untuk mengantisipasi itu kan nilai tukar. Kalau nilai tukar kita terlampau menguat kan ekspor mahal. Itu logikanya kenapa ditahan di situ,” tuturnya.

BACA JUGA :  Resep Membuat Ikan Asin Sambal Belimbing, Perpaduan Asam Asin Pedas

Menurut Farial, saat ini BI cenderung melakukan intervensi pasar dengan membeli dolar di batas bawah. Terbukti dari cadangan devisa yang meningkat menjadi US$ 121 miliar pada awal April 2017. “Memang tujuannya untuk menahan penguatan Rupiah,” imbuhnya.

Tertahannya penguatan rupiah menurut Farial juga sudah terlihat ketika pasar modal menunjukan tren positif beberapa waktu yang lalu. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) bahkan pecah rekor namun penguatan Rupiah tidak terlalu tajam. “Kalau IHSG sudah melejit di situ ada investor asing sebagai net buyer-nya. Itu pembeli utamanya asing. Asingkan datangkan bawa dolar, dia jual dolar dapat rupiah baru beli saham. Tapi ternyata Rupiah enggak terlampau menguat tajam, tertahan di Rp 13.000-an. Harusnya kalau pasar modal menguat pasti rupiah menguat,” terangnya.

Dia memperkirakan laju rupiah pasca Pilkada DKI Jakarta akan menguat terbatas di kisaran support Rp 13.200 dan resistance Rp 13.330-13.350 per dolar AS. (Yuska/dtk)

Bagi Halaman
============================================================
============================================================
============================================================