Mereka menginisisasi   pegeseran dari politik analog ke politik digital. Preferensinya berbasiskan pada media digital yang lebih lentur dan dinamis. Mereka kurang menyukai media politik analog sebagai alat politik yang didasarkan pada saluran informasi tunggal dan institusionalis  (formalistik). Sedangkan media politik digital lebih menampilkan informasi  yang sifatnya verifikatif, lebih mereka sukai.

Strategi capres dan partai dalam merangkul pemilih kelas menengah tidak mudah. Kelas menengah  secara umum tidak memiliki keinginan kuat terlibat dalam kegiatan politik dan secara psikologis berjarak dengan capres dan parpol.

Mereka  bukan lah kelompok masyarakat lapar yang mau disogok sekantong paket sembako, atau diimingi janji-jani surga program kampanye. Mereka, kata Maslow adalah kelas sosial yang ingin cinta mencintai, dapat pengakuan dan kanal  akualisasi diri. Gemar terhubung dengan sosial media, berselancar dunia maya untuk bersosialisasi, ingin mendapat pengakuan dan meluaskan  pengaruh.

Ciri kelas menengah yang mapan, kritis, dan terkoneksi membuat mereka menjadi kekuatan sosial-ekonomi yang sangat diperhitungan menjelang pemilu 2019. Internet menjadi media yang dinilai bisa mendekatkan mereka dengan para kontestan. Data We Are Social dan Hootsuite (2018), ada 132 juta pengguna internet di Indonesia. Sementara APJII ( 2018), 143 juta masyarakat Indonesia terkoneksi internet, sekitar 62,5 juta masyarakat kelas menengah ke bawah sebagai penggunanya.

BACA JUGA :  Lokasi SIM Keliling Kota Bogor, Selasa 30 April 2024

Artinya, lebih 50% penduduk Indonesia telah bisa mengakses internet. Pengguna media sosial ( 49%)  populasi pengguna internet di Indonesia. Meningkatnya angka pengguna media sosial, pada akhirnya  membawa persaingan baru bagi partai politik dan kandidat dalam pemilu 2019.

Merujuk Andrew Chadwick (2006), penggunaan internet (media sosial) dapat mempengaruhi ranah politik. Masyarakat kelas menengah memiliki akses lebih untuk menyalurkan aspirasi kepada partai politik maupun kandidat yang di dukungnya. Pada saat yang sama, partai politik dan kandidat dapat mengkoordinasikan  mereka dengan lebih mudah dan cepat untuk memobilisasi  saat kampanye.

Bukan berarti tanpa cela  penggunaan media sosial sebagai alat kampanye. J. Hands (2011) mengingatkan, tidak semua pengguna media sosial  sesuai peruntukan nya. Seringkali, media sosial hanya digunakan untuk mendukung cara kampanye politik yang lama, tetapi mengabaikan potensi sesungguhnya dari media sosial.

BACA JUGA :  Sandwich Salad Tuna, Menu Sarapan yang Simple Dijamin Keluarga Suka

Sehingga partai politik dan kandidat yang menggunakan media sosial sebagai alat kampanyenya, tidak dapat memanfaatkan media sosial seperti dengan pendekatan media konvensional, yaitu dengan hanya komunikasi satu arah.  Media sosial harus digunakan  interaktif untuk memperkuat yang telah ada dalam media konvensional. Strategi menggabungkan media sosial dengan media konvensional menjadikan komunikasi politik efektif untuk menarik simpati pemilih kelas menengah yang rasional.

Sikap apolitis kelas menengah membuat  capres dan parpol tidak mudah mendulang suara. Para kontestan  harus menyajikan narasi politik logis urgensitas peran politik dalam proses pembuatan kebijakan dan kepentingan publik. Kontestan  juga tidak cukup hanya dengan jualan sosok ‘merakyat’ disatu sisi, ataupun dagangan ‘millenial’ sisi lain nya. Harus ada branding  yang berbeda dengang pendekatan kepada kelompok tradisional . Dengan cara memberikan perhatian lebih pada isu kemiskinan (lapangan kerja), keamanan, pemberantasan korupsi, kepastian hukum, jaminan usaha, inovasi, dan optimisme yang merupakan variabel disukai kelas menengah. (*)

Halaman:
« 1 2 » Semua
============================================================
============================================================
============================================================