Oleh : Aprilia Lutviana Dewi

(Mahasiswi Politeknik Statistika STIS)

Defisit energi saat ini sedang menghantui Indonesia. Bagaimana tidak, energi tak terbarukan terus menerus terkuras dan lingkungan terus terdampak polusi yang ditimbulkan. Hal ini tentu dapat membuat Indonesia berada di posisi rawan untuk mencapai tujuan Affordable and Clean Energy dalam Sustainable Development Goals (SDGs).

Untuk itu, Indonesia perlu memberikan perhatian lebih dalam penggunaan energi, terutama bahan bakar. Bahan bakar yang memiliki nilai konsumsi tinggi setiap tahunnya adalah minyak bumi.

Dalam BP Statistical Review of World Energy 2019, tercatat bahwa Indonesia mengonsumsi minyak bumi sebanyak 1,79 juta barel per hari, tetapi hanya mampu memproduksi minyak bumi sebanyak 0,81 juta barel per hari. Dari data ini, dapat diketahui bahwa Indonesia harus mengimpor minyak bumi sebanyak 0,98 juta barel per hari untuk memenuhi kebutuhannya.

Permasalahan di atas tentunya menarik perhatian pemerintah dan ilmuwan Indonesia untuk menciptakan terobosan supaya dapat menekan impor minyak bumi. Salah satu langkah yang ditempuh yaitu dengan memanfaatkan crude palm oil (CPO) atau minyak kelapa sawit yang diproduksi oleh Indonesia sebagai bahan bakar alternatif.

Sebagai produsen kelapa sawit terbesar di dunia, tentu hal tersebut menjadi potensi yang sangat bagus untuk menekan impor minyak bumi dan penggalakkan energi terbarukan.

Pemanfaatan Minyak Kelapa Sawit di Indonesia

Berdasarkan publikasi Statistik Kelapa Sawit Indonesia BPS-RI 2017, produksi minyak kelapa sawit Indonesia mencapai 34,47 juta ton dan sebanyak 27,53 juta ton dari hasil tersebut diekspor ke luar negeri.

Pemanfaatan minyak kelapa sawit oleh Indonesia sendiri hanya mencapai 7,12 juta ton atau hanya sekitar 20% dari total produksi minyak kelapa sawit Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa Indonesia belum mampu memanfaatkan minyak kelapa sawit secara maksimal.

 Biodiesel Sebagai Solusi

Sejauh ini, pemerintah tengah menggalakkan produksi biodiesel sebagai bentuk pemanfaatan minyak kelapa sawit. Biodiesel sendiri merupakan salah satu turunan dari minyak kelapa sawit (dan juga tanaman lainnya yang dapat diolah menjadi bahan bakar) yang saat ini mulai digunakan sebagai bahan bakar.

BACA JUGA :  Kecelakaan Maut di Jatim, Moge Tabrak Minibus di Jalur Pantura Probolinggo

Berdasarkan data Rekonsiliasi Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), produksi biodisel pada tahun 2018 mencapai 6,17 juta kiloliter. Dan pada Januari-Agustus 2019, produksi biodiesel sudah berhasil menyentuh angka 6,89 juta kiloliter atau sudah mengalami peningkatan sebesar 10,45% dari tahun 2018.

Biodiesel yang saat ini sedang dikembangkan pemerintah Indonesia merupakan biodiesel B20, yang menggambarkan 20% bagiannya berasal dari minyak nabati (minyak dari kelapa sawit dan tumbuhan lainnya) dan sisanya berasal dari bahan bakar fosil.

Untuk menindaklanjuti pengembangan biodiesel, telah ditetapkan Peraturan Menteri ESDM Nomor 12 Tahun 2015 tentang penyediaan, pemanfaatan, dan tata niaga bahan bakar nabati sebagai bahan bakar lain. Dalam peraturan tersebut, biodiesel Indonesia ditargetkan mencapai B30 pada tahun 2025.

Keunggulan yang dimiliki oleh biodiesel B20 dibandingkan solar biasa meliputi cetane number sebesar 51 (centane number solar: 48). Cetane number biodiesel yang lebih rendah ini menggambarkan bahwa biodiesel lebih mudah terbakar dalam kompresi, sehingga ketukan mesin kendaraan akan berkurang dan kendaraan akan berjalan secara halus.

Selain itu berdasarkan data spesifikasi solar/biosolar Pertamina, kehadiran biodiesel memangkas kadar sulfur maksimal pada solar dari 3500 ppm menjadi 2500 ppm. Ini menggambarkan bahwa biodiesel menyababkan pembakaran mesin yang lebih bersih dan menyisakan emisi yang lebih sedikit. Keunggulan-keunggulan biodiesel tersebut tentunya dapat menjembatani Indonesia untuk mencapai tujuan Affordable and Clean Energy dalam SDGs.

Penerapan Biodiesel Saat ini

Pemerintah Indonesia sudah mewajibkan badan usaha bahan bakar minyak (BBM) untuk mencampurkan biodiesel dengan BBM jenis solar melalui pasal 3 ayat 1 Peraturan Menteri ESDM Nomor 41 tahun 2018. Dengan ini, dapat dikatakan bahwa biodiesel sudah digunakan dalam kehidupan sehari-sehari masyarakat Indonesia.

BACA JUGA :  Pj Gubernur Jawa Barat Pimpin Upacara Hardiknas di Kota Bogor

Berdasarkan proyeksi yang dilakukan oleh Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), kebutuhan solar Indonesia akan meningkat dari 49,96 juta kiloliter pada tahun 2019 menjadi 79,28 juta kiloliter pada tahun 2025.

Untuk itu, kebutuhan biodiesel juga dipastikan akan meningkat dengan target rata-rata peningkatan sebesar 14% per tahun. Idealnya, dengan kondisi seperti ini Indonesia dapat menjadikan biodiesel sebagai bahan bakar utama sekaligus berpotensi menjadi eksportir biodiesel aktif dunia.

Bukan Tanpa Resiko

Setelah menerima kabar baik mengenai kemampuan biodiesel yang berpotensi untuk membantu Indonesia dalam mencapai SDGs, Indonesia juga harus menerima kenyataan bahwa penerapan biodiesel yang ramah lingkungan ini bukan tanpa resiko.

Kepala Laboratorium Motor Bakar dan Sistem Pembakaran Jurusan Teknik Mesin Fakultas Teknologi Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), Bambang Sudarmanta, menjelaskan bahwa biodiesel B20 memiliki kekentalan lebih tinggi serta kadar kotoran yang tidak terbakar lebih banyak dibandingkan solar. Sifat-sifat B20 tersebut dinilai bisa mempengaruhi masa pakai komponen saringan bahan bakar serta penyemprot bahan bakar di mesin.

GM Product Development Isuzu Astra Motor Indonesia (IAMI), Tonton Eko, juga menambahkan bahwa B20 memiliki sifat detergen yang dapat menguras kotoran yang sudah ada sebelumnya di tangki bahan bakar sehingga kotoran tersebut dapat bercampur dengan bahan bakar dan berpotensi masuk ke ruang pembakaran.

Sebagai dampak dari sifat-sifat yang dimiliki biodiesel tersebut, konsumen harus menanggung resikonya sendiri, mulai dari mengganti saringan bahan bakar lebih cepat, resiko kerusakan penyemprot, hingga peningkatan frekuensi pengurasan tangki bahan bakar.

Tentunya resiko-resiko itu akan lebih memberatkan bagi masyarakat yang menggunakan kendaraannya sebagai keperluan usaha atau pekerjaan. Dengan melihat paparan resiko yang ada, apakah biodiesel masih menjanjikan untuk keberlangsungan bahan bakar terbarukan dalam upaya mencapai tujuan Affordable and Clean Energy dalam SDGs? (*)

Bagi Halaman
============================================================
============================================================
============================================================