Pada tahun 1884 guru besar etnologi Universitas Berlin  Adolf Bastian  menerbitkan buku Indonesia atau Pulau-pulau di Kepulauan Melayu sebanyak lima volume, yang memuat hasil penelitiannya ketika mengembara di kepulauan itu pada tahun 1864 hingga 1880. Buku Bastian inilah yang mempulerkan istilah Indonesia di kalangan sarjana Belanda, sehingga sempat timbul anggapan bahwa istilah Indonesia itu ciptaan Bastian. Pendapat yang tidak benar itu, antara lain tercantum dalam Encyclopedie van Nederlandsch-Indië tahun 1918. Pada kenyataannya, Bastian mengambil istilah Indonesia itu dari tulisan-tulisan Logan.

Warga Indonesia, yang kali pertama menyebut nama Indonesia, adalah Suwardi Suryaningrat (Ki Hajar Dewantara). Kala itu Ki Hajar Dewantara  diasingkan ke negeri Belanda tahun 1913 ia mendirikan sebuah biro pers dengan nama Indonesische Persbureau. Nama Indonesisch (pelafalan Belanda untuk “Indonesia”) juga diperkenalkan sebagai pengganti Indisch (“Hindia”) oleh Prof Cornelis van Vollenhoven pada 1917. Sejalan dengan itu, inlander atau pribumi diganti dengan Indonesier (orang Indonesia).

Pada dasawarsa 1920, nama Indonesia  diambil alih oleh tokoh-tokoh pergerakan kemerdekaan Indonesia, sehingga nama Indonesia  akhirnya memiliki makna politis, yaitu identitas suatu bangsa yang memperjuangkan kemerdekaan. Sebagai akibatnya, pemerintah Belanda mulai curiga dan waspada terhadap pemakaian kata ciptaan Logan itu.

Pada tahun 1922  Mohammad Hatta yang saat itu merupakan mahasiswa Handels Hoogeschool (Sekolah Tinggi Ekonomi) di Rotterdam mendirikan organisasi pelajar dan mahasiswa Hindia di Negeri Belanda dengan nama Indische Vereeniging lalu berubah nama menjadi Indonesia Vereeniging atau Perhimpoenan Indonesia.  Majalah mereka, Hindia Poetra, berganti nama menjadi Indonesia Merdeka.

Bung Hatta menegaskan dalam tulisannya, “Negara Indonesia Merdeka yang akan datang mustahil disebut “Hindia Belanda”. Juga tidak “Hindia” saja, sebab dapat menimbulkan kekeliruan dengan India yang asli. Bagi kami nama Indonesia menyatakan suatu tujuan politik karena melambangkan dan mencita-citakan suatu tanah air pada masa depan, dan untuk mewujudkannya tiap orang Indonesia (Indonesiër) akan berusaha dengan segala tenaga dan kemampuannya.

BACA JUGA :  Kecelakaan 2 Pemotor Tewas Tertabrak Kereta Api di Banyumas, Diduga Terobos Pelintasan

Di Indonesia pada tahun 1924  Dr. Sutomo mendirikan  Indonesische Studie Club . Tahun itu juga Perserikatan Komunis Hindia berganti nama menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI). Pada tahun 1925 Jong Islamieten Bond 1925 membentuk kepanduan National Indonesche Padvinderij. Itulah tiga organisasi di tanah air yang mula-mula menggunakan nama Indonesia.  Akhirnya nama Indonesia dinobatkan sebagai nama tanah air, bangsa, dan bahasa pada Kerapatan Pemoeda-Pemoedi Indonesia tanggal 28 Oktober 1928, yang kini dikenal dengan sebutan Sumpah Pemuda.

Pada bulan Agustus 1939 tiga orang anggota Volksraad (Dewan Rakyat; parlemen Hindia Belanda), Muhammad Husni Thamrin, Wiwoho Purbohadidjojo, dan Sutardjo Kartohadikusumo, mengajukan mosi kepada Pemerintah Belanda agar nama Indonesië diresmikan sebagai pengganti nama “Nederlandsch-Indie”. Permohonan ini ditolak. Sementara itu, Kamus Poerwadarminta yang diterbitkan pada tahun yang sama mencantumkan lema nusantara sebagai bahasa Kawi untuk “kapuloan (Indonesiah)”.

Dengan pendudukan Jepang pada tanggal 8 Maret 1942, lenyaplah nama “Hindia Belanda”. Pada tanggal 17 Agustus 1945, menyusul deklarasi Proklamasi Kemerdekaan, lahirlah Republik Indonesia.

Sebelum bahasa Indonesia disahkan menjadi bahasa persatuan pada Sumpah Pemuda, maka sejumlah linguis Eropa telah menggunakan istilah “bahasa Indonesia” alih-alih “bahasa Melayu” untuk menyebut bahasa yang dipertuturkan di Indonesia, terutama setelah terlihat percabangan pembakuan bahasa yang dipertuturkan di kedua wilayah tersebut pada awal abad ke-20. Pada tahun 1901, Hindia Belanda (kelak menjadi Indonesia) mengadopsi ejaan Van Ophuijsen, sedangkan pada tahun 1904 Persekutuan Tanah Melayu (kelak menjadi bagian dari Malaysia) di bawah Inggris mengadopsi ejaan Wilkinson. Ejaan Van Ophuysen diawali dari penyusunan Kitab Logat Melayu (dimulai tahun 1896) van Ophuijsen, dibantu oleh Nawawi Soetan Ma’moer dan Moehammad Taib Soetan Ibrahim.

Salah satu linguis yang memopulerkan nama bahasa Indonesia adalah linguis Swis, Renward Brandstetter (1860-1842), yang dikenal sebagai pencetus teori akar bahasa Austronesia, yang sejak 1908 mulai menyebut dirinya sebagai indonesischer Sprachforscher (peneliti bahasa Indonesia).

BACA JUGA :  Bula Seram Bagian Timur Maluku Diguncang Gempa Terkini M5,8

Tulisan-tulisan Brandstetter pada kurun waktu sebelumnya (1893-1908) yang disebutnya Malaio-polynesische Forschungen (Melayu Polinesia), mulai 1908 dinamai ulang menjadi Monographien zur indonesischen Sprachforschung (monograf-monograf mengenai riset bahasa Indonesia). Walaupun demikian, “bahasa Indonesia” yang dimaksud oleh Brandstetter lebih luas daripada sekadar bahasa di Hindia Belanda saja, melainkan juga mencakup bahasa-bahasa Filipina, Madagaskar, mulai dari Formosa hingga ke Madagaskar,oleh karena itu penggunaan istilah Indonesia oleh kalangan lingustik tidak memiliki konotasi geopolitis yang sama dengan masa sekarang, melainkan sebagai cabang dari rumpun bahasa Melayu-Polinesia Barat atau Austronesia Barat. Penelitian Brandstetter tentang Bahasa Indonesia telah diterbitkan dalam bahasa Inggris pada tahun 1916 (empat esai, dan satu di antaranya telah diterbitkan dalam bahasa Indonesia pada 1956. Esai-esai itu mempengaruhi perkembangan ilmu linguistik Austronesia.Tentang ketertarikannya, ia menyebutkan pengaruh Niemann, Hurgronje, Adriani, dan Conant:

“… Dengan begitu bertahun-tahun saja telah mempeladjari berbagai teks dalam bahasa Indonesia, mula-mula dibawah pimpinan Niemans, kemudian sendiri sadja. Kalau teks-teks itu tiada memuaskan, maka saja – oleh sebab tak pernah mengundjungi Indonesia – berhubungan dengan kaum penjelidik jang telah berpuluh-puluh tahun diam disana, untuk memperoleh keterangan dengan lisan, terutama dengan Snouck Hurgronje, Adriani dan Conant.”

Penggunaan istilah “bahasa Indonesia” dalam pengertian modern, yaitu seperti dalam pemikiran Suryaningrat, baru muncul setelah 1918, dan dipakai dalam karya-karya, a.l.: Adriaanse (1918), Jonkman (1918), Ratu Langie (1918). Secara internasional, istilah tersebut mulai digunakan luas pada 1920-an, seperti dalam Weber (1922), dan Congres International Pour la Paix di Paris pada tahun1926. (net)

Halaman:
« 1 2 » Semua
============================================================
============================================================
============================================================