Promosi kesehatan jiwa masyarakat
Iyep Yudiana, PJ Lintas Sektor, Integrasi dan Promotor Kesehatan Jiwa Masyarakat.

Oleh : Iyep Yudiana, PJ Lintas Sektor, Integrasi dan Promotor Kesehatan Jiwa Masyarakat.

Tidak bisa dipungkiri bahwa stigma terhadap penderita gangguan jiwa memang masih kental bila dibandingkan dengan penyakit-penyakit lainya. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Stigma adalah ciri negatif yang menempel pada pribadi seseorang karena pengaruh lingkungannya. Stigma tersebut menyebabkan perbedaan perlakuan keluarga dan masyarakat terhadap penderita gangguan jiwa mulai dari tidak mendapatkan perlakuan yang layak, penelantaran bahkan terjadinya tindakan pemasungan.

Sebagai contoh banyak keluarga dan masyarakat menganggap bahwa penderita penyakit fisik harus segera di tangani dengan baik agar bisa bekerja kembali, tetapi penderita gangguan jiwa dianggap tidak punya masa depan dan sulit disembuhkan dan akhirnya diterlantarkan.

Penderita penyakit fisik akan segera di bawa ke fasilitas layanan kesehatan bila ada keluhan, sementara penderita gangguan jiwa akan dibiarkan apabila tidak mengganggu lingkungan dan akan dibawa ke rumah sakit bila kondisi sudah sangat menghawatirkan. Pasien penyakit fisik akan dibawa ke puskesmas atau rumah sakit, tetapi pasien gangguan jiwa banyak yang dibawa ke orang pintar, dukun, pengobatan alternatif, bahkan banyak diantaranya yang dilakukan tindakan pemasungan oleh keluarga dan masyarakat.

Keluarga akan mengusahakan biaya pengobatan mulai dari pinjaman sampai menjual barang berharga untuk biaya pengobatan penderita penyakit fisik, sementara banyak keluarga yang enggan mengeluarkan biaya pengobatan untuk penderita gangguan jiwa ke rumah sakit, bahkan untuk mengurus jaminan kesehatan saja, baru dilakukan dalam kondisi yang sudah mendesak untuk dibawa ke rumah sakit jiwa, bahkan diantara yang sudah punya jaminan kesehatan, banyak yang menunggak biaya premi bulanan karena menganggap masalah kesehatan jiwa tidak lebih penting dari masalah kesehatan fisik, padahal pada bait Lagu Nasional Indonesia Raya pun, tertulis Bangunlah Jiwanya, baru Bangunlah Badannya, artinya menyehatkan jiwa sama pentingnya dengan menyehatkan badan, bahkan mungkin lebih harus diutamakan.

Pada masa pandemi Covid 19, fenomena masalah kesehatan jiwa di masyarakat makin menunjukan peningkatan yang bermakna, mulai dari masalah kesehatan jiwa ringan seperti rasa takut, kecemasan, trauma ringan, depresi ringan sampai dengan masalah gangguan jiwa berat, seiring terjadinya kelemahan kondisi masyarakat di bergabai bidang terutama masalah kesehatan, ekonomi, sosial, pendidikan, dll.

Menurut Badan Kesehatan Dunia (WHO), sebanyak 80%-90% orang yang sedang mengalami masa krisis akan mengalami masalah kejiwaan yang sama, seperti stres, cemas, trauma, dan sebagainya. Orang Dengan Gangguan Jiwa yang selanjutnya disingkat ODGJ adalah orang yang mengalami gangguan dalam pikiran, perilaku, dan perasaan yang termanifestasi dalam bentuk sekumpulan gejala dan atau perubahan perilaku yang bermakna, serta dapat menimbulkan penderitaan dan hambatan dalam menjalankan fungsi orang sebagai manusia UU Keswa No.18 Tahun 2014).

Masalah stigma dan pemasungan ODGJ di Indonesia masih menjadi masalah yang mendasar dan perlu penanganan yang terstruktur dari tingkat pembuat kebijakan sampai tingkat masyarakat. Pemasungan adalah segala bentuk pembatasan gerak ODGJ oleh keluarga atau masyarakat yang mengakibatkan hilangnya kebebasan ODGJ, termasuk hilangnya hak atas pelayanan kesehatan untuk membantu pemulihan. (Permenkes No.54 Tahun 2017). Program Indonesia Bebas Pasung yang di canangkan pemerintah melalui Kementrian Kesehatan sejak tahun 2014, yang dideklarasikan dengan kegiatan pembebasan pasung Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ), yang salah satu kegiatannya dilaksanakan di Desa Jambe Nenggang Kecamatan Kebon Pedes Kabupaten Sukabumi pada bulan Oktober 2014, dalam peringatan Hari Kesehatan Jiwa Sedunia (HKJS), yang berhasil membebaskan sekitar 8 ODGJ pasung, mulai dari pasung dalam ruangan, pasung kayu, pasung rantai, sampai pasung di kandang hewan ternak, yang dilanjutkan dengan evakuasi dan pewawatan ODGJ di RSJ.Dr.H. Marzoeki Mahdi (RSJMM) Bogor.

BACA JUGA :  Cemilan Rumahan dengan Donat Labu yang Sedang Viral Kelezatannya

Sampai dengan sekarang, sosialisasi stop stigma terhadap ODGJ dan pencanangan Indonesia Bebas Pasung terus dilanjutkan dari tahun ke tahun secara berkelanjutan melalui berbagai media informasi, sosialisai, pendidikan dan kegiatan pelayanan kesehatan jiwa yang terintegrasi dalam Promosi Kesehatan Jiwa Masyarakat.

Promosi Kesehatan adalah “The process of enabling individuals and communities to increases control over the determinants of health and there by improve their health” yaitu proses yang mengupayakan individu dan masyarakat untuk meningkatkan kemampuan mereka mengendalikan faktor kesehatan, (WHO, dalam Fitriani, 2011).

Pada tingkat Internasional tahun 1978, deklarasi Alma Ata tentang Primary Health Care, menjadi tonggak sejarah lahirnya promosi kesehatan. Periode tahun 1995 sampai sekarang istilah promosi kesehatan, bukan hanya istilah pemberdayaan kearah mobilisasi massa, tetapi mencakup kemitraan dan politik kesehatan sehingga sasaran promosi kesehatan tidak hanya untuk perubahan perilaku tetapi juga perubahan kebijakan menuju perubahan sistem atau faktor lingkungan kesehatan.

Di Indonesia pada tahun 1997 diadakan konvensi Internasional Promosi Kesehatan dengan tema ”Health Promotion Towards The 21’st Century, Indonesian Policy for The Future” dengan melahirkan ‘The Jakarta Declaration’. Tujuan promosi kesehatan yang utama adalah memberikan informasi yang dapat memicu kesadaran masyarakat mengenai program atau gerakan yang tengah dicanangkan oleh pemerintah yang ditujukan bagi masyarakat luas, melalui upaya kesehatan jiwa yang dilakukan melalui kegiatan promotif dan preventif tanpa mengenyampingkan kegiatan kuratif dan rehabilitatif.

Dalam hal ini promosi kesehatan ditujukan untuk memberikan informasi, pengetahuan dan kesadaran kepada pembuat kebijakan dari tingkat pusat sampai tingkat daerah, perubahan sikap dan perilaku dari tingkat individu, keluarga sampai ke masyarakat, sehingga stigma dan pemasungan terhadap ODGJ lambat lain akan terkikis sedikit demi sedikit.

Upaya promotif kesehatan jiwa ditujukan untuk mempertahankan dan meningkatkan derajat kesehatan jiwa masyarakat secara optimal, menghilangkan stigma, diskriminasi, pelanggaran hak asasi ODGJ sebagai bagian dari masyarakat, meningkatkan pemahaman dan peran serta masyarakat terhadap kesehatan jiwa dan meningkatkan penerimaan, peran serta masyarakat terhadap kesehatan jiwa.

Rumah sakit Dr.H. Marzoeki Mahdi Bogor melalui Instalasi Promosi Kesehatan Rumah Sakit (PKRS), telah melakukan berbagai upaya kegiatan promosi kesehatan jiwa guna mengikis stigma terhadap ODGJ dan mencegah pemasungan ODGJ melalui berbagai kegiatan antara lain : Assertif Community Treatment (ACT), Penyuluhan Kesehatan Jiwa, Intervensi Krisis, Pembebasan Pasung, Manajemen Kasus, Pendampingan Psikiater dan Edukasi Kesehatan Jiwa Masyarakat, Advokasi Kesehatan Jiwa, Sosialisasi, Informasi dan Pendidikan Kesehatan Jiwa melaui sosial media, media cetak dan media elektonik, dll.

Instalasi PKRS melalui program lintas sektor dan integrasi, telah melakukan Promosi kesehatan melalui kegiatan advokasi kesehatan jiwa kepada pemerintahan daerah, dinas kesehatan, dinas sosial, disdukcapil, polres, kodim, dan instansi terkait lainnya di 23 kota atau kabupaten di Provinsi Jawa Barat seperti : Kota Banjar, Bekasi, Bogor, Cirebon, Depok, Sukabumi, Tasikmalaya, Kabupaten Bekasi, Bogor, Ciamis, Cianjur, Cirebon, Garut, Indramayu, Karawang, Kuningan, Majalengka, Pangandaran, Purwakarta, Subang, Sukabumi, Sumedang, Tasikmalaya dan 7 kota atau kabupaten di Provinsi Banten seperti Kota Cilegon, Tangerang, Tangerang Selatan, Kabupaten Lebak, Pandeglang, Serang dan Tangerang.

BACA JUGA :  Lokasi SIM Keliling Kabupaten Bogor, Jumat 19 April 2024

Diantara kota atau kabupaten di Jawa Barat dan Banten tersebut, program lintas sektor telah melakukan promosi kesehatan jiwa melalui kegiatan pelayanan kesehatan jiwa masyarakat, pemeriksaan dan evakuasi masal ODGJ berat di 15 wilayah kota dan kabupaten antara lain : Kota Bekasi, Cirebon, Sukabumi, Tasikmalaya, Kabupaten Bekasi, Bogor, Cianjur, Garut, Kuningan, Majalengka, Pangandaran, Subang, Sukabumi, Tasikmalaya dan kabupaten Tangerang. Promosi kesehatan melalui kegiatan Assertif Community Treatment, telah menjangkau 15 wilayah puskesmas di Kabupaten Bogor dan 4 wilayah puskesmas di Kota Bogor, sedangkan promosi kesehatan melalui kegiatan pendampingan psikiater dan edukasi kesehatan jiwa masyarakat, telah melayani 20 puskesmas di Kabupaten Bogor dengan melibatkan 13 psikiater dan edukator instalasi PKRS RSJMM.

Promosi kesehatan melalui kegiatan sosialisasi, informasi dan Pendidikan kesehatan jiwa ke sosial media, telah mengirimkan naskah berita kegiatan pelayanan kesehatan jiwa masyarakat dan sudah dirilis di 568 media cetak maupun media berita elektonik. Promosi kesehatan jiwa lainnya melalui advokasi kesehatan jiwa berhasil mengunjungi 7 Balai Rehabilitasi Sosial milik Kementrian Sosial dan 15 Lembaga Kesejahteraan Sosial (LKS) yang ada di Provinsi Jawa Barat dan Banten. Pembebasan pasung ODGJ oleh petugas PKRS, petugas kesehatan daerah, relawan, pekerja sosial, keluarga dan masyarakat telah berhasil membebaskan ODGJ pasung untuk di evakuasi dan dilakukan pengobatan di RSJMM sebanyak 34 kasus pasung pada tahun 2020.

Promosi kesehatan jiwa masyarakat yang dilakukan Instalasi PKRS, terbukti efektif untuk mengikis serta menyetop stigma dan pemasungan ODGJ secara perlahan lahan dengan kriteria hasil sebagai berikut yaitu : Tersebar luasnya informasi kesehatan jiwa kepada masyarakat melalui kegiatan penyuluhan, edukasi dan penyebar luasan berita kesehatan jiwa melalui sosial media dan berita cetak maupun elektonik pada setiap kegiatan PKRS, sehingga banyak masyarakat mengikuti, mendengar serta melihat informasi kesehatan jiwa. Menurunnya tingkat pemasungan ODGJ dengan banyaknya ODGJ yang dibawa ke fasilitas layanan kesehatan, bukan lagi dilakukan pemasungan.

Tingginya peran serta masyarakat seperti pendamping ODGJ, Pekerja Sosial, TKSK, Keswa, Relawan ODGJ dalam mendampingi pasien ke RSJMM, melalui komunikasi dan koordinasi lintas sektor. Tingginya minat keluarga dan masyarakat untuk mengikuti kegiatan pemeriksaan dan evakuasi masal ODGJ berat, dimana terdapat 158 ODGJ berhasil dievakuasi dan dirawat di RSJMM pada tahun 2020. Peran serta LKS dalam merujuk ODGJ ke RSJMM juga makin meningkat, sebagai dampak promosi kesehatan jiwa, terdapat 91 ODGJ merupakan rujukan dari LKS atau panti sosial pada tahun 2020.

Promosi kesehatan melalui media cetak dan elektronik, meningkatkan minat masyarakat untuk membawa ODGJ ke RSJMM, terdapat 1240 ODGJ masuk ke RSJMM selama Tahun 2020 melalui IGD sebanyak 584 untuk masuk rawat inap dan 656 masuk melalui poli psikiatri untuk rawat jalan, yang dibawa oleh PSM, TKSK, Pendamping ODGJ keswa Puskesmas, Dinkes, Dinsos, Relawan dll, dengan fasilitasi komunikasi dan koordinasi melalui media sosial WhatsApp dan telephon.

Kesimpulan :

Peningkatan kegiatan promosi kesehatan jiwa masyarakat menjadi solusi terbaik untuk mengikis serta menyetop stigma dan pemasungan ODGJ secara perlahan-lahan, sehingga makin banyak ODGJ yang dibawa ke fasilitas layanan kesehatan untuk mendapatkan penanganan medis bukan lagi pemasungan, yang menyebabkan meningkatnya derajat kesehatan mental bagi individu, keluarga dan masyarakat Indonesia.

Bagi Halaman
============================================================
============================================================
============================================================