Istilah Pengemis di Indonesia Ternyata Ini Asal Muasalnya

BOGOR-TODAY.COM, BOGOR – Pengemis tentunya banyak yang mengasosiakannya dengan stigma negatif sebagai sebagai peminta-minta.

Kata mengemis sendiri berarti meminta-minta sedekah dan juga meminta dengan merendah-rendah dan dengan penuh harapan.

Akan tetapi, sebenarnya istilah pengemis tersebut sebenarnya mulai muncul pada masa Sri Susuhan Pakubuwono X yang pernah menjadi orang nomor satu Pemerintahan Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat.

Lahirnya pengemis berasal dari tradisi Kemisan di masa Pakubuwono X. Menurut dari kisahnya, setiap menjelang hari Kamis, Pakubuwono X kerap melakukan aktivitas rutin untuk menemui rakyatnya di luar istana. Dikutip dari video di kanal youtube Bimo K.A.

Aktivitas yang sudah menjadi rutin tersebut, ternyata’udhik-udhik’ atau sedekah berupa uang koin itu selalu dibagikan oleh Sri Susuhunan Pakubuwono X kepada masyarakat yang telah menantinya di luar istana.

Masyarakat yang menerima ‘udhik-udhik’ tersebut pun mulanya menerima pemberian sang raja sebagai berkah yang tak ternilai.

Kemudian berjalannya waktu, istilah orang-orang yang menerima ‘udhik-udhik’ itu disebut ‘Wong Kemisan’.

BACA JUGA :  BERGERAK BERSAMA, MELANJUTKAN MERDEKA BELAJAR

“Tapi kemudian dinamakan ngemis ketika era PB X, yang mana pada waktu itu semakin banyak orang yang meminta-minta pada hari Kamis hingga keluarlah istilah ngemis,” ungkap Sejarawan Heri Priatmoko pada Rabu (2/3/2022).

Lantaran itu, Pakubuwono X sebagai kepala pemerintahan Keraton Kasunanan Surakarta membuat sebuah tempat pelatihan atau kursus ketrampilan bagi pengemis atau orang yang kurang mampu di Wangkung (Dinas Sosial) di kawasan Laweyan, Solo.

“Di tempat itu, diharapkan pengemis bisa lebih berkreasi atau berketrampilan sebagai bekal usaha mereka untuk hidup lebih mandiri dan tidak meminta-minta lagi,” jelas Heri.

Heri mengungkapkan, dibuatkannya tempat tersebut bahwa PB X bukan hanya memperlihatkan misi manusiawinya yang humanis saja. Namun juga lebih ingin memberikan kemandirian pada para pengemis.

“Karena persepsi orang mengemis itu, menjadikan persepsi kurang bagus tentang makna kota yang bersih dari sampah namun juga bersih dari manusia yang meminta-minta karena tidak sedap dipandang mata,” paparnya.

BACA JUGA :  Menu Simple dengan Tumis Pakcoy Wijen yang Sedap Bikin Ketagihan

Sementara, istilah sebar udhik-udhik (uang) pada jaman PB X tersebut untuk masyarakat umum bukan hanya orang tidak mampu. Pemberian uang dari raja tersebut sebenarnya tidak hanya sekedar untuk jajan, tapi mereka simpan karena bisa mendapatkan uang dari raja adalah suatu keberkahan sendiri.

“Itu umum ya, salah satunya ketika banjir melanda, raja selalu menyebar udhik-udhik, baik di Langen Harjo atau tempat manapun,” katanya.

Pun sesudah Susuhunan Pakubuwana X wafat pada tahun 1939, Wong kemisan atau wong ngemis tak hanya muncul pada hari Kamis. Melainkan di setiap ada keramaian di berbagai tempat dan didominasi oleh orang-orang yang tak berkecukupan.

Pun akhirnya, arti ‘Wong Ngemis’ berubah dari masyarakat yang menerima sedekah dari sang raja disetiap hari Kamis menjadi orang yang meminta-minta pemberian dari orang lain. Makna Wong Ngemis pun diserap ke dalam Bahasa Indonesia menjadi “Pengemis”. (net)

 

Bagi Halaman
============================================================
============================================================
============================================================