KEMELUT MINYAK GORENG

kemelut minyak goreng

Oleh : Nova Gora

(Mahasiswa Magister Kebijakan Publik Universitas Nasional Jakarta)

BOGOR-TODAY.COM, BOGOR – Koes Plus menarasikan Indonesia sebagai tanah surga, sehinga tongkat kayu dan batu pun menjadi tanaman. Lirik lagu itu menjustifikasi keberlimpahan potensi sumber daya alam Indonesia.

Keberlimpahan potensi sumber daya alam Indonesia merupakan sebuah pemberian (given) yang harus disyukuri. Berdasarkan data Bank Dunia 2018, total area Indonesia seluas 1,88 juta kilometer persegi atau 1,4 persen dari luas lahan seluruh dunia.

Angka itu mengantar Indonesia masuk dalam barisan 15 negara dengan lahan terluas di dunia, bersama China, Amerika Serikat, India, hingga Meksiko. Sepertiga area itu digunakan untuk pertanian. Artinya, luasan tersebut seharusnya sudah mampu mencukupi kebutuhan pangan masyarakat dan dijauhkan dari masalah kelangkaan pangan.

Namun kenyataan justeru sebaliknya. Dalam catatan Kompas Id, bukan kali ini saja Indonesia mengalami persoalan kelangkaan pangan. Tahun 2008, misalnya, kelangkaan minyak goreng pernah terjadi. Harga minyak goreng melejit karena tingginya harga minyak sawit mentah (CPO) dunia.

Masalah yang sama terulang pada tahun 2011. Berdasarkan laporan Economist Impact, skor indeks ketahanan pangan global (GFSI) di Indonesia pada 2021 berada di skor 59,2. Skor tersebut turun 2,2 poin dari tahun sebelumnya. Kini, peringkatnya pun merosot menjadi ke-69 seiring dengan skor yang menurun.

Posisi Indonesia jauh di bawah negara tetangga Singapura (15) dan Malaysia (39). Jika dibandingkan dengan negara-negara di Kawasan ASEAN, Indonesia hanya lebih unggul dari Myanmar (72), Kamboja (81), dan Laos (91). Data tersebut menegaskan kerawanan isu pangan di Indonesia tergolong tinggi.

Merujuk pada laporan Departemen Pertanian Amerika Serikat (USDA), tahun 2021 kerawanan pangan di Indonesia dialami oleh 42,2 juta jiwa, sekitar 15,7 persen dari total populasi. Di antara negara-negara Asia Tenggara, hampir setengah dari populasi rawan pangan berada di Indonesia.

Tidak mengherankan apabila ketergantungan Indonesia akan impor pangan pun masih tinggi. Menurut catatan Kementerian Perdagangan, impor barang konsumsi Indonesia sepanjang tahun 2021 mencapai Rp. 284,54 triliun.

Sedangkan berkaitan dengan minyak goreng, data Kementerian Pertanian RI menunjukkan pada tahun 2021 luas perkebunan sawit di Indonesia mencapai 15,08 juta hektar. Jumlah ini naik dari sebelumnya 1,48 juta hektar. Sementara data dari Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) menunjukkan, produksi minyak sawit di Indonesia tercatat 3, 76 juta ton pada Januari 2021.

Sementara itu, konsumsi lokal minyak sawit naik tipis menjadi 1,52 juta ton pada Januari 2021 dari bulan sebelumnya. Peningkatan itu berasal dari produksi pangan sebesar 763.000 ton, sedangkan konsumsi oleokimia dan biodiesel masing-masing turun menjadi 178.000 ton dan 580.000 ton. Dalam hitungan sederhana, seharusnya dengan produksi 3,76 juta ton dan konsumsi lokal 1,52 juta ton pada Januari 2021, Indonesia tidak akan kekurangan minyak goreng sawit.

BACA JUGA :  Susu Kurma Bisa Bantu Diet? Ini Dia Kandungan dan Manfaatnya

Pertanyaannya adalah mengapa masih terjadi kelangkaan minyak goreng? Gejolak harga sembako (baca: minyak goreng) mejadi topik utama media massa dan ramai diperbincangkan masyarakat. Apalagi setelah pemerintah membiarkan harga minyak goreng mengikuti logika pasar yang membuat harganya melonjak tinggi.

Antrean panjang dan rebutan minyak goreng terjadi di berbagai tempat. Tidak hanya mahal, minyak goreng juga menghilang dari pasaran. Ia menjadi komoditas langka. Media sosial pun dipenuhi keluhan ibu rumah tangga. Keresahan sosial semakin memanas.

Banyak dugaan, selain ditimbun oleh mafia demi keuntungan pribadi, kelangkaan pangan (khususnya minyak goreng) juga disebabkan oleh tata kelola (distribusi) yang kurang efektif. Karena itu pemerintah perlu membenahi tata kelola minyak goreng. Pemerintah perlu mengubah cara berpikir bahwa ketersediaan minyak goreng di seluruh Indonesia bukan sekedar distribusi komoditas, tetapi lebih dari itu merupakan bagian dari usaha distribusi kemakmuran.

Adam Smith (1975), membedakan nilai dari suatu komoditi dalam dua kategori utama, yaitu value in use (nilai kegunaan) dan value in exchange (nilai tukar). Value in use berkaitan dengan nilai yang dimiliki untuk memenuhi suatu tujuan atau suatu harapan tertentu. Sedangkan value in exchange berkaitan dengan nilai maksimal yang dimiliki suatu komoditi bila dibandingkan dengan komoditi lain.

Menurut Jhon S. Mill (1874: 442), ada dua kondisi yang dapat mempengaruhi sehingga suatu komoditas memiliki nilai tukar. Pertama, tingkat urgensi dari komoditi yang bersangkutan terhadap pemenuhan harapan dan kebutuhan hidup manusia. Kedua, tingkat kelangkaan dan kesulitan komoditas tersebut.

Dalam isu pangan, minyak goreng merupakan komiditi yang memiliki nilai kegunaan (value in use) yang tinggi. Ia merupakan komoditi bahan pokok (bagian dari sembako) yang sangat mempengaruhi keberlangsungan hidup masyarakat Indonesia. Artinya, minyak goreng memiliki tingkat urgensi yang tinggi bagi hidup masyarakat Indonesia.

Dalam kenyataan, tidak ada masyarakat yang mampu memproduksi semua komoditas bahan pokok yang mereka perlukan (Deliarnov, 2020:25).  Karena itu, pemerintah, sebagai otoritas yang mengelola negara, punya tanggung jawab guna menjamin ketersedian minyak goreng. Tugas utama negara adalah memastikan komoditas yang mempunyai nilai kegunaan tinggi harus selalu ada.

Secara legal formal, tanggung jawab pemerintah itu termaktub dalam UU 18 Tahun 2012. UU itu mengatakan bahwa penyelenggaraan pangan dilakukan untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia yang memberikan manfaat secara adil, merata, dan berkelanjutan berdasarkan kedaulatan pangan, kemandirian pangan, dan ketahanan pangan. Dalam konteks hak atas pangan, negara dibebani kewajiban untuk memenuhinya.

BACA JUGA :  Ketua DPRD Rudy Susmanto Minta Warga Kabupaten Bogor Siaga Bencana Alam, Segera Lapor Jika Muncul Bencana

Negara memiliki tanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan pangan yang terjangkau dan memadai. Selain menjamin ketersediaannya, pemerintah juga perlu melakukan pemantauan secara berkala distribusi minyak goreng.

Hal itu dapat dilakukan dengan cara meningkatkan peran institusional Bulog dalam menstabilisasi harga minyak goreng dengan misi penguatan cadangan minyak goreng nasional. Selain memiliki value in use yang tinggi, minyak goreng juga memiliki nilai memiliki value in exchange. Sebab komoditas tersebut memiliki tingkat urgensi yang tinggi terhadap pemenuhan kebutuhan manusia. Apalagi akhir-akhir ini, minyak goreng menjadi barang langka dan sulit diperoleh di pasaran.

Selain itu, mengikuti gagasan Sasmita (Kompas, 2022) apabila pemerintah memang ingin fokus membenahi distribusi minyak goreng, pemerintah seharusnya fokus mengamankan harga CPO untuk produsen dalam negeri, termasuk menetapkan secara tegas jatah domestic market obligation yang harus dipenuhi produsen CPO alias bukan fokus pada harga jual minyak goreng.

Sebab penyebab utamanya ada pada harga CPO yang mengikuti pergerakan harga komoditas internasional. Artinya pemerintah tidak boleh terbawa arus logika pasar yang hanya ingin meminimalkan kerugian dan memaksimalkan keuntungan.

Pemerintah tidak boleh menyerah dan harus mampu menstabilisasi distribusi dan harga minyak goreng. Saat inilah waktu yang tepat untuk memastikan suplai CPO untuk pasar domestik dengan ketepatan harga yang jelas dan tegas. Pemerintah tidak boleh gerak lambat. Jangan sampai posisi Indonesia sebagai produsen dan eksportir CPO terbesar di dunia justeru tidak mampu berdaulat di dalam negeri sendiri.

Seperti telah disebutkan sebelumnya, hal itu dimungkinkan apabila pemerintah melihat masalah minyak goreng ini tidak hanya dari kacamata ekonomi. Tetapi lebih dari itu, stabilisasi distribusi dan harga minyak goreng merupakan bagian dari distribusi kemakmuran kepada seluruh masyarakat Indonesia.

Minyak goreng merupakan gambaran kehadiran negara di tengah masyarakat. Agar kemakmuran itu terwujud, pemerintah harus mampu mendesain tata kelola atau kebijakan yang efektif menyangkut distribusi, ketersediaan stok, dan harga minyak goreng.

Pemerintah tidak boleh lemah berhadapan arus pasar yang berorientasi profit. Apabila tidak, pengabaian terhadap masalah minyak goreng ini dengan sendirinya bisa dianggap sebagai kegagalan pemerintah dalam mengelola negara. (*)

Bagi Halaman
============================================================
============================================================
============================================================