Tradisi minum teh
Tradisi minum teh di Solo yang Berkembang Sejak Zaman Kolonial. Foto : Ilustrasi.

BOGOR-TODAY.COM, BOGORTradisi minum teh tak hanya berlaku di Jepang, ternyata di Inggris juga memiliki istilah afternoon tea atau minum teh di sore hari sambil ditemani kudapan manis yang disusun di nampan bertingkat.

Lantas, bagaimana tradisi minum teh di Indonesia?

Serupa di dua negara itu, Indonesia pun memiliki tradisi minum teh yakni di tanah Jawa terutama Solo. Tradisi minum teh di tanah Jawa diyakini telah berkembang dari zaman kolonial, yang berpusat di lingkungan kerajaan. Mereka memiliki tradisi minum teh sebagai jamuan para tamu.

Aktivitas ngeteh sudah berakar kuat dalam kehidupan masyarakat Solo. Hingga akhirnya muncul guyonan di meja makan bahwa acara ngeteh laksana sembahyang, wajib untuk ditunaikan.

Teh sudah selayaknya daya hidup bagi orang Solo. Mereka bisa melewatkan ngopi, namun tidak dengan ngeteh. Walaupun menyesap wedang teh bukan kultur asli Indonesia. Melainkan, akibat pengaruh komunitas Belanda yang menginjakkan kaki di tanah jajahan.

Melansir goodnewsfromindonesia.com, Rabu (29/6/2022) Dosen Sejarah Universitas Sanata Dharma, Heru Priyatmoko menyebutkan dalam tradisi kerajaan Jawa, teh selalu disajikan di setiap acara jamuan makan keluarga bangsawan baik makan pagi, makan siang, dan makan malam. Keraton Kasunanan dan Mangkunegaran merupakan dua kerajaan yang memiliki tradisi minum teh untuk menjamu tamu kehormatan.

“Pawon kerajaan Kasunanan diperkuat pula oleh jajaran abdi dalem Jayeng yang diberi wewenang khusus membuat minuman teh untuk raja, kerabat raja, dan tamu,” urai Sanata dalam artikel berjudul Kepulan (Sejarah) Dapur Keraton.

Sementara, mengutip dari buku yang berjudul Journeys to Java by a Siamese King, Imtip Pattajoti Suharto, menyebut terdapat kesaksian berharga yang datang dari Raja Chulalongkorn asal Siam atau Thailand yang mengunjungi Jawa pada 1901. Dirinya berkesempatan beberapa kali menginjakkan kaki di lantai marmer Keraton Kasunanan dan Mangkunegaran.

“Tamu agung yang menginap di Hotel Rusche ini bersiap menyaksikan kemegahan istana Jawa sembari menyesap sajian minuman teh hasil garapan abdi dalem Jayeng yang terkenal nikmat,” ujar Imtip.

Pada malam itu, sambung Imtip Paku Buwana X, Sultan dari Keraton Kasunanan mengadakan perjamuan dengan tamunya ini. Acara ngeteh berlangsung sampai pukul 22.00.

Kemudian, pemilik rumah mengajak raja negeri Gajah Putih menuju ruang makan yang mewah. Tamu duduk di tengah diapit Paku Buwana X di sisi kanan dan residen pada sebelah kiri.

“Di akhir makan malam, tuan rumah menawarkan roti bakar kepada raja Siam dan residen. Sebelum acara ngeteh disudahi, turis Siam berpamitan pada istri raja dan bangsawan lainnya,” jelasnya.

Raja Siam ini juga sangat terkagum-kagum dengan tradisi jamuan dari Keraton Kasunanan, terutama para pelayannya yang begitu terampil. Dirinya menyaksikan para pelayan ini seperti sudah terbiasa melayani para tamu dengan jumlah banyak.

BACA JUGA :  Bejat, Cabuli 2 Bocah Laki-laki, Pemilik Bengkel di Solok Ditangkap

“Usai mencecap teh, pelayan datang membawa rokok. Selepas sesi merokok, pelayan mendekat membawa nampan gelas dan pembantu lainnya memegang keranjang berisi aneka minuman. Ritual macam ini dikerjakan tidak peduli di stasiun maupun istana. Raja Siam heran melihat para pelayan merayap pelan,” pungkasnya.

Tradisi ngeteh yang menyebar ke masyarakat

Tradisi minum teh memang awalnya menyebar pada kalangan bangsawan atau priyayi. Hal ini dicontohkan dengan tradisi pada keluarga Kartini dan Sosroningrat yang menggandrungi kebiasaan minum teh jam 16.00-17.00 WIB.

“Mereka blakblakan mengakui mengikuti tata cara masyarakat kolonial Belanda. Di atas meja telah ditata cangkir, gula, susu, dan poci teh yang diberi tutup yang dalam bahasa Belanda dinamakan thee cozy. Kudapan lokal maupun kue-kue Belanda mewarnai lidah,” jelas Heru dalam artikel berjudul Tradisi ngeteh di Jawa.

Hal yang menarik, keluarga bangsawan di Jawa memaknai perabotan ngeteh untuk pamer gengsi sosial. Perlengkapan minum teh terdiri atas teko terbuat dari porselen.

Teko ini bertangkai di bagian atasnya, terbuat dari emas. Ada pula cangkir dari porselen berwarna merah dengan satu pegangan dan tutup yang juga terbuat dari emas, tempat gula dan sendok kecil diletakkan pada nampan emas berbentuk bulat panjang. Agar tak kotor dan mengurangi rasa panas, cangkir diberi alas (lepek).

“Kalau ada golongan yang hendak mengungkapkan kekayaannya melalui peralatan makan (dan minum), maka peralatan bersantap Eropa yang dipakai,” ucap sejarawan Onghokman.

“Meski teko berasal dari budaya Tionghoa, namun elemen emas yang menempel mengindikasikan ada spirit pamer,” tambahnya.

Lambat laun budaya ngeteh yang semula hidup di bilik rumah aristokrat, akhirnya tersebar dan berkembang di lingkungan masyarakat luas. Dia sukses menembus sekat sosial, tanpa bisa diklaim milik satu golongan.

“Pada masa silam, elite bangsawan yang menempati posisi teratas dalam piramida sosial ala kerajaan menjadi rujukan kaum priyayi dan wong cilik,” ujar Onghokman.

Lahirnya teh oplosan

Teh oplosan merupakan salah satu cipta rasa masyarakat Solo yang menggemari minum teh dalam menjalani hari. Masyarakat Nusantara memang memiliki kebiasaan memodifikasi unsur dari luar kultur pokoknya, demi melahirkan produk baru.

Tradisi mengoplos aneka merek teh di Solo itu sudah berlangsung lintas generasi. Konon, tradisi ngeteh oplosan berasal dari abdi dalem yang khusus menyiapkan aneka minuman bagi keluarga, atau kerap disapa Jayengan.

Menurut pemberitaan Darmo Kondo (12 Juni 1935), merek teh yang paling enak saat itu ialah teh cap Boeroeng dan Terong. Dalam catatannya, jajaran redaksi diberi beberapa bungkus teh eceran oleh tuan Lie Tek Kie di Warung Pelem.

BACA JUGA :  Minum Air Lemon untuk Turunkan Berat Badan, Benarkah? Simak Ini

Teh tersebut terdiri dari 2 rupa, yaitu bergambar terong, dan burung Hong. Setelah dibagi kepada seluruh pegawai dan dicicipi, ternyata teh ini terasa harum, sehingga 1 bungkus saja buat 1 porong sudah cukup enak.

“Apabila ada warga yang menginginkan teh ini, bisa membelinya pada acara Sekaten yang kebetulan sedang digelar di alun-alun utara Kasunanan,” catat pemberitaan tersebut.

Sementara pada masa kini, beberapa toko online sudah menyediakan beragam teh oplosan. Hal ini membuat masyarakat bisa menikmati sajian teh dengan caranya masing-masing.

“Oplosan menu ngeteh paling populer di Solo adalah yang terdiri dari teh cap Nyapu dan Sintren. Itu paling standar. Untuk kepekatan, orang sering mencampurkan merek Dandang. Ada yang menambahkan merek Gopek atau 999. Merek terakhir ini jarang dijumpai di pasar di luar Solo,” ucap Peracik teh oplosan Blontea, Blontank Poer dalam artikel berjudul Djangan Anggap Remeh Oeroesan Ngeteh! dikutip dari Mojok, Sabtu (16/10/2021).

Sekarang ngeblend, istilah oplos teh di Solo ini seperti menjadi tantangan masyarakat untuk mendapatkan aroma dan rasa khas teh. Umumnya, racikan teh oplosan ini menggunakan tiga merek yang berbeda.

Namun, tidak menutup kemungkinan ada orang yang mengoplos dengan lebih banyak jenis. Mengoplos teh merupakan salah satu kegiatan yang menyenangkan.

“Kebudayaan ngoplos teh di Solo memang dominan menggunakan teh melati tetapi mereka biasanya menggunakan beberapa merek. Uniknya, semua orang memiliki selera berbeda sehingga tidak jarang warna dan rasa juga terus mereka kembangkan hingga menemukan rasa yang pas,” jelas Pendiri Komunitas Pecinta Teh, Ratna Soemantri yang dikutip dari Suara.

Namun jika Anda takut racikan teh itu tidak menghasilkan rasa yang sempurna, cobalah meminta saran kepada para pedagang seperti di Pasar Gede. Nanti Anda akan mendapat paket yang dikemas dalam satu plastik berisi tiga hingga lima bungkus teh dari merek berbeda.

Racikan tersebut terdiri dari teh melati yang dikombinasikan dengan jenis teh hitam ataupun merah yang akan menghasilkan perpaduan rasa wangi, kental, dan sepat. Kesaksian ini juga disampaikan oleh seorang perantau yang telah 10 tahun merantau ke Jogja dan kemudian hijrah ke Solo, dia mengaku belum pernah menemukan rasa teh yang sedahsyat teh di Solo.

“Teh di Solo membuat saya jatuh cinta, karena cita rasanya luar biasa. Berbeda dengan teh di Jogja yang lebih encer dan biasa saja. Apalagi di Pontianak, kebanyakan warung menjual seduhan teh celup yang rasanya tidak bisa menandingi teh oplosan di Solo,” katanya. (*)

Bagi Halaman
============================================================
============================================================
============================================================