HERU B SETYAWAN
Keputusan majelis hakim PN Jaksel menjatuhkan vonis mati kepada Sambo memulihkan kepercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum. (FOTO : HERU B SETYAWAN)

Oleh : Heru B Setyawan (Pemerhati Pendidikan)

MANTAN Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan (Kadivpropam) Inspektur Jendral (Irjen) Ferdy Sambo di vonis mati oleh majelis hakim di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

Meski vonis mati belum final karena Sambo bisa mengajukan banding di Pengadilan Tinggi (PT), kasasi dan Peninjauan Kembali (PK) di Mahkamah Agung (MA) dan terakhir minta grasi kepada presiden Republik Indonesia .

Tapi dengan putusan hukuman vonis mati ini, minimal sudah bagus dan bisa menimbulkan kepercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum di Indonesia.

Mungkin yang selama ini penegakan hukum di Indonesia sungguh memprihatinkan kalau tidak boleh dikatakan memalukan. 

Acungan jempol untuk majelis hakim PN Jaksel yang dengan tegas dan  berani memberikan vonis mati kepada Ferdy Sambo.

Tidak seperti Jaksa Penuntut Umum (JPU)  yang hanya menuntut hukuman seumur hidup. Jelas tuntutan jaksa ini melukai rasa keadilan pada masyarakat Indonesia.

Bagaimanapun juga kita semua harus mengawal kasus ini sampai akhir dan tuntas tas, agar tidak terjadi hal-hal yang tidak kita inginkan, sehingga hukuman mati ini bisa berubah menjadi hukuman seumur hidup.

BACA JUGA :  RPJPD Kota Bogor 2025 - 2045, Kota Sains Kreatif, Maju dan Berkelanjutan

Atau jangan sampai hukumannya lebih ringan lagi, ingat Sambo dan kelompoknya masih punya pengaruh yang besar di tubuh Korps Bhayangkara ini.

Bukankah gara-gara kasus pembunuhan berencana terhadap Brigadir Yoshua ini banyak aparat kepolisian yang terlibat.

Kasus Sambo ini menunjukkan betapa bobroknya Korps Bhayangkara ini, bagaimana tidak geng Sambo ini justru melindungi judi online, narkoba, prostitusi dan minuman keras (Miras).

Kata penyanyi kecil jaman dulu yang sangat terkenal dengan iklanya yang berbunyi ,”Jeruk kok makan jeruk,”

Kalu kita mau jujur, akhir-akhir ini banyak kasus kontroversial yang melibatkan aparat kepolisian. Dari kasus yang fenomental yaitu kasus pembunuhan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat terhadap 6 Laskar Front Pembela Islam (FPI) yang terkenal dengan nama Kasus KM 50.

Dimana asal mulanya justru 6 laskar yang wafat secara syuhada ini ditetapkan sebagai tersangka. Tapi setelah diprotes ahli hukum dan nitizen, maka status tersangka 6 laskar ini dicabut.

Alasan polisi menjadikan 6 laskar ini menjadi tersangka karena mereka menyerang terlebih dahulu.

Padahal seseorang yang sudah meninggal dunia tidak bisa dituntut secara pidana. Bahwa pada Pasal 77 KUHP berbunyi : “Kewenangan menuntut pidana hapus, bila si tertuduh meninggal dunia”.

BACA JUGA :  Rendang Ayam Kampung, Menu Lezat untuk Santapan Keluarga Tercinta

Jelas kan bunyi pasal tersebut dan anehnya hal ini dilakukan lagi oleh polisi saat terjadi kecelakaan lalu lintas dengan korban tewas mahasiswa Unversitas Indonesia yang menabrak adalah seorang pensiunan polisi.

Kali ini polisi berpendapat, bahwa mahasiswa tersebut teledor dalam berkendara, akibatnya korban terpental dan pindah jakur ke arah yang berlawanan, sehingga tertabrak oleh polisi tersebut. Wah sulit untuk diterima dengan akal sehat alasan ini.

Harusnya polisi harus menata hati dan kembali menjalankan tugas dan amanah yang mulia ini kepada Undang-undang yang berlaku, yaitu UU No 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Pada Pasal 13 di UU Polisi: Tugas Pokok Kepolisian Negara Rrepublik Indonesia adalah sebagai berikut: Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum dan  memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat.

Penulis masih percaya lebih banyak polisi yang baik, polisi yang kurang baik jumlahnya sedikit atau biasa disebut dengan oknum. Jayalah Indonesiaku. (*)

============================================================
============================================================
============================================================