Nilai impor dari China melonjak drastis sebeÂsar 64,39% pada tahun ini dibandingkan dengan periode tahun sebelumnya atau cara year on year (yoy). BPS mencatat, pada periode Januari-Oktober 2014, impor dari China sebesar USD 14,5 miliar, sedangÂkan periode yang sama tahun ini nilai mencapai USD 23,8 miliar.
“Secara akumulasi, impor dari China naik 64,39%. Tapi kalau seÂcara month to month (mtm) turun 6,95%,†kata Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Suryamin dalam konferensi pers di Kantor Pusat BPS, Jakarta, Senin (16/11/2015).
Hal ini berbeda dengan negara mitra dagang utama lainnya, seperti Jepang pada periode yang sama (yoy) justru turun 54,63% dari USD 24,9 miliar menjadi USD 11,5 miliar.
Sementara itu Singapura seÂcara akumulasi juga turun 15,8% dari USD 8,6 miliar ke USD 7,3 miliar. AS mengalami hal yang serupa dengan penurunan 9,85% dari USD 6,8 miliar ke USD 6,2 miliar. “Untuk negara lain juga begitu ada indikasi beberapa peÂrusahaan menahan pembelian baÂrang,†tukasnya.
Banjir Produk China
Tahun ini pasar Indonesia dibanjiri barang-barang dari China. Ini menunjukkan bahwa impor dari negeri Tirai Bambu melonjak. Hal ini membuat jarak defisit perdagangan Indonesia dengan China makin melebar. ImÂpor makin meningkat tajam kareÂna China yang sengaja melemahÂkan mata uang, yuan beberapa waktu lalu.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, defisit sebesar USD 12,8 miliar pada periode Januari-OkÂtober 2015. Dengan nilai ekspor Indonesia ke China sebesar USD 11 miliar, sementara impor mencaÂpai USD 23,8 miliar.
“Beratnya di situ untuk meÂnyeimbangkan neraca perdagangan kita dengan China, defisitÂnya makin jauh,†terang Sasmito, Deputi Distribusi Statistik dan Jasa BPS di Kantor Pusat BPS, Jakarta, Senin (16/11/2015).
Apalagi dengan kondisi nilai tukar rupiah yang justru menguat terhadap dolar AS. Ekspor semaÂkin sulit untuk didorong secara nominal. Sedangkan harga barang dari China tetap lebih murah masuk ke Indonesia. “Ya begini kalau ruÂpiah menguat, kita sulit dorong ekspor, dan barang China itu seÂmakin murah,†jelasnya.
Ini harus menjadi perhatian pemerintah untuk menjaga neÂraca perdagangan tetap dalam kondisi baik. Banyak hal yang bisa dilakukan, misalnya dengan menÂdorong produk-produk olahan yang bernilai tinggi. “Saat impor meningkat sebenarnya nggak ada masalah selama ekspor kita juga meningkat. Nah ruiah terlalu taÂjam ini kan bisa juga menggangÂgu ekspor. Makanya kita harus dorong produk-produk bernilai tinggi,†papar Sasmito.
Defisit perdagangan IndoneÂsia dengan China paling besar dibandingkan dengan negara lainnya. Thailand berada di posisi selanjutnya defisit USD 2,7 miliar dan Australia sebesar USD 1,4 miliar. Kemudian adalah Jerman, Jepang dan Korea Selatan. “Selain dari negara-negara tersebut kita terhitung surplus,†imbuhnya.
(dtc)
Berikut Rinciannya: