SEORANG pengurus Paguron Silat Pajajaran, ketika menengok saya bicara yang ringan-ringan soal nilai masa lalu yang relevan diterapkan di masa kini dan masa depan. Khasnya dalam konteks membangun Bogor (Kabupaten – Kota) sesuai dengan harapan rakyat.
Bang Sem Haesy
KAMI akhirnya bicara seputar prinsip musyawarah dalam konÂteks perencanaan pembangunan, karena selepas musyawarah pemÂbangunan, rakyat memainkan perÂan sebagai pengawas, kontrolir.
Saya ingat pesan Abah Ncep Sempur, yang banyak memberi saya nasihat kala tumbuh sebagai remaja. Menurut beliau, setidaÂknya ada delapan prinsip nilai yang perlu diingat dan dipegang untuk bermusyawarah yang berÂbuah kebaikan, kebajikan, dan kemuliaan. Khasnya dalam merenÂcanakan pembangunan mulai dari desa sampai kota – kabupaten, dan seterusnya: Provinsi dan Nasional. Terutama, ketika sasaran yang hendak dicapai sudah jelas, sepÂerti ketahanan pangan yang nyata, ketersediaan lapangan kerja dan berusaha yang mewujud dalam program nyata di pedesaan, akses rakyat terhadap pendidikan dan sarana kesehatan yang tidak ruÂmit. Wujudnya: tak ada tengkulak dan spekulan yang mempermainÂkan ketersediaan bahan pangan pokok; daya beli rakyat yang meÂningkat, tak ada PHK (pemutusan hubungan kerja), lancarnya layÂanan BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) Kesehatan dan Ketenagakerjaan.
Dalam konteks itulah prinsip musyawarah a la Pakuan PajaÂjaran, mesti dipraktikan. Yakni, musyawarah bernas untuk kepentÂingan rakyat. Titik beratnya pada tata kelola yang baik, good govÂernance dalam segala hal. MusyÂawarah harus diselenggarakan, setidaknya memenuhi delapan indikator, yaitu:
Pertama, mawusana panyÂtrawanan, rendahnya friksi secara internal dan eksternal (dengan keÂmampuan mengendalikan conflict of interest). Jaga diri, supaya tidak terjadi disharmoni atau desynÂcronize fungsi personal dan sosial rakyat;
Kedua, mitrasamaya jeung atuntunan tangan, berkembangÂnya pemahaman rakyat dan pemerintah untuk selalu bersinÂergi dan bekerjasama berbasis parasparopakara, keadilan.
Ketiga, menghilangkan marah dengan membuang paribhaksa (dendam atas perlakuan tak adil) dengan menyadari sepenuh jiwa, bahwa manusia bermula dari yang wahid (tunggal kawitan – umÂmatan wahidah);
Keempat, membuktikan rakyÂat sungguh mhardika (merdeka dan berdaulat atas diri sendiri);
Kelima, membuktikan bahwa lembaga penyelenggara musyÂawarah, sungguh pengemban fungsi pemecah masalah dan pemberi solusi (telasaken) secara damai –tenteram (apakenak), karena andal dalam mencapai mufakat (mapulungrahi), sesuai prinsip persaudaraan (kahareup paduluran);
Keenam, pemerintah meruÂpakan wadah utama sebagai teÂladan dalam mempraktikan nilai hidup saling mengasihi, saling didik, dan saling mendewasakan (silih asih, silih asuh, silih asah);
Ketujuh, lembaga penyelenggÂara musyawarah meruopakan conÂtoh kongkret organisasi yang tidak melampaui batas kewenangannya (parapura); dan
Kedelapan, para pemimpin sangat menghormati hak generasi baru untuk menjamin sustainÂabilitas – keberlanjutan (maryada sakeng si tutu). Sekaligus membina dan mengembangkan mereka seÂbagai generasi masa depan yang berperangai dan berkualitas prima.
Dari delapan prinsip itu, musyÂawarah dapat mengatasi terjadinÂya kondisi terburuk: pahiri hiri, parebut dipayung tangtung, pagiÂrang-girang tampian, calik girang gede ajang..