Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia (BI) akhirnya menuÂrunkan tingkat suku bunga acuan atau BI rate sebeÂsar 25 baÂsis poin (bps) menjadi 7,25%.
Oleh : Alfian Mujani
[email protected]
Sementara depocit faciliÂties sebesar 5,25% dan lendÂing facilities 7,75%,’’ kata Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI, Tirta Segara, di GeÂdung BI Thamrin, Jakarta, Kamis (14/1/2016). Menurut dia, RDG tanggal 14 Januari 2016 memutuskan untuk menurunkan BI rate. RDG kali ini dilakukan selama 2 hari yaitu tangÂgal 13 dan 14 Januari 2016.
Menurut Tirta Segara, keputuÂsan ini sejalan dengan pernyataÂan BI sebelumnya bahwa ruang pelonggaran kebijakan moneter semakin terbuka dengan terjaganÂya stabilitas makroekonomi, serta mempertimbangkan pula dengan meredanya ketidakpastian pasar keuangan global pasca kenaikan Fed-Fund Rate (FFR).
“Penurunan BI Rate secara teruÂkur diharapkan dapat memperkuat pelonggaran kebijakan makroÂprudensial dan penurunan Giro Wajib Minimum (GWM) yang telah dilakukan sebelumnya,†ujarnya.
Tirta menjelaskan, pelonggaran lebih lanjut akan dilakukan setelah dilakukan asesmen menyeluruh terhadap perekonomian domesÂtik dan global dengan tetap menÂjaga stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan.
BI juga akan terus memperkuat koordinasi dengan Pemerintah dalam pengendalian inflasi, penÂguatan stimulus pertumbuhan, dan reformasi struktural, sehingga mampu menopang pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.
Ketidakpastian di pasar keuanÂgan global mereda setelah kenaikan Fed Fund Rate (FFR), sementara pemulihan ekonomi global diperkiÂrakan masih terbatas.
Kenaikan FFR pada 17 Desember 2015 yang telah diantisipasi pasar serta pernyataan the Fed bahwa normalisasi akan dilakukan secara gradual dan terbatas tidak menimÂbulkan gejolak di pasar keuangan global.
Sementara itu, harga komodiÂtas global masih terus menurun, termasuk harga minyak dunia. Perbaikan ekonomi AS masih tertahan, sejalan dengan masih lemahnya indikator penjualan eceran dan personal expenditure, serta masih terkontraksinya sekÂtor manufaktur.
Pemulihan ekonomi Eropa terus berlanjut didorong oleh perbaikan permintaan domestik, meskipun belum mampu meningkatkan inÂflasi yang masih rendah. Ekonomi Jepang diperkirakan masih lemah seiring dengan konsumsi yang meÂlemah.
Di sisi lain, perekonomian TiongÂkok diperkirakan masih melambat, di tengah berbagai upaya stimulus, baik melalui kebijakan moneter dan fiskal, serta reformasi di sisi penawaran.
Reaksi pasar terhadap perlamÂbatan ekonomi dan konsistensi dalam upaya liberalisasi pasar keuangan di Tiongkok menimbulÂkan tekanan di pasar sahamnya. Ke depan, risiko terkait perlambatan ekonomi Tiongkok dan terus menuÂrunnya harga komoditas global perÂlu dicermati.
Rupiah Menguat
Penurunan BI rate ini memÂberikan dampak langsung terÂhadap pergerakan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS). Rupiah saat ini terÂpantau menguat dan USD langÂsung anjlok.
Berdasarkan data perdagangan Reuters, Kamis (14/1/2016), USD bergerak turun ke level terendahnÂya di Rp 13.810. Padahal, beberapa waktu lalu, USD sempat melesat ke level tertingginya di angka Rp 13.960.
Mata uang Paman Sam tersebut memang terus naik-turun dengan sangat cepat bak roller coaster. Selain faktor dalam negeri, pergerÂakan rupiah juga dipengaruhi fakÂtor eksternal.
Perlambatan ekonomi China dan terus merosotnya harga minyak duÂnia menekan laju rupiah.
Ditambah, belum adanya kepasÂtian dari bank sentral AS The FedÂeral Reserve (the Fed) untuk menaiÂkkan tingkat suku bunganya secara gradual di tahun ini.