Persaingan ekonomi dua raksasa dunia, Amerika Serikat dan Tiongkok, membuat banyak kalanÂgan cemas. Sejumlah negara di Asia Tenggara, termasuk IndoneÂsia sempat panik. Seperti apa sebetulnya dampak dari pertarunÂgan dua gajah itu?
Perubahan yang terjadi terhaÂdap dua raksasa ekonomi dunia, Tiongkok dan Amerika Serikat, memang sempat membuat pasar Asia bergejolak. Mata uang negara-negara Asia, termasuk IndoÂnesia, melemah terhadap dolar Amerika Serikat (USD) satu tahun lebih. Gejolak ekonomi ini berawal dari Amerika Serikat.
Ekonomi Amerika Serikat yang sempat loyo diterpa badai krisis finansial pada 2008, berangsur-angsur pulih. The Federal Reserve atau bank sentral AS kemudian mulai mengembuskan rencana kenaikan suku bunga. Sementara Tiongkok, ekonominya melamÂbat. Bursa saham Tiongkok semÂpat anjlok sampai 50% setelah negara tirai bambu itu memuÂtuskan mendevaluasi mata uang yuan.
Namun ternyata gejolak ekoÂnomi kali ini tidak akan menyeret Asia ke dalam krisis. Demikian pendapat DBS Group Research yang dilansir Rabu (11/11/2015). Dalam risetnya yang bertajuk “Triangulating Asian Angst: the US, China and the 97 Questionâ€, DBS menyebutkan situasi saat ini tidak seburuk seperti yang dibayÂangkan banyak orang. Ekonomi negara-negara di Asia tetap tumÂbuh meski rendah. Indonesia misalnya, masih tumbuh 4,2%
Ekonomi AS memang memÂbaik jika dibandingkan saat beÂrada di tengah pusaran krisis tahun 2008. Tapi secara rata-rata dalam tiga tahun terakhir, pertumbuhannya tidak pernah beranjak dari kisaran 2% (YoY). “Dalam situasi seperti ini hampir tidak mungkin Amerika menaikÂkan suku bunga tinggi secara cepat,†kata Chief Economist DBS, David Carbon seperti dikuÂtip detik.com.
Sedangkan perlambatan ekonomi Tiongkok sebenarnya tidak terjadi tiba-tiba. DBS berÂpendapat, perlambatan sengaja dilakukan untuk menyeimbangÂkan struktur ekonomi Tiongkok dengan meningkatkan peran konÂsumsi dalam negeri sebagai pengÂgerak pertumbuhan.
Namun meski melambat, ekoÂnomi Tiongkok tetap tumbuh di kisaran 6–7%. Dengan pertumbuÂhan ekonomi sebesar ini, TiongÂkok tetap bisa menciptakan ekoÂnomi sebesar Jerman setiap 4,5 tahun.
Di sisi lain fondasi ekonomi Asia saat ini jauh lebih baik dari saat krisis 1997. Khususnya dalam pengelolaan neraca transaksi berÂjalan dan utang luar negeri. DBS berpendapat, pelarian modal dari negara-negara Asia yang terÂjadi saat ini hanya bersifat jangka pendek dan lebih didasarkan keputusan emosional.
Menurut David Carbon, seÂberapa besar pelarian modal dari Asia memang akan dipenÂgaruhi tiga hal: kekuatan AmeriÂka, melemahnya Tiongkok dan apakah kondisi Asia mirip sepÂerti krisis 1997. “Jangan takut, Amerika Serikat tidak sekuat seperti dipercaya banyak orang. Ekonomi Tiongkok tidak lemah seperti dikhawatirkan dan Asia kondisinya lebih baik dibandingÂkan saat krisis 1997,†kata David.
(Alfian Mujani|net)