Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat, dibandingkan beberapa negara di dunia Tingkat keterjangkauan harga rokok di Indonesia terbilang rendah. ArtiÂnya, harga rokok di Indonesia cenderung murah dan mudah diÂjangkau masyarakat.
Kepala Bidang Kepabeanan dan Cukai Badan Kebijakan FisÂkal, Nasruddin Djoko Surjono, menjelaskan bahwa keterjangkauÂan harga rokok tergantung dari pendapatan sebuah negara. “KaÂlau pendapatan tinggi harga renÂdah maka terjangkau,†paparnya dalam diskusi Tembakau dalam Kendali Cukai, Jakarta, Senin (12/10/2015).
China menempati peringkat pertama dengan keterjangkauan harga rokok pada 2014 sekira miÂnus 50 persen. Disusul oleh VietÂnam minus 28 persen dan IndoneÂsia sebesar minus 10 persen.
Sebaliknya, Ukraina menjadi negara yang tingkat keterjangÂkauan masyarakat terhadap roÂkok paling tinggi atau sekira 210 persen. Brasil yang terkenal seÂbagai salah satu produsen rokok juga memiliki keterjangkauan yang tinggi.
Setelah Ukraina, Polandia juga menjual harga rokok dengan nilai tinggi sehingga tingkat keterjangkauannya mencapai 120 persen. Brasil, Pakistan dan Turki 80 persen.
Penaikan Cukai
Aksi pemerintah menaikkan tarif cukai rokok mendapat kriÂtikan dari industri. Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia (Gaprindo) menilai kenaikan tarif cukai rokok bisa semakin menyuÂburkan peredaran rokok ilegal di Tanah Air.
Sekretaris Jenderal Gaprindo Hasan Aoni Aziz menyebutkan berdasarkan Survey Rokok Ilegal Universitas Gadjah Mada (UGM), pada tahun 2014, 11,7 persen dari 344 miliar batang rokok yang beredar di pasaran merupakan rokok ilegal.
“Pada posisi harga melebihi harga keekonomian masyarakat untuk membeli,yang kedua, di tengah perlambatan ekonomi yang pengaruhnya bukan dari Indonesia tapi dari luar negeri, maka ada enam hal yang kondisinya bisa potensial untuk rokok ilegal bisa berkembang di IndoneÂsia,“ katanya.
Faktor pertama adalah banyaknya jumlah penduduk Tanah Air yang mencapai lebih dari 250 juta penduduk. Hal itu menjadiÂkan Indonesia sebagai pasar yang besar. Kedua, tingkat kesejahteraan masyarakat juga cenderung stabil. Selanjutnya, keterampilan membuat rokok sudah tersebar di seluruh penjuru Nusantara. “AkÂses kita terhadap bahan baku juga lebih besar dibandingkan negara lain,†kata Hasan.
 Berikutnya, pengawasan terhadap peredaran barang ilegal juga sulit mengingat InÂdonesia merupakan negara kepulauan. Hal itu juga diperÂparah dengan rasio tenaga pengamanan dan pengawasan barang-barang ilegal, menuÂrut Hasan, tidak ideal dengan jumlah penduduk dan luas wilayah.
“Buat industri rokok, hal ini menjadi tantangan karena kami menjual yang legalnya menjadi dipersaingkan denÂgan barang ilegal. Bukan sekedar negara yang dirugiÂkan tetapi kami industri juga dirugikan,†ujarnya.
Sebagai informasi, pemerÂintah telah menetapkan tarÂget pendapatan cukai hasil tembakau (CHT) dalam RanÂcangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2016 sebesar Rp 142,7 triliun atau naik 2,58 persen dari tarÂget penerimaan cukai rokok dalam APBN-P 2015 sebesar Rp 139,81 triliun.
(OKZ/CNN)