Untitled-11KEJAYAAN Pajajaran yang diakui oleh para ahli Portugis, seperti dituliskan dalam artikel sebelumnya, tak luput dari kepemimpinan Sribaduga Maharaja – Prabu Siliwangi, yang juga disebut Susuhunan. Selama memerintah Pajajaran selama 39 tahun (1482-1521), banyak kebijakan dan keputusan penting yang diterbitkannya. Hal itu tertulis dalam Prasasti Kebantenan (Bekasi) dan Prasasti Batutulis (Bogor).

Oleh : Bang Sem Haesy

PRASASTI Kebantenan berisi 4 (empat) keputusan dituliskan di atas 5 (lima) lembar lempeng tembaga, Hal ini menunjukkan, kala itu di wilayah Pajajaran ter­dapat sumberdaya mineral tem­baga dan emas, yang tersimpan di wilayah Cikotok dan Pongkor.

Dalam catatan Saleh Danasas­mita, Yoseph Iskandar, dan Enoch Atmadibrata, dikemukakan, keputu­san itu meliputi : Penetapan batas lêmah dewasasana (tanah kabuyutan) di Sunda Sêmbawa (Prasasti 1) dan di Gunung Samaya – dan daerah bebas pajak (Prasasti II), penetapan dayeuh Jayagiri dan dayeuh Sunda Sembawa dan keputusan pembebasan pajak (Prasasti 3 dan 4), dan keputu­san tentang lêmah dewasasana di Sunda Sêmbawa. Prasasti 3 dan 4 berupa sasakala (tanda peringatan), sedangkan kepu­tusan lainnya berupa keputu­san langsung.

BACA JUGA :  Bejat, Ayah di Buleleng Perkosa Putri Kandung Berusia 7 Tahun

Prasasti 3 dan 4 secara sp­esifik bicara tentang pembe­basan pajak di wilayah Sunda Sêmbawa yang menjadi ka­wasan perdikan sebagai kabu­paten dan kota (kini Bekasi). Warganya memusatkan perha­tian pada pengkajian tentang nilai-nilai agama dan budaya. Daerah ini, sebelumnya meru­pakan daerah asal Maharaja Tarusbawa, yang diduga per­nah menjadi ibukota Taruman­agara.

Esensi dari peraturan itu adalah pemerintah bertang­gungjawab atas upaya men­dasar terhadap pelestarian nilai agama dan budaya. Ken­dati demikian, pemerintah memberikan peluang kepada para pendeta (pemuka agama dan budaya) untuk hidup se­cara mandiri, dengan men­golah sumberdaya alam di wilayahnya untuk keperluan hidup mereka.

Pembebasan pajak atas daerah ini dimaksudkan, agar para pemuka agama dan bu­daya dapat menjalankan tata kehidupannya secara wajar, dan pemerintah tidak harus memberikan subsidi kepada mereka.

Wilayah perdikan ini diu­rus oleh kelompok wiku yang memusatkan perhatiannya pada agama dan budaya seba­gai landasan nilai untuk men­capai kesejahteraan rakyat dan negara, sekaligus mengurus kabuyutan.

Para wiku tinggal di perkampungan khas yang dis­ebut lemah larangan, kawasan konservasi yang penduduknya disebut sangga. Di wilayah ini juga berdiri ‘lembaga pendidi­kan’ yang disebut binayapanti.

BACA JUGA :  DPRD Kota Bogor Bahas LKPJ Terakhir Bima Arya

Dari sudut pandang kekin­ian, apa yang tertulis dalam Prasasti 3 dan 4 di atas, sesuai dengan kondisi ruang dan wilayahnya, mengisyaratkan perlunya ruang khas bagi pe­nyelenggaraan pendidikan. Di situlah seluruh proses pendidi­kan sebagai center of excelent – sentra keunggulan di pusat­kan. Dengan demikian, maka fungsi ruang tidak bertabrakan satu dengan lainnya.

Fungsi pendidikan, per­mukiman, perdagangan, in­dustri, dan ruang dengan fungsi konservasi terpisah satu dengan lainnya. Tidak sema­ta-mata hanya karena relief alam. Melainkan juga untuk mengatur dan mengelola arus mobilitas manusia. Dengan demikian terjadi komposisi ruang yang satu dengan lain­nya saling menguatkan secara fungsional.

Pola fikir semacam ini, sebenarnya relevan dengan pendekatan planologis, yang memungkinkan terjadi keseim­bangan sumberdaya alam dan sumberdaya manusia berdasar­kan fungsi ruang. Dari realitas demikian, kita garisbawahi, bahwa kejayaan Bogor di masa lampau, juga ditopang kuat oleh konsistensi terhadap pe­nataan ruang yang fungsional.

============================================================
============================================================
============================================================