KEMUNDURAN Pajajaran dan Pakuan, tersebab oleh sikap gurung guÂsuh Ratu Sakti, untuk memulihkan situasi yang ditinggalkan Ratu DewaÂta. Sikap serba terburu-buru. Ia ingin, apa yang dilakukannya mampu menaikkan pamor dirinya, seolah-olah sebagai penyelamat Pajajaran.
Oleh :Â Bang Sem Haesy
SIKAP gurung gusuh dan improvisatorik itu disebabkan oleh terÂlalu banyaknya orang-orang pinter keblinger dan hanya ingin benar sendiri, di sekeÂliling ratu Sakti. Suatu sikap yang cenderung bercermin dalam gelap, cenderung senang ku pupujian, alias pencitraan. Apalagi orang-orang di sekelilingnya beÂserta seluruh kaki tangan, tak punya mengakui realitas, bahÂwa sebenanarnya Ratu Sakti mempunya keterbatasan dalam memimpin dan memerintah.
 Situasi digambarkan dengan kaliÂmat: loba buta nu baruta, naritah deui nyembah berhala. Banyak orang-orang buta yang sangat buta (dan sibuk denÂgan pencitraan diri), dan menjadikan pencitraan itu sebagai berhala baru. Sedikit saja ada yang menyampaikan pandangan lain, alias kritik, dinyatakan sebagai tekanan. Ratu Sakti yang malas berpikir dan tipis pengalaman, itu tak ingin dirinya dan pemerintahan yang dipimpinnya dinyatakan gagal di hadaÂpan khalayak.
Setarikan nafas dengan situasi itu, rakyat dipusingkan oleh sikap dan perilaku buruk: melakukan sesÂuatu aturan yang dibuat oleh mereka yang tidak mengerti aturan itu sendiri. Laju bubuntut salah nu ngatur, panÂarat pabeulit dina cacadan. Misalnya, meneriakkan retorika tentang larangan mendatangkan bahan pokok pangan, meski dari Sumedang dan daerah lain di wilayah Pajajaran sendiri.
Seolah-olah Ratu Sakti di Pakuan ingin menyatakan, ketahanan panÂgan, sukses, tetapi pejabat lain dalam pemerintah justru menyatakan, di tenÂgah masyarakat sumber pangan pokok berkurang.
Sikap gurung gusuh itu, akhirnya membuat Ratu Sakti tampil dengan watak gelapnya: kumaha dewek. Apa yang dia katakan, sekadar untuk memÂbuat rakyat tenang. Dia tidak pernah menyelesaikan masalah.
Celakanya, Ratu Nilkendra, yang menggantikan Ratu Sakti, sekali tiga uang. Bahkan banyak menambah maÂsalah. Dan, selalu berulang-ulang meÂnyatakan, bahwa semua hal yang terjadi di Pakuan, disebabkan oleh persoalan dari luar. Antara lain, penghianatan Portugis, serta perlawanan Banten dan Cirebon.
Bahkan ketika Susuhunan Jati waÂfat dan digantikan Panembahan Ratu Putera Suwarga (Pangeran Emas), dan ketika Banten dipimpin Maulana HasaÂnuddin memisahkan diri dari Cirebon, Ratu Nilakendra masih menyalahkan mereka sebagai sumber utama berkeÂcambahnya banyak masalah di Pakuan. Orang-orang pandai yang menjadi peÂnasehat Ratu Nilakendra, banyak meÂnyembunyikan kondisi dan situasi yang sebenarnya.
Secara simbolis, orang tua dulu menggunakan metafora untuk menjelaskan situasi itu. Yaitu : .. nu ngeÂbonna tukang barohong; nu tanina ngan wungkul jangji; nu palinter loba teuing, ngan pinterna kabalinger. (Yang mengoÂlah kebun tukang bohong, yang bertani juga tukang menebar janji, yang penting banyak sekali, tapi pinter kebelinger)
Metafor itu menggambarkan, merÂeka yang berkuasa para tukang bohong dan para penebar janji, mereka orang-orang pinter yang kebelinger. Untuk menutupi kebohongan itu, mereka siapkan orang-orang pandai untuk biÂcara kepada rakyat di bale-bale (tempat berkumpul rakyat).
Tukas mereka melakukan pemÂbenaran atas apa yang dilakukan oleh Ratu Nilakendra, meskipun keliru. MerÂeka menutupi kebenaran dan maunya benar sendiri. Da pinterna kabalinger, hayang meunang sorangan.