Untitled-15KEMUNDURAN Pajajaran dan Pakuan, tersebab oleh sikap gurung gu­suh Ratu Sakti, untuk memulihkan situasi yang ditinggalkan Ratu Dewa­ta. Sikap serba terburu-buru. Ia ingin, apa yang dilakukannya mampu menaikkan pamor dirinya, seolah-olah sebagai penyelamat Pajajaran.

Oleh : Bang Sem Haesy

SIKAP gurung gusuh dan improvisatorik itu disebabkan oleh ter­lalu banyaknya orang-orang pinter keblinger dan hanya ingin benar sendiri, di seke­liling ratu Sakti. Suatu sikap yang cenderung bercermin dalam gelap, cenderung senang ku pupujian, alias pencitraan. Apalagi orang-orang di sekelilingnya be­serta seluruh kaki tangan, tak punya mengakui realitas, bah­wa sebenanarnya Ratu Sakti mempunya keterbatasan dalam memimpin dan memerintah.

 Situasi digambarkan dengan kali­mat: loba buta nu baruta, naritah deui nyembah berhala. Banyak orang-orang buta yang sangat buta (dan sibuk den­gan pencitraan diri), dan menjadikan pencitraan itu sebagai berhala baru. Sedikit saja ada yang menyampaikan pandangan lain, alias kritik, dinyatakan sebagai tekanan. Ratu Sakti yang malas berpikir dan tipis pengalaman, itu tak ingin dirinya dan pemerintahan yang dipimpinnya dinyatakan gagal di hada­pan khalayak.

BACA JUGA :  Tersambar Petir saat Cari Ikan, Nelayan di Pesisir Barat Tewas

Setarikan nafas dengan situasi itu, rakyat dipusingkan oleh sikap dan perilaku buruk: melakukan ses­uatu aturan yang dibuat oleh mereka yang tidak mengerti aturan itu sendiri. Laju bubuntut salah nu ngatur, pan­arat pabeulit dina cacadan. Misalnya, meneriakkan retorika tentang larangan mendatangkan bahan pokok pangan, meski dari Sumedang dan daerah lain di wilayah Pajajaran sendiri.

Seolah-olah Ratu Sakti di Pakuan ingin menyatakan, ketahanan pan­gan, sukses, tetapi pejabat lain dalam pemerintah justru menyatakan, di ten­gah masyarakat sumber pangan pokok berkurang.

Sikap gurung gusuh itu, akhirnya membuat Ratu Sakti tampil dengan watak gelapnya: kumaha dewek. Apa yang dia katakan, sekadar untuk mem­buat rakyat tenang. Dia tidak pernah menyelesaikan masalah.

Celakanya, Ratu Nilkendra, yang menggantikan Ratu Sakti, sekali tiga uang. Bahkan banyak menambah ma­salah. Dan, selalu berulang-ulang me­nyatakan, bahwa semua hal yang terjadi di Pakuan, disebabkan oleh persoalan dari luar. Antara lain, penghianatan Portugis, serta perlawanan Banten dan Cirebon.

Bahkan ketika Susuhunan Jati wa­fat dan digantikan Panembahan Ratu Putera Suwarga (Pangeran Emas), dan ketika Banten dipimpin Maulana Hasa­nuddin memisahkan diri dari Cirebon, Ratu Nilakendra masih menyalahkan mereka sebagai sumber utama berke­cambahnya banyak masalah di Pakuan. Orang-orang pandai yang menjadi pe­nasehat Ratu Nilakendra, banyak me­nyembunyikan kondisi dan situasi yang sebenarnya.

BACA JUGA :  Bejat, Oknum Guru Diduga Lecehkan Sejumlah Siswi di Tanjab Barat

Secara simbolis, orang tua dulu menggunakan metafora untuk menjelaskan situasi itu. Yaitu : .. nu nge­bonna tukang barohong; nu tanina ngan wungkul jangji; nu palinter loba teuing, ngan pinterna kabalinger. (Yang mengo­lah kebun tukang bohong, yang bertani juga tukang menebar janji, yang penting banyak sekali, tapi pinter kebelinger)

Metafor itu menggambarkan, mer­eka yang berkuasa para tukang bohong dan para penebar janji, mereka orang-orang pinter yang kebelinger. Untuk menutupi kebohongan itu, mereka siapkan orang-orang pandai untuk bi­cara kepada rakyat di bale-bale (tempat berkumpul rakyat).

Tukas mereka melakukan pem­benaran atas apa yang dilakukan oleh Ratu Nilakendra, meskipun keliru. Mer­eka menutupi kebenaran dan maunya benar sendiri. Da pinterna kabalinger, hayang meunang sorangan.

============================================================
============================================================
============================================================