mirzaSetelah menurunkan suku bunga acuan atau BI Rate sebesar 0,25 basis poin (bps) dari 7,50 menjadi 7,25%, Bank Indonesia kembali melihat peluang penurunan bunga lagi.

Oleh : Alfian Mujani
[email protected]

Pekan ini, Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI kem­bali akan digelar untuk memutuskan suku bun­ga, apakah ditahan, diturunkan atau dinaikkan. Deputi Gubernur Senior BI Mirza Adityaswara meni­lai, masih ada ruang untuk pelong­garan kebijakan moneter. Artinya, ada peluang suku bunga untuk kembali diturunkan dari posisi sekarang.

“Bila rupiah stabil, inflasi ter­kendali, maka pelonggaran mon­eter ya sama seperti sebelumnya, masih ada ruang untuk pelong­garan,” terang Mirza saat berbin­cang di tengah-tengah perjalan ke Danau Kelimutu, Ende, Nusa Tenggara Timur (NTT), Minggu (14/2016).

Dari data inflasi, terlihat real­isasi selama 2015 adalah 3,35% atau berada dalam rentang asumsi BI dan pemerintah. Pada Januari 2016, inflasi mencapai 0,51% dan Februari masih terkontrol.

Sementara nilai tukar rupiah bergerak stabil dan dalam tren pen­guatan terhadap dolar Amerika Serikat (USD). Kestabilan ini bisa terganggu bila ada gejolak eksternal, seperti keputusan Bank Sentral AS Federal Reserve (The Fed) atau China yang melakukan depresiasi atas mata uangnya.

“Tapi kayaknya China cukup komit, ekspektasi yuan terkendali dan AS nggak naikin bunga cepat-cepat dan Eropa, Jepang lakukan bunga negatif, sehingga rupiah sta­bil,” ujar Mirza.

BACA JUGA :  Resep Membuat Sambal Teri Cabe Hijau, Sederhana Tapi Bikin Ketagihan

Dalam beberapa waktu tera­khir, banyak sekali suara-suara yang memperdebatkan soal bunga kredit yang masih terlalu tinggi. Dari berbagai lini, sesuai kepent­ingannya. Di sela-sela perdebatan itu, sering muncul kata inflasi, de­flasi hingga pertumbuhan ekonomi. Mirza memberikan penjelasan soal perdebatan tersebut. Kalangan du­nia usaha ingin suku bunga acuan turun, agar bunga kredit bisa lebih rendah. Suku bunga turun, tapi per­bankan masih mikir-mikir dengan berbagai macam pertimbangan.

Inflasi menjadi kebutuhan pada negara berkembang, seperti Indo­nesia. Harga yang naik, berarti per­mintaan masih sangat tinggi dan mendorong produsen menghasilkan barang lebih banyak. Maka, kegiatan perekonomian menjadi tumbuh dan bergairah.

Namun, inflasi menjadi masalah ketika terlalu tinggi atau menyim­pan risiko yang suatu waktu bisa membuat inflasi melonjak. “Inflasi itu perlu tapi jangan terlalu tinggi,” ungkap Mirza.

Sekarang, inflasi Indonesia me­mang sudah menunjukan perbaikan, dengan realisasi 3,35% pada 2015. Akan tetapi, masih dihantui berbagai risiko. Terutama dari sisi pangan. Bila kondisi cuaca memburuk, maka produksi dan distribusi terganggu. Permintaan tinggi dan harga akan melonjak.

“Negara berkembang itu problem­nya kurang barang. Tapi permintaan banyak. Makanya harga naik. Atasi itu ya tambahin barang, distribusi diperbaiki,” terangnya.

Mirza menyebutkan, level aman inflasi adalah 1-3%. Seperti yang terjadi pada negara tetangga, sep­erti Filipina, Thailand, Malaysia, dan Singapura. Level tersebut harus ber­langsung permanen dalam jangka waktu yang panjang. “Kalau kita in­flasi maksimal 3%, dan permanen,” imbuhnya.

BACA JUGA :  Minuman Segar dengan Es Madu Lemon Blewah yang Enak Dinikmati saat Cuaca Panas

Dengan demikian, maka perbank­an dapat memberikan bunga simpa­nan deposito pada rentang 4-5%. Ma­sih lebih tinggi di atas inflasi, namun tidak ada risiko inflasi melonjak dan menggerus nilai dana simpanannya. Bunga kredit bisa diturunkan juga ke level di bawah 10%. “Kalau begitu, berarti pemilik deposito dibayar 5% atau 4% itu bisa happy. Kalau dia ya­kin inflasi tahun depan paling 2%-an juga. Kalau begitu bunga kredit 7-8% sudah pasti,” kata Mirza.

Laju Inflasi

Posisi deflasi pada suatu negara, bisa mengantarkan suku bunga acu­an pada level negatif dan membuat bunga kredit lebih rendah. Akan tetapi, tak ada pertumbuhan ekono­mi yang terjadi. Ini tengah terjadi di negara-negara maju, seperti Jepang.

“Luar negeri problemnya deflasi. Di sana harga susah naik. Kenapa karena permintaan nggak naik-naik, maka harga produknya nggak bisa naik, maka turun. Saat turun, pro­dusen jadinya kurangi produksi. Jadi Indonesia problemnya inflasi. Luar negeri itu deflasi dan resesi,” papar Mirza.

“Jepang mengalami deflasi berta­hun-bertahun. Dikasih bunga nega­tif, nggak naik juga. Banyak dari kita mengira suku bunga problem, tapi ternyata banyak negara yang suku bunga negatif pun ekonominya ng­gak naik. Jadi pemahaman ekonomi kita komprehensif,” pungkasnya.

(detikfinance.com)

============================================================
============================================================
============================================================