ORIENTASI hidup yang utama adalah bahagia. KeÂbahagiaan itu juga yang kini sering kita ungkapkan dalam doá ke hadirat Allah Mahakuasa. Kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat, serta terbebas dari petaka.
Bang Sem Haesy
SANGHYANG Siksakanda Karesian menÂgibaratkan, hidup bahagia itu laksana “pare beurat sangga.†Ibarat padi berat isinya. Dituturkan: “Lamun maka suka rasa urang, kangken pare beurat sangÂga. Boa maka hurip na urang reya. Ya katemu wwit ning suka lawan enak. Salang nu ngupat, ala panyaraman. Aya twah urang ma eureunan.â€
Artinya, bila kita merasa bahagia, ibarat padi berat isi, pasti karena mampu memÂberi kesejahteraan bagi diri sendiri, keluarga, dan orang banyak. KeÂbahagiaan itu terjadi, ketika kita bertemu dengan sumber-sumÂber kesenangan dan kenikmatan. Yakni, tahan celaan dan mampu mengamÂbil hikmah dari setiap nasihat yang diberikan orang. Kebahagiaan lain yang sangat bermakna adalah ketika kita mampu menghampiri sumber kebajikan, mata air keÂsabaran dan kemaafan. Yaitu, orang tua. Karenanya, SanÂghyang Siksakanda Karesian mengingatkan, bila sedang tidak terlalu sibu, luangkan waktu bertemu orang tua (ayah dan ibu). Karena orang tua itu, manusia sejati, yang pada dirinya melekat keutamaan tertinggi. Ibarat kata, ibu bapak itu, dewata yang menjelma di bumi, keramat hidup yang nyata. Padanya terdapat benih kebajikan dan pohon kebenaran.
“Hanteu twah urang ma ungang ambu-bapa. KalinÂgana janma ngara-(n)na. Ya sinangguh paramar/ra/ta wisÂesa, ya kangken dewa mangjanma ngara(n)na. Nya sang puma sarira, nya wwit ning hayu, ya puhun ning bener.,†begitu tersurat dalam Sanghyang Siksakanda Karesian.
Dalam konteks budaya dan akhlak, juga agama, orang tua, terutama ibu laksana sumberdaya hidup yang luar biasa. Ibu adalah samodera kemaafan, kemarahan ibu dapat menjelma menjadi kemarahan Tuhan. Begitu sebaÂliknya, restu Ibu bisa mempercepat hadirnya restu Ilahi.
Apa sungguh yang kita peroleh dari orang tua (khasnÂya ibu)?
Hal yang paling utama adalah pelengkap kehidupan yang tak akan diperoleh dari siapapun dan darimana pun. Yaitu, kiat konkret agar hidup kita tidak mudah gaÂgal, tidak mudah lantak oleh ujian dan cobaan. SanghyÂang Siksakanda Karesian, secara eksplisit menyebut:
“Ini pangimbuh ning twah pakeun mo tiwas kala manghurip, pa-keun wastu di imah di maneh. Emet, imÂeut. rajeun, leukcen, paka predana, morogol-rogol, puÂrusa ning sa, widagda, hapitan. kara wa-leya, cangcingan, langsitan. Jaga ‘rang ngajadikeun gaga-sawh, tihap ulah sangsara. Jaga rang nyieun kebo/a/n, tihap mulah ngu(n)deur ka huma beet sakalih, ka huma lega sakalih. Hamo ma beunang urang laku sadu. Cocooan ulah tihap meuli mulah tihap nukeur. Pakarang ulah tihap nginjeum.â€
Artinya, dari orang tua, khasnya ibu kita memperoleh pelengkap perilaku agar tidak gagal dalam hidup, agar rumah tangga kita penuh berkah. Yaitu: cermat, teliti, tekun, cukup sandang, bersemangat, berkepribadian, berjiwa ikhlas laksana pahlawan, bijaksana, berani berÂkorban, dermawan, cekatan, dan terampil. Kesemua itu, memberi makna atas hidup kita sesungguhnya.
Isyarat di atas juga menjelaskan kepada kita, bahwa harta dan kuasa hanyalah sarana minimalis: kita memÂbuat sawah agar tidak sengsara, kita membuat kebun agar tidak mengambil buah-buahan dan sayur mayu keÂbutuhan hidup dari ladang orang lain – karena kita tak bisa memintanya. Kita memelihara ternak, pun sekadar tidak membeli atau barter. Dan memiliki perkakas sekaÂdar tidak meminjam kepada orang lain.
Alhasil orang tua (terutama yang masih hidup) perlu harus kita sambangi, karena sukacitanya akan memercikÂkan sukacita bagi kehidupan kita. Dan yang telah tiada, wajib kita sambangi dengan do’a. Kemuliaan akhlak ini yang dulu ditinggalkan di Pakuan.