Untitled-6Çakakala Arya Bhima berupa Prasasti Batutulis, itu adalah pertanda sikap santun dan bakti seorang anak kepada orang-tuanya. Dalam catatan Wangsakerta, çakakala itu dibuat sebagai penyempurna kiprah Prabu Surawisesa selama 14 tahun memimpin Pajajaran.

Oleh : Bang Sem Haesy

KARENA kiprah internasional sedemikian jauh, dan membuat Sunda Kalapa menjadi pelabu­han dan kota internasional yang banyak dikunjungi orang-orang Portugis, Kesultanan Cirebon, dan Demak gerah. Mereka me­nyerbu Sunda Kalapa dan men­guasainya. Mereka memerangi dan mengusir para saudagar Portugis yang sudah mulai men­datangkan para ahli pembuat benteng. Tapi pasukan Demak dan Cirebon tak mampu men­jangkau Pakuan.

Situasi kala itu menginspi­rasi Prabu Surawisesa membuat çakakala untuk menegaskan, seluruh pen­capaian pembangunan selama ini merupa­kan karya besar Prabu Siliwangi. Dengan çakakala itu, tak akan ada siapapun yang bisa mengklaim pencapaian itu. Di sisi lain, hal itu juga dipandang sebagai penanda, Prabu Surawisesa mengubah orientasi kepemimpinannya dari outward looking menjadi inward looking.

Dalam Carita Parahyangan ditulis, “Ti inyana pulang ka Pakwan deui. Henteu nu nahunan deui, panteg hanca na bhawana, lawasna ratu opatwëlas taun.” Dia pulang kembali ke Pakuan (berkonsentrasi men­gurusi persoalan dalam negeri). Tak sam­pai beberapa tahun, usailah tugasnya di dunia. Dia menjadi raja selama 14 tahun. Prabu Surawisesa wafat tahun 1535. Dua tahun setelah membuat çakakala, dan di­makamkan di Padaren. Prabu Surawisesa, seperti ayahnya, Prabu Siliwangi, merupa­kan sosok pemimpin yang kisah dan kiprah dirinya banyak ditulis para pujangga.

BACA JUGA :  Luwu Timur Diguncang Gempa Bumi Terkini M 4,1, Berpusat di Darat

Para pujangga menulis namanya dengan beragam julukan. Yang paling populer ada­lah julukan dirinya, Guru Gantangan yang menghiasi Babad Pajajaran dengan format penulisan panji. Dia juga disebut sebagai Prabu Anom atau Arya Bhima. Pandangan outward looking yang dimilikinya, mem­buat dia begitu dikenal, dan dicatat sebagai raja pertama dari Nusantara yang bertemu langsung dan melakukan diplomasi dagang dengan para pemimpin Portugis di Asia Tenggara.

Beliau juga sebagai raja pertama Nusan­tara yang membuat gentlement agreement dengan para wakil pemimpin Eropa itu di Asia Tenggara. Dari lakon Mundinglaya Di­kusuma, misalnya, tergambar bagaimana dia memainkan peran diplomasi yang be­lum pernah dilakukan oleh para raja sebe­lumnya. Lakon ini berkisah tentang per­annya sejak muda sebagai Duta Pajajaran utusan Prabu Siliwangi untuk melakukan pembicaraan internasional.

BACA JUGA :  Menu Makan Siang yang Sederhana dengan Telur Puyuh Balado Bumbunya Meresap

Dari salah satu catatan yang tersimpan di Cirebon, Prabu Surawisesa dengan pe­sona personanya berhasil memikat puteri cantik Dewi Asri (Kiranawati) – puteri raja Tanjung Barat (kini hanya kecamatan di Ja­karta Selatan). Dengan pesona persona dan aksi kepemimpinannya, Prabu Surawisesa dan Kiranawati juga berhasil menyatukan kawasan otonomi Muara Beres di tepi Cili­wung dan Karadenan (kini di wilayah Kabu­paten Bogor) menyerahkan hak otonominya kepada Pakuan. Lalu dijadikannya sebagai sentra produksi bambu. Perkawinan Prabu Surawisesa dengan Kiranawati telah ber­hasil menghimpun yang terserak, memper­temukan kembali nasab (garis keturunan) Niskala Wastu Kencana dengan Munding Kawati dan Linggabuana, yang memerintah pada awal abad 14 (1311-1333). Sesuatu yang terpisah selama 6 generasi, berhasil diper­temukan kembali.

Sekian masa kemudian, kisah itu ditu­liskan dengan indah dalam syair: nu jauh urang deukeutkeun, geus deukeut urang la­yeutkeuen, geus layeut urang paheutkeun, geus paheut silih wangikeun. Yang jauh didekatkan, yang dekat dikaribkan, sesu­dah karib mengikat komitmen: saling me­muliakan.

============================================================
============================================================
============================================================