KFJS – KAHMI FOREVER JALAN SEHAT (KFJS) hari ini (Sabtu, 6 Februari 2016) menyelenggarakan jalan seÂhat 500 di Kebun Raya BoÂgor. Acara ini dihadiri Bang Akbar Tandjung, Menteri Agraria dan Tata Ruang Ferry Mursidan Baldan, Rektor, beberapa guru beÂsar, Anggota DPR, Direktur Utama BPJS Kesehatan, DiÂreksi dan Komisaris BUMN, Anggota BPK RI, Bupati Buton, wartawan senior, budayawan, teknologi.
Oleh : Bang Sem Haesy
BEBERAPA waktu lalu, saya ngoÂbrol dengan sejumlah panitia, ihwal Bogor Hejo – Rakyat Ngejo. Suatu program yang kudu mendaÂpat perhatian, dan boleh dikemÂbangkan di seluruh Indonesia. Program penghijauan (termasÂuk reforestasi) untuk mengemÂbalikan alam, seperti keadaanÂnya semula jadi.
Saya kemukakan sejumÂlah filosofi Sunda yang meÂlatari program ini, termasuk bagian-bagian Carita ParahiÂyangan yang bercerita tentang kepedulian Prabu Siliwangi dan Prabu Surwisesa membanÂgun Pakuan (Bogor) dan PajajaÂran, menjadi model governansi pemerintahan yang menarik di abad 15 – 16. Model pembanÂgunan berbasis sumberdaya alam, yang sekaligus mampu menempat manusia sebagai modal insan utama.
Karena sebagian besar paniÂtia warga Jakarta, meskipun berasal dari seluruh Indonesia, kepada mereka saya kemukaÂkan, Bogor Hejo – Rakyat Ngejo, sekaligus sebagai strategi untuk mengamankan Ibukota Negara dari ancaman bencana musiÂman. Khasnya banjir. Karena banjir, tidak hanya melantakkan permukiman atau menggenangi ibukota yang kian padat dan terlalu lama salah urus manajeÂmen tata ruangnya.
Banjir membawa serta peÂtaka berupa penyakit dalam siklus tahunan. Mulai dari diare, muntaber, demam berdarah dengue (DBD), dan aneka penÂyakit lainnya, yang berdampak besar pada biaya perawatan kesehatan sangat besar. Dan, bila terbiarkan, tentu tak akan sanggup ditanggung oleh APBN (Anggaran Pendapatan Belanja Negara) ataupun iuran peserta BPJS Kesehatan.
Pasca masa surut kejayaan Pajajaran dan Pakuan, yang ditinggalkan Ratu Nilakendra, Suryakancana mengambil iniÂsiatif dari Kaduhejo, mengangÂgit kembali ajaran dan aturan hidup yang berlaku di masa Prabu Siliwangi. Antara lain menerapkan prinsip – prinsip nilai dalam Sanghyang ÇiksaÂkandha ing Karesian.
Pada jeroan filosofi Sunda dari Sanghyang Çiksakandha ing Karesian, jelas tertampak, bagaimana aksi penghijauan – khasnya reforestasi hujan huÂtan tropis kita – berlaku cara menyejahterakan rakyat.
“Sangkilang di lamba, trena taru lata galuma, hejo lembok tumuwuh sarba pala wowohan, dadi na hujan, landÂung tilu taun, tumuwuh daek, maka hurip na urang reya.†Maknanya: Inilah (cara) kita menyejahterakan kehidupan. (Mengembalikan fungsi) SeÂluruh penyangga hidup: reÂrumputan, pepohonan, (ada pula yang) merambat. Semak, hijau subur, menumbuhkan segala ragam buah-buahan, (mengondisikan) banyak huÂjan, pepohonan tinggi karena tumbuh subur, (dan akhirnya) memberi kehidupan orang banyak.
Kini, ratusan atau ribuan orang boleh jadi hanya bisa menikmati hijau segar dan sehatnya Kebun Raya Bogor, yang berada di bawah pengeloÂlaan LIPI (Lembaga Ilmu PengÂetahuan Indonesia). KemuÂdian, hutan penelitian Institut Pertanian Bogor. Kelak, bila seÂluruh penikmat kesegaran dan sehatnya wilayah hijau Bogor, ikut berkontribusi melakukan penghijauan Bogor, yang akan mereka nikmati lebih luas lagi.
Karena, bila Bogor terhiÂjaukan kembali dan rakyatnya sejahtera, maka warga Jakarta, Tangerang, dan Bekasi yang dilalui oleh Ciliwung dan CisaÂdane, serta beberapa anak sungainya, akan terhindar dari petaka banjir. Dan kehijauan Bogor, akan memberi kontriÂbusi sebagai ruang katasis keÂhidupan sosial.