Untitled-7PEMERINTAH Kabupaten Bogor mulai was-was dengan penilaian Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jawa Barat. Pasalnya Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) Yang digagas Badan Usama Milik Daerah (BUMD) PT Prayoga Pertambangan dan Energi (PPE), bisa membahayakan lingkungan.

RISHAD NOVIANSYAH
[email protected]

Selaku pemegang saham mayoritas, Adang Suptandar mengingatkan PPE untuk lebih matang dan hati-hati dalam melancarkan renca­na bisnisnya.

Sekretaris Daerah (Sekda) Kabu­paten Bogor itu tak ingin rencana bisnis itu mengorbankan masyarakat luas demi keuntungan.

“Bukan dikaji ulang. Tapi harus dikaji secara matang. Jangan sam­pai merugikan atau membahayakan masyarakat,” kata Adang kepada Bo­gor Today, Minggu (21/2/2016).

Adang pun tak ingin investasi Rp 1,7 triliun untuk membangun pem­bangkit itu menjadi semua hanya karena kurang matangnya kajian yang dilakukan.

Direktur Utama (Dirut) PT PPE, Radjab Tampubolon mengaku mem­bangun PLTSa di sekitar Tempat Pem­buangan Akhir Sampah (TPAS) Galuga, Desa Galuga, Kecamatan Cibungbu­lang. Diharapkan tahun ini proses pem­bangunannya bisa berjalan.

Menurutnya, PPE secara mara­thon menyelesaikan studi kelaya­kan, kemudian proses perizinan ser­ta Detail Engineering Design (DED). Dengan beroperasinya PLTSa, kata dia, maka persoalan limbah sampah di TPA Galuga, Cibungbulang akan terselesaikan.

BACA JUGA :  Warga Desa Cemplang Bogor Diteror Maling, Satu Bulan 5 Kali Aksi Pencurian

“Nanti semua sampah menjadi bahan bakar PLTSa. Limbah abunya pun dijadikan bahan baku pembuatan ba­tako. Hasil dari emisi asap pembakarannya juga rendah, karena sudah diantisipasi dengan teknologi yang ada,” kata Radjab.

Menurutnya, PLT­Sa akan dikelola oleh Badan Usaha Swasta Penanaman Modal Asing (PMA) dan PT PPE yang memiliki sa­ham di dalamnya.

“PT PPE, Pemer­intah Kabupaten dan Kota Bogor memiliki saham di badan usaha swasta ini. Nantinya, masyarakat sekitar akan dilibatkan seba­gai tenaga kerja, serta untuk membangun PLTSa. Dalam proses pembangunan­nya, telah menghabiskan dana Rp 1,7 triliun,” ujarnya.

Sebelumnya, Divisi Advokasi dan Kampanye pada Walhi Jabar, Wahyu Widy mengungkapkan, teknologi pengelolaan sampah yang digagas PPE bisa membahayakan warga Bo­gor, khususnya sekitar Desa Galuga, Kecamatan Cibungbulang.

Selain itu, menurut dia, penera­pannya pun berseberangan dengan aturan serta komitmen pemerintah untuk mengurasi gas rumah kaca.

Widy pun meminta Pemkab Bogor mengkaji ulang penerapan teknologi yang menurutnya berten­tangan dengan hasil Konvensi Stock­holm Tentang Bahan Pencemaran Organik Persisten.

“Itu akan menghasilkan dioksin dan furan yang sangat berbahaya bagi kesehatan dan harus ditekan produksinya. Ini juga bertentangan dengan UU Nomor 18 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Sampah. Bogor kan juga dikelilingin pegunungan dan padat penduduk,” katanya saat dihubungi, Kamis (18/2/2016).

BACA JUGA :  RSUD Leuwiliang Hadirkan Dokter Spesialis di Laboratorium Patologi Anatomik

Secara otomatis, kata dia, pem­bakaran sampah secara masif akan memperparah warga yang telah ter­dampak Tempat Pembuangan Akhir Sampah (TPAS) Galuga. Saking ber­bahanya racun PLTSa, dioksin juga bisa terpapar dari hewan yang terk­ena cemaran udara lalu dikonsumsi.

Secara otomatis, pembakaran sampah secara masif akan memper­parah warga yang sudah terdampak oleh TPA di Galuga.

“PLTSa hanya mengubah sampah jadi abu. Tapi tidak meng­hilangkan racunnya. Bahkan, kandungan racun masih bisa ditemukan meski abu itu telah direproduksi menjadi batu bata,” tukas Widy.

Walhi menyarankan, Pemkab Bogor meninjau ulang aspek ope­rasional, kelembagaan, pembiayaan, peran serta masyarakat serta regu­lasi dalam master plan pengelolaan sampah. Ia khawatir, pelaksanaan PLTSa tanpa master plan, akan terja­di ketidakjelasan dalam penanganan dampaknya.

Widy menggambarkan, pengap­likasian PLTSa di negara maju seperti Jerman dan Jepang telah meninggal metode ini. Menurutnya, pemerintah disana justru membatasi produksi dan konsumsi sampah dari hulu.

“Keuntungan mengelola sampah sangat kecil ketimbang dampak yang harus dipikirkan pemerintah,” ka­tanya. (*)

============================================================
============================================================
============================================================