PEMERINTAH Kabupaten Bogor mulai was-was dengan penilaian Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jawa Barat. Pasalnya Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) Yang digagas Badan Usama Milik Daerah (BUMD) PT Prayoga Pertambangan dan Energi (PPE), bisa membahayakan lingkungan.
RISHAD NOVIANSYAH
[email protected]
Selaku pemegang saham mayoritas, Adang Suptandar mengingatkan PPE untuk lebih matang dan hati-hati dalam melancarkan rencaÂna bisnisnya.
Sekretaris Daerah (Sekda) KabuÂpaten Bogor itu tak ingin rencana bisnis itu mengorbankan masyarakat luas demi keuntungan.
“Bukan dikaji ulang. Tapi harus dikaji secara matang. Jangan samÂpai merugikan atau membahayakan masyarakat,†kata Adang kepada BoÂgor Today, Minggu (21/2/2016).
Adang pun tak ingin investasi Rp 1,7 triliun untuk membangun pemÂbangkit itu menjadi semua hanya karena kurang matangnya kajian yang dilakukan.
Direktur Utama (Dirut) PT PPE, Radjab Tampubolon mengaku memÂbangun PLTSa di sekitar Tempat PemÂbuangan Akhir Sampah (TPAS) Galuga, Desa Galuga, Kecamatan CibungbuÂlang. Diharapkan tahun ini proses pemÂbangunannya bisa berjalan.
Menurutnya, PPE secara maraÂthon menyelesaikan studi kelayaÂkan, kemudian proses perizinan serÂta Detail Engineering Design (DED). Dengan beroperasinya PLTSa, kata dia, maka persoalan limbah sampah di TPA Galuga, Cibungbulang akan terselesaikan.
“Nanti semua sampah menjadi bahan bakar PLTSa. Limbah abunya pun dijadikan bahan baku pembuatan baÂtako. Hasil dari emisi asap pembakarannya juga rendah, karena sudah diantisipasi dengan teknologi yang ada,†kata Radjab.
Menurutnya, PLTÂSa akan dikelola oleh Badan Usaha Swasta Penanaman Modal Asing (PMA) dan PT PPE yang memiliki saÂham di dalamnya.
“PT PPE, PemerÂintah Kabupaten dan Kota Bogor memiliki saham di badan usaha swasta ini. Nantinya, masyarakat sekitar akan dilibatkan sebaÂgai tenaga kerja, serta untuk membangun PLTSa. Dalam proses pembangunanÂnya, telah menghabiskan dana Rp 1,7 triliun,†ujarnya.
Sebelumnya, Divisi Advokasi dan Kampanye pada Walhi Jabar, Wahyu Widy mengungkapkan, teknologi pengelolaan sampah yang digagas PPE bisa membahayakan warga BoÂgor, khususnya sekitar Desa Galuga, Kecamatan Cibungbulang.
Selain itu, menurut dia, peneraÂpannya pun berseberangan dengan aturan serta komitmen pemerintah untuk mengurasi gas rumah kaca.
Widy pun meminta Pemkab Bogor mengkaji ulang penerapan teknologi yang menurutnya bertenÂtangan dengan hasil Konvensi StockÂholm Tentang Bahan Pencemaran Organik Persisten.
“Itu akan menghasilkan dioksin dan furan yang sangat berbahaya bagi kesehatan dan harus ditekan produksinya. Ini juga bertentangan dengan UU Nomor 18 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Sampah. Bogor kan juga dikelilingin pegunungan dan padat penduduk,†katanya saat dihubungi, Kamis (18/2/2016).
Secara otomatis, kata dia, pemÂbakaran sampah secara masif akan memperparah warga yang telah terÂdampak Tempat Pembuangan Akhir Sampah (TPAS) Galuga. Saking berÂbahanya racun PLTSa, dioksin juga bisa terpapar dari hewan yang terkÂena cemaran udara lalu dikonsumsi.
Secara otomatis, pembakaran sampah secara masif akan memperÂparah warga yang sudah terdampak oleh TPA di Galuga.
“PLTSa hanya mengubah sampah jadi abu. Tapi tidak mengÂhilangkan racunnya. Bahkan, kandungan racun masih bisa ditemukan meski abu itu telah direproduksi menjadi batu bata,†tukas Widy.
Walhi menyarankan, Pemkab Bogor meninjau ulang aspek opeÂrasional, kelembagaan, pembiayaan, peran serta masyarakat serta reguÂlasi dalam master plan pengelolaan sampah. Ia khawatir, pelaksanaan PLTSa tanpa master plan, akan terjaÂdi ketidakjelasan dalam penanganan dampaknya.
Widy menggambarkan, pengapÂlikasian PLTSa di negara maju seperti Jerman dan Jepang telah meninggal metode ini. Menurutnya, pemerintah disana justru membatasi produksi dan konsumsi sampah dari hulu.
“Keuntungan mengelola sampah sangat kecil ketimbang dampak yang harus dipikirkan pemerintah,†kaÂtanya. (*)