JAKARTA, TODAY — Komisi PemberÂantasan Korupsi (KPK) menyita uang ratusan ribu dolar Amerika Serikat saat menggeledah rumah Sekjen Mahkamah Agung (MA) Nurhadi.
Lalu dari mana asal uang itu dan apa kaitannya dengan kasus suap pengajuan perkara peninjauÂan kembali (PK)? “Itu ada kaitan dengan situasi di lapangan,” kata Wakil Ketua KPK, Saut SitumorÂang saat ditanya soal hal itu, Jumat (22/4/2016).
Saut belum mau membuka sedikit pun terkait hasil dari penggeledaÂhan di rumah dan kantor Nurhadi. Wakil Ketua KPK itu juga masih enggan memberi penjelasan soal kasus yang tengah ditangani. “KaÂlau saya bilang kita jangan spesiÂfik di kasus itu masih didalami. Kalian hanya menangkap sinyalÂnya. Kami sudah mulai mencekal artinya apa, kasihan dong teman-teman lagi kerja. Nggak usahlah spesifik ke perusaÂhaannya atau kasusnya ntar gue dipuÂkulin di dalam,” tutur Saut.
Soal perusahaan yang berperkara dan menjadi asal muasal uang suap, Saut juga belum mau menjelaskan. NaÂmun, dia menegaskan, sebuah perusaÂhaan besar berada di balik kasus suap yang melibatkan panitera PN Jakpus Edy Nasution itu.
“Saya tidak mau menyebut itu dulu, nanti kamu nanya perusahaannya. Saya nggak mau menyebut dulu deh, pokoknya ada company yang bermaÂsalah secara perdata kemudian mau diatur-atur, itu intinya,” tegas Saut.
KPK telah menggeledah rumah dan ruang kerja Sekjen Mahkamah Agung (MA) Nurhadi terkait kasus suap paniÂtera PN Jakpus dan menyita uang ratuÂsan ribu dolar Amerika. Penggeledahan di rumah mewah Nurhadi yang terletak di di Jalan Hang Lengkir V, No 2-6 RT 07 RW 06, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan itu dilakukan selang beberapa jam setelah KPK menangkap Edy yang tengah menerima uang suap untuk pengurusan perkara PK perdata.
Nurhadi saat ini sudah dalam staÂtus cegah dan dipastikan akan segera diperiksa. Ketua KPK Agus Rahardjo menyebut, ada kaitan antara Nurhadi dengan kasus suap panitera PN Jakpus. Wartawan sudah mencoba menemui Nurhadi untuk meminta klarifikasi, namun Sekjen MA itu tak bisa ditemui baik di kantor maupun di rumahnya.
Nama PT Paramount Enterprise diduga terlibat dengan kasus suap PaÂnitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus), Edy Nasution untuk menÂgurus perkara di tingkat PK. Menurut Jubir Mahkamah Agung (MA), PT ParaÂmount memang ada perkara di pengaÂdilan tetapi sudah dalam tahap kasasi.
“Kalau Paramount ada (sidangnya). Bahkan ada dua perkara yang sudah diputus tahun 2010 dan 2011 dan itu suÂdah selesai. Perkaranya itu perbuatan melawan hukum. Biasa masalah tanah, rumah, dan biasalah perbuatan lain. Perdata lingkupnya wanprestasi dan perbuatan melwan hukum. Dua kasus ini mempunyai kekuatan hukum tetap, dia sudah putusan kasasi,” ujar Jubir MA, Hakim Agung Suhadi di Gedung MA, Jl Medan Merdeka Utara, Jakarta, Jumat (22/4/2016).
Saat ditanya apakah mengenai deÂtail kasus PT Paramount tersebut, SuÂhadi tak bisa memberikan keterangan. Menurutnya, terlalu dini mengaitkan kasus-kasus yang melibatkan PT ParaÂmount terkait kasus yang menimpa Edy Nasution.
“Sampai sekarang kita belum tahu kasusnya kasus apa. Bagaimana kita menelusurinya? Kita harus cari tahu infonya itu masuk perkara pidana, perÂdata atau TUN (Tata Usaha Negara),” ujarnya.
MA juga berjanji akan terus menÂgetatkan pengawasan bagi jajarannya baik yang hakim atau pun non hakim. “Kita berusaha melakukan pembinaan, pengawasan dan lain-lain. Kalau pribaÂdi melakukan di luar kantor, itu di luar kendali kita. Ini murni sikap pribadi yang bersangkutan,” ujar Suhadi.
Nama PT Paramount pertama kali muncul ketika Ketua KPK, Agus RahardÂjo, menyebutkan pihaknya sudah mengÂgeledah kantor PT Paramount EnterÂprise International di Gading Serpong Boulevard. ” Tim KPK telah melakukan penggeledahan di 4 lokasi,” kata Ketua KPK Agus Rahardjo, kemarin.
4 Lokasi itu adalah: 1. Kantor PT Paramount di Gading Serpong, TangÂsel; 2. Kantor PN Jakpus; 3. Rumah Sekretaris MA Nurhadi di Jl Hang Lekir, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan; 4. RuÂang kerja Nurhadi di Gedung MA.
KPK juga telah menangkap KasuÂbdit Mahkamah Agung (MA) Andri Tristianto Sutrisna yang diduga terlibat dalam tindak pidana korupsi. Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) mengatakan, sebagai pertahanan terakhir masalah hukum, MA harus bersih.
“Ya memang pasti MA sebagai perÂtahanan terakhir daripada hukum kita itu harus bersih. Karena itu namanya ‘agung’ kan. Jadi kalau tidak bersih tenÂtu tidak ‘agung’. Jadi kita harus seperti itu,” ujar JK di Istana Wakil Presiden, Jl Medan Merdeka Selatan, Jakarta Pusat, Jumat (22/4/2016).
JK menegaskan, lembaga MA haÂrus betul-betul diyakinkan sebagai lembaga yang bersih dan adil. Dia juga menegaskan, hukuman untuk hakim yang bersalah, terlebih ditangkap KPK karena dugaan korupsi, maka harus lebih berat daripada yang lain.
“Harus betul-betul diyakinkan bahÂwa lembaga itu lembaga MA peradilan yang bersih dan adil, gitu kan. Jadi kaÂlau ada masalah-masalah ya sama denÂgan MK, hukuman untuk hakim yang berbuat salah lebih tinggi daripada yang lainnya. “Karena itu Akil (Akil Mochtar mantan Ketua MK-red) seuÂmur hidup, karena peristiwa itu. Sama juga di MA, kalau dia berbuat itu pasti hukumannya akan lebih tinggi dibandÂing, karna dia justru penjaga terakhir daripada hukum itu. Tetapi itu masalah KPK lah. Kita tidak mencampuri prosÂesnya itu. Tapi hanya mengharapkan semuanya secara baiklah,” jelas JK.
(Yuska Apitya Aji)