20140923_103142_seren-taunSANGHYANG Siksakanda ing Karesian, juga mengisyaratkan kita untuk memahami kulit sebagai indria yang kudu dipelihara dengan baik.

Bang Sem Haesy

SECARA harafiah, disebutkan: Kulit ulah dipake gulang-gasehan, ku panas ku tiris, kenana dora bancana, sangkan nemu mala na lunas papa naraka; hengan la­munna kapahayu ma sinengguh utama bijilna ti kulit. (Kulit jangan digelisahkan karena panas atau­pun dingin sebab menjadi pintu bencana, penyebab kita menda­pat celaka di dasar kenistaan ner­aka; tetapi kalau kulit terpelihara, kita akan mendapat keutamaan yang berasal dari kulit.)

Kulit merupakan alat perasa, sekaligus lapisan terluar tubuh manusia yang mempunyai ban­yak fungsi, baik secara harafiah maupun maknawi. Pemeliharaan kulit menjadi sesuatu yang pent­ing dalam kehidupan orang Sunda, di Pakuan. Inilah konon, yang dulu membuat pesona per­sona lelaki dan perempuan Pa­kuan terkenal cantik dan elok.

Tapi, makna di balik “Ku­lit ulah dipake gulang-gasehan, ku panas ku tiris,”terkandung makna yang mendalam. Antara lain, terkait dengan upaya men­ciptakan lingkungan yang sehat. Antara lain dengan memelihara alam yang mampu memberikan nilai tambah atas cuaca dan iklim. Aksi pemeliharaan ling­kungan hijau dapat dipahami dalam konteks memelihara kes­ehatan, yang tercermin melalui kualitas kulit orang Sunda di Pa­kuan.

BACA JUGA :  Cek Lokasi SIM Keliling Kota Bogor, Senin 22 April 2024

Setarikan nafas dengan itu pula, sejumlah produk unggulan hasilbumi dari Pakuan masa itu, kelak di kemudian hari, terbukti sebagai aneka tetumbuhan yang bermanfaat langsung dalam pemeliharaan kulit. Misalnya: bengkuang, sirih, bayam, broko­li, melati, serta jenis tetumbuhan perdu yang hidup di bawah kan­opi hutan samaya, yang adalah hutan hujan tropis.

Dalam keseluruhan konteks pembangunan lingkungan hidup (alam fisik, budaya, dan adat is­tiadat) pemeliharaan kulit men­jadi begitu sangat penting. Hutan yang terpelihara dengan baik, membuat serapan air hujan yang menimbulkan mata air sum­ber salsabil, yang kesejukannya memberikan kelembaban terten­tu pada kulit, lantas ekspresinya tertampak pada kemolekan atau kecantikan.

Demikian juga halnya den­gan udara bersih yang dihasilkan oleh hutan yang tak tercemari memberikan pengaruh tertentu terhadap kondisi kulit manusia yang hidup di dalam lingkungan itu. Lingkungan yang terpelihara dengan baik, di masa itu, mem­buat manusia Sunda di Pakuan, dikenal dengan julukan awet jaya awet ngora, selalu tampak awet muda. Selain menjadi penam­pang pesona, kulit juga diamsal­kan laksana pelindung raga.

BACA JUGA :  Jadwal SIM Keliling, Selasa 23 April 2024 di Kota Bogor

Lingkungan alam yang bu­ruk dan tercemari, mudah mem­berikan pengaruh buruk terha­dap kesehatan, hal itu tertampak pada kulit manusia. Adalah re­alitas yang tak terpungkiri, kita dapat mengenali orang dan asal muasalnya, termasuk di mana dia hidup, dari kulitnya, termas­uk warna kulit.

Dalam beberapa dokumen terkait Pajajaran, warna ku­lit menjadi isyarat terjadinya perubahan dalam masyarakat dengan beragam pertandanya. Misalnya bule (kulit putih) atau kulit kuning, dan kulit legam. Secara maknawi, kulit juga men­jadi siloka untuk menjelaskan bagaimana pasang surut terjadi.

Pada acara pernikahan adat Sunda, ketika mempelai perem­puan hendak dikerik – sebelum upacara Ngeuyeuk Sereuh –, di­bacakan jangjawokan: Peso putih ninggang kana kulit putih / Cep tiis taya rasana / Mangka mum­pung mangka melung / Maka eunteup kana sieup / Mangka meleng ka awaking, ngeuyeuk seureuh.

============================================================
============================================================
============================================================