ZURICH, Today – FIFA kali ini tersandung kasus dugaan suap pemilihan tuan rumah Piala Dunia 2018 dan 2022. Induk organisasi sepakbola internasional itu diduga menerima suap sebesar Rp 1,32 Triliun.
Sorotan terbesar datang ke Qatar mengingat negara tersebut dianggap beÂlum pantas menggelar Piala Dunia lantaran iklim yang terlalu panas, tidak puÂnya sejarah besar di sepakbola dunia dan dituding menjadi salah satu negara yang masih melangar hak asasi manusia (HAM).
 Tudingan korupsi sudah bertahun-tahun mengarah ke FIFA. Otoritas sepakbola dunia itu dikenal tidak transparan dalam banyak hal, yang membuatnya berulang kali dapat sorotan dari Transparency International.
Beberapa media Inggris juga menyebut kalau Mohammed bin Hammam, yang menÂjadi tim sukses Qatar, menawarkan uang 1,5 juta dolar Amerika Serikat (AS) untuk beÂberapa perwakilan Afrika untuk memberikan suaranya pada mereka.
Internal FIFA sudah melakukan penyeliÂdikan terhadap tudingan tersebut. Namun hasilnya tidak pernah diungkapkan secara utuh, dan sejauh ini cuma kesimpulannya yang publikasikan. Soal transparansi, FIFA selama ini memang dikenal punya nilai sanÂgat buruk.
NYTimes menyebut kalau besarnya gaji para eksekutif FIFA bahkan tidak pernah dipublikasikan, juga alokasi dana yang diÂgunakan dalam internal organisasi. Padahal sejak 2011 sampai 2014 organisasi tersebut mengeruk keuntungan sampai 5,7 miliar doÂlar AS.
Sementara itu pembicaraan soal beragam kebijakan juga kerap diambil tanpa perdeÂbatan atau penjelasan. Sementara sekelomÂpok kecil orang yang masuk dalam Komite Eksekutif dinilai punya wewenang yang luar biasa besar.
Alexandra Wrage, seorang konsulÂtan pemerintahan yang pernah berupaya menggulirkan perubahan di FIFA, menjuÂluki organisasi tersebut sebagai ‘Bizantium (Kekaisaran Romawi Timur)’, dan ‘tidak bisa ditembus’.
Terkait kasus tersebut, FBI dan otoritas Swiss menangkap enam pejabat teras FIFA di Zurich. Enam pejabat tinggi FIFA ditangkap di Hotel Baur Au Lac Zurich, Swiss pada Rabu (27/5/2015) dinihari waktu setempat.
Keenam orang itu digiring keluar hotel lewat pintu samping. Polisi menutup jalan keluar para pejabat itu dengan kain putih. Mereka langsung masuk ke dalam mobil kecil yang berbeda-beda.
Penangkapan berlangsung tenang. Polisi yang bertugas memasuki hotel dan meminta kunci kamar masing-masing pejabat itu keÂpada resepsionis. Barulah kemudian mereka menggerebek si pejabat.
Otoritas Swiss memaparkan nilai total USD 100 juta atau sekitar Rp 1,32 triliun, sejak 1990 hingga saat ini didapatkan dari penyeliÂdikan FBI selama tiga tahun. Nah, alasan FBI bergerak karena kejadian itu berlangsung di atas tanah Amerika.
Seperti dilansir Detik, penangkapan di Swiss bisa terjadi karena dua negara itu mempunyai perjanjian ekstradiksi. BerÂdasarkan permintaan Amerika Serikat, karena tindakan kriminal itu disepakati dan terjadi di Amerika Serikat, pembayaran diÂlakukan lewat bank-bank di AS.
(Adilla PraÂsetyo Wibowo)