SEMARANG, Today – Kabar heboh datang dari Jawa TenÂgah. Klub-klub profesional di Jateng yang sebelumnya berkompetisi di Divisi Utama terancam bangkrut akibat tiÂdak ada kompetisi resmi berÂgulir.
Apalagi setelah PSSI diÂjatuhi sanksi oleh induk sepakbola tertinggi dunia, FIFA, lantaran turut camÂpurnya Menpora terhadap sepakbola dalam negeri.

Praktis, harapan untuk kembali bergulirnya kompeÂtisi kasta kedua di Tanah Air, masih jauh dari k e Ânyataan. Jika tidak ada kompe Âtisi, tentu pendapaÂtan tim akan nol.
K l u b bisa bangkÂrut, peÂnyebabnya, karena klub yang dinaungi oleh Perseroan TerÂbatas (PT), atau telah memiliki badan huÂkum resmi, sudah tidak bisa lagi mendapatkan pemasukan dari usahÂanya dalam mengelola klub.
“Kalau tidak ada keringanan, kami akan koÂlaps. Kami tidak ada subsidi dan tidak dekat denÂgan pemangku kepentingan, yang dengan mudah bisa mendapatkan suntikan dana,†kata CEO Persip Pekalongan, Budi Setiawan.
Budi mengaku tidak bisa berbuat banyak atas kondisi persepakbolaan di Tanah Air saat ini.
Pihaknya juga sudah tiÂdak bisa lagi mengeluh, sebagai pengelola klub kecil di daerah. “ K a l a u kami mengeluh percuma, sudah capek. Kalau dipÂikir terlalu dalam, nanti malah bisa kena stroke, eman-eman (sayang-sayÂang),†ujarnya.
Dia tidak habis pikir, para elite sepak bola di atas, masih pada keras kepala, sehingga tetap pada pendirian masing-masing. Hal senada diutarakan oleh CEO PT Mahesa Jenar Semarang, peÂrusahaan penÂgelola PSIS S e m a r a n g Yoyok SuÂkawi.
MenurutÂnya, akibat sanksi yang diÂjatuhkan FIFA terhadap PSSI, membuat tim p r o f e s i o n a l kelimpungan. Dampaknya, akan dirasakan jika kompetisi ini akan berhenti hingga beberÂapa tahun.
“Kalau berhenti satu taÂhun mungkin belum begitu terasa. Tapi kalau sudah lima tahun, dampaknya cuÂkup dirasakan klub,” kata pemilik nama lengkap AlamÂsyah Satyanegara SukawiÂjaya ini
Yoyok mengatakan, setiap tahun klub yang sudah berÂbadan usaha harus membayar pajak kepada pemerintah. Nominal yang harus dibayarÂkan pun tidak kecil. Setiap peÂmain yang memiliki pendapaÂtan di atas Rp500 juta, pajak yang dikenakan sebesar 30 persen.
Selama ini pajak yang dibayarkan diambilkan dari usaha mengelola klub. “Saya masih punya utang kepada pajak Rp3 miliar. Setiap bulan harus saya cicil,” jelasnya.
Pihaknya berharap ada political will dari pemerintah agar bisa diputihkan pajaknya dan itu mestinya tidak perlu ditunda-tunda lagi. PemerÂintah selama ini yang punya kebijakan untuk memutihkan pajak.
“Apalagi kondisi persepak bolaan masih seperti ini,”kata pria yang juga menjabat Ketua Komisi E DPRD Jateng ini.
(Imam/net)