JAKARTA, TODAYÂ – Beberapa keÂpala daerah mengajukan pengunÂduran diri jelang Pilkada yang masa pendaftarannya jatuh pada 26-28 Juli 2015. Pengunduran diri itu diniÂlai sebagai cara mensiasati UU PilkaÂda, karena keluarga incumbent dilaÂrang mencalonkan diri. Kasus yang terbaru adalah Wakil WalikoÂta Sibolga, Marudut Situmorang, yang menÂgajukan pengunduran diri dari jabatannya. Pengunduran diri diajukan karena istrinya maju sebagai calon Walikota Sibolga dalam Pilwalkot mendatang.
Marudut menyatakan, surat pengunÂduran diri itu sudah disampaikan kepada WaÂlikota Sibolga, HM Syarfi Hutauruk. Dia masih menunggu tahapan lebih lanjut dari proses itu hingga keluarnya keputusan Menteri Dalam Negeri dan persetujuan Dewan PerÂwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Sibolga. Disebutkan Marudut pengunduran diri itu diajukan karena istrinya Memory Evaulina Panggabean, akan maju sebagai calon WaÂlikota Sibolga. Langkah ini juga sebagai benÂtuk dukungannya terhadap sang istri. “Saya mendukung pencalonannya sebagai walikoÂta, maka itu saya mundur,†katanya.
Setelah tidak menjadi wakil walikota, maka Marudut berencana melanjutkan karirnya sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS). Sebelum terpilih sebagai Wakil Walikota SiÂbolga yang dilantik pada 26 Agustus 2010 lalu, Marudut menjabat sebagai Kepala Dinas Kebudayaan, Pemuda dan Olahraga (BudparÂpora). “Masa dinas saya masih lama, sekitar dua puluh tahun lagi. Saya mundur karena peraturan yang mengharuskan. Saya akan kembali sebagai birokrat,†kata Marudut.
Peraturan yang dimaksud Marudut adalah UU Nomor 8/2015 tentang Pilkada. Pada Pasal 7 huruf r disebutkan, warga negara IndoneÂsia yang dapat menjadi Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota, harus memenuhi perÂsyaratan, salah satunya tidak memiliki konÂflik kepentingan dengan petahana. Pada bagian penjelasan disebutkan, yang dimakÂsud dengan “tidak memiliki konflik kepentinÂgan dengan petahana†adalah tidak memiliki hubungan darah, ikatan perkawinan dan/atau garis keturunan satu tingkat lurus ke atas, ke bawah, ke samping dengan petahana yaitu ayah, ibu, mertua, paman, bibi, kakak, adik, ipar, anak, menantu kecuali telah melewati jeda satu kali masa jabatan.
Memory Evaulina Panggabean meruÂpakan Ketua DPK Partai Keadilan Persatuan Indonesia (PKPI) Kota Sibolga dan anggota DPRD Kota Sibolga periode 2014-2019. Dia juga putri Sahat P. Panggabean, Walikota SiÂbolga dua periode 2000-2010.
Terkait kasus ini, Kepala Pusat Penerangan Kementerian Dalam Negeri Dodi RiÂyadmajdi, menjelaskan bahwa Kemendagri tidak akan menerima pengunduran diri keÂpala daerah yang punya kepentingan dengan Pilkada. “Sikap Pak Menteri terhadap hal itu tidak akan menandatangani yang mundur-mundur itu,†kata Kapuspendagri Dodi RiÂyadmadji, Minggu (21/6/2016).
Dodi menjelaskan, pengunduran diri keÂpala daerah diatur dalam UU tentang PemerÂintahan Daerah, di mana kepala daerah bisa mundur karena meninggal dunia, permintaÂan sendiri atau diberhentikan. Nah, perminÂtaan sendiri itu mempunyai penjelasan yaitu ada kepentingan politik yang lebih besar. “Di pasal 79 UU Pemda itu mengundurkan diri kalau hal-hal terkait dengan persoalan politik kepentingan yang lebih besar. Misal, kalau gubernur tiba-tiba suatu saat terpilih menjadi presiden, maka dalam UU pemda itu dibuka peluang untuk berhenti karena pejabat politik untuk kepentingan lebih besar maka dia bisa berhenti,†paparnya. “Kalau (mengundurkan diri) untuk memudahkan anak, istri, keponÂakan, maju, maka sikap Pak Mendagri tidak akan merespon terhadap pengunduran diri tersebut,†imbuh Dodi.
Lalu bagaimana jika pengunduran diri itu diterima oleh DPRD? “Pak Menteri bilangnya sampai dengan pendaftaran Pilkada tidak akan ada proses peng-SK-an berhentinya seorang kepala daerah,†jawab Dodi.
Dodi Riyadmadji mengatakan pengunÂduran diri kepala daerah diatur dalam UnÂdang-undang nomor 23 tahun 2014 tentang pemerintah daerah. Undang-undang ini telah dua kali mengalami perubahan yakni UU noÂmor 2 tahun 2015 dan UU nomor 9 tahun 2015.
Tentang pengunduran diri kepala daeÂrah diatur dalam pasal 78 dan 79 UU tentang Pememrintah Daerah. Kepala daerah bisa mundur dengan tiga alasan yakni; meninggal dunia, permintaan sendiri atau diberhentikan.
Kata ‘permintaan sendiri’ yang dimakÂsud dalam undang-undang tersebut, kata Dodi, adalah dengan alasan untuk kepentinÂgan yang lebih besar. “Misal, kalau gubernur tiba-tiba suatu saat terpilih menjadi Presiden, maka dalam UU pemerintah daerah itu dibuka peluang untuk berhenti karena pejabat politik untuk kepentingan lebih besar maka dia bisa berhenti,†kata Dodi. “Kalau (mengundurÂkan diri) untuk memudahkan anak, istri, keÂponakan, maju, maka sikap Pak Mendagri tidak akan merespon terhadap pengunduran diri tersebut,†kata Dodi.
(Yuska Apitya Aji)