ORANG Barat mengatakan nobody’s perfect, tidak ada manusia sempurna. Dengan nada yang hampir sama, di kalangan Muslim tradisional terdapat pepatah al-Insanu mahallul khatha’ wan nis’yan, manusia tempatnya salah dan khilaf.
Oleh: AGUS MUHAMMAD
Pengurus Pusat Rabithah Ma’ahid Islamiyah Nahdlatul Ulama
Dua ungkapan di atas adalah peringatan kepada kita semua agar selalu berusaha menuju kesempurÂnaan, bukan sebaliknya, menjadi pembenaran bagi kealpaan. Justru karena manusia tidak sempurna, maka harus ada upaya serius agar tidak terus terjebak dalam kekhilaÂfan. Puasa adalah sarana menuju kesempurnaan. Puasa Ramadhan adalah cara Tuhan melatih umat-Nya agar selalu ada peningkatan kualitas, baik sebagai pribadi mauÂpun sebagai makhluk sosial.
Melalui pembiasaan yang diÂlakukan secara disiplin selama seÂbulan penuh, umat Islam diharapÂkan bisa mencapai derajat paling tinggi di mata Allah SWT, yakni deÂrajat takwa. Perintah puasa adalah sarana menuju ketakwaan (QS Al Baqarah: 183). Dan, orang yang paling mulia di sisi Allah adalah orang yang paling takwa (QS Al Hujuraat:13).
Tangga Kesempurnaan
Sebagai sarana menuju kesemÂpurnaan, puasa tentu saja tidak bisa dilakukan sembarangan. SebÂagaimana kehidupan sosial, pelakÂsanaan puasa juga ada etikanya. Itulah sebabnya, Imam Ghazali dalam kitab Ihya’ Ulumaddin membagi puasa dalam tiga level. Puasanya orang awam (shaumul ‘am), puasanya orang istimewa (shaumul khash), dan puasanya orang super istimewa (shaumu khawashil khawash).
Pada level pertama, orang berpuasa hanya menahan nafsu makan, minum, dan berhubunÂgan badan. Puasa level kedua, di samping menahan nafsu peÂrut dan kelamin, juga berusaha mencegah mata, mulut, tangan, kaki, dan anggota-anggota tubuh lainnya dari perbuatan maksiat. Puasa level ketiga adalah puasa hati dari segala pikiran dan kesÂenangan duniawi yang dapat meÂmalingkan manusia dari Allah.
Dalam konteks ini, Al-Ghazali sesungguhnya tidak sedang memÂbicarakan puasa dalam kategori sosial. Sebagai guru sufi, Imam Ghazali sesungguhnya sedang membicarakan puasa sebagai tangga menuju kesempurnaan. Puasa adalah pelatihan menuju perbaikan karakter.
Secara implisit Imam Ghazali ingin memberi pesan moral agar puasa umat Islam dari tahun ke tahun semakin meningkat. Sebab, jika kualitas puasa tidak pernah beranjak dari level puasa awam, maka orang tersebut termasuk kategori khasir, merugi.
Nabi bersabda, “Barang siapa yang keadaan amalnya hari ini lebÂih jelek dari hari kemarin, maka ia terlaknat. Barang siapa yang hari ini sama dengan hari kemaÂrin, maka ia termasuk orang yang merugi. Dan barang siapa yang hari ini lebih baik dari hari kemaÂrin, maka ia termasuk orang yang beruntung.†(HR Bukhari)
Dalam hadis lain yang diriwayÂatkan Imam Ahmad dan Ibnu MaÂjah disebutkan bahwa orang yang puasa hanya pada level pertama, ia sesungguhnya tidak mendapat apa-apa kecuali lapar dan dahaga.
Ibarat latihan, puasa yang tiÂdak meningkat levelnya dari tahun ke tahun, berarti latihan selama sebulan penuh menjadi tidak ada artinya. Sebuah latihan disebut berhasil jika melahirkan peningÂkatan yang signifikan.
Etika Sosial
Puasa adalah kombinasi dari latihan disiplin fisik, disiplin moral, dan disiplin spiritual. SeÂseorang yang dilatih disiplin fisik saja tidak menjamin lahirnya disÂiplin moral, apalagi disiplin spiriÂtual. Puasa adalah kombinasi dari ketiganya.
Sebagai latihan disiplin fisik, kita dituntut untuk melakukan pembiasaan sedemikian rupa, baik dari segi waktu maupun pola makan dan minum. Agar disipÂlin fisik bisa berhasil, puasa juga mengharuskan kita melakukan pembiasaan untuk menahan seluÂruh anggota tubuh dari perbuatan tercela. Dari pembiasaan inilah diÂharapkan lahir disiplin moral.
Lebih dari itu, puasa juga mengajarkan kita untuk terlatih dengan disiplin spiritual. Berbagai jenis ibadah sangat dianjurkan dalam bulan puasa, mulai dari membaca Al Quran, shalat sunah, khususnya tarawih, i’tikaf, hingga amal ibadah yang berdimensi soÂsial, seperti infak, zakat, dan seÂdekah. Amalan-amalan ini begitu dianjurkan dengan pahala yang begitu besar.
Dalam hadis qudsi dinyatakan, “Setiap kebajikan mendapat paÂhala 10 hingga 700 kali lipat, kecuÂali puasa itu sendiri. Itu untuk-Ku dan Aku yang akan membalasÂnya.†(HR Al-Bukhoriy dan Malik)
Keberhasilan Puasa
Keberhasilan puasa akan diÂtentukan sejauh mana latihan diÂsiplin fisik, moral, dan spiritual tersebut bisa menjadi etika sosial. Inilah yang dimaksudkan hadis yang diriwayatkan Imam Ahmad dan Imam Thabrani: sebaik-baik manusia adalah yang memberi manfaat bagi orang lain.
Oleh karena itu, puasa pada dasarnya juga latihan untuk menÂgasah kepekaan dan kepedulian sosial. Pesan moral ini tidak hanya terlihat dari tidak makan dan miÂnum sebagai ekspresi empati terÂhadap kelompok sosial yang tidak mampu, tetapi juga ditunjukkan dengan kewajiban untuk menunÂaikan zakat menjelang akhir puaÂsa. Fakir dan miskin adalah kelomÂpok sosial yang menempati urutan teratas sebagai pihak yang berhak untuk menerima zakat.
Islam sangat menekankan etika sosial. Puasa melatih kita unÂtuk berempati terhadap kelompok lain, terutama kelompok yang terÂmarjinalkan, baik dari segi ekonoÂmi, sosial, budaya, agama maupun etnis. Banyak sekali ayat dalam Al Quran yang secara eksplisit mauÂpun implisit menganjurkan amal saleh.
Secara sederhana, amal saleh adalah perbuatan baik yang menÂimbulkan manfaat, kebaikan, dan kemaslahatan bagi diri sendiri dan orang lain. Amal saleh juga adalah perbuatan yang bisa mencegah dan menjauhkan diri dan orang lain dari perbuatan yang tercela, dilarang atau yang menimbulkan kesulitan, kerusakan dan kemudaÂratan.
Yang menarik adalah bahwa di dalam Al Quran, kata iman dan amal saleh disebutkan secara berirÂingan di 71 tempat. Empat di antaÂranya disebut bersamaan dengan kata tobat. Kata amanu (beriman) sendiri terulang 258 kali dalam Al Quran, dan kata `amilus shalihat (amal saleh) terulang 53 kali.
Begitu kuatnya penekanan Al Quran terhadap iman dan amal saleh ini sehingga secara implisit ingin ditegaskan bahwa iman tanpa amal saleh tidak ada artiÂnya. Toshihiko Izutsu (1983), sepÂerti dikutip Izza Rohman Nahrowi (2008), melukiskan kaitan antara iman dan amal saleh “seperti bayÂangan yang mengikuti bentuk benÂdanyaâ€.
Puasa yang dilakukan sepenuh hati tidak hanya dapat melahirkan pribadi yang matang secara moral dan spiritual, tetapi juga memiliki kepekaan dan kepedulian sosial. Integrasi disiplin fisik, disiplin moral, dan disiplin spiritual meruÂpakan prasyarat penting menuju tegaknya etika sosial. (*)