Tubuhnya kecil, rambutnya berantakan dan tatapan mukanya datar. Dia adalah I Nyoman Masriadi, seniÂman besar asal Bali yang kini menetap di Daerah Istimewa Yogyakarta.
(Yuska Apitya Aji/cnn)
DISEBUTKAN dalam tulisan pengamat seni Mike Susanto, Masriadi ialah salah satu peÂlukis Indonesia yang berbakat, karena karÂyanya pernah terjual hingga USD1 juta di Balai Lelang SotheÂby Hong Kong.
Nilai itu sungÂguh fantastis, setara Rp 13 miliar. Ditemui Masriadi Art Foundation (MAF), Yogyakarta, akhir pekan kemarin, sosok Masriadi jauh dari kesan menghalalkan uang.
Pria ini tidak banyak bicara mengenai prestasinya. Dia malah bicara mengenai tanaman, perÂmainan komputer dan tayangan flora fauna di televisi.
Masriadi lahir di Gianyar, Bali, pada 1973. Pria beristri dengan tiga orang anak ini bercerita, ia mengawali karier seninya ketika menempuh pendidikan di Institut Seni Indonesia (ISI), Yogyakarta pada 1993. Walau belum sempat lulus kuliah, Masriadi mengaku, seorang seniman perlu menemÂpuh pendidikan di sekolah seni sebelum ia terjun ke dunia seni. “Berkesenian itu tidak sekedar bakat, namun juga pergaulan, yang bisa didapat dari sekolah seni. Dengan pergaulan, kita bisa masuk ke dalam lingkaran berkesenian. Dari situ karya dan nama kita dipertaruhkan, apakah nantinya terpandang atau tidak,†kata Masriadi. “Teman-teman di lingkaran berkesenian pasti akan sangat membantu apa pun yang kita perbuat,†lanjut Masriadi.
Sambil mengisap rokoknya dan meneguk soda dingin dari kaleng minumannya, Masriadi mengenang kisahnya dulu semasa kuliah di ISI. Dari berbagai penÂgalaman konyol yang ia ceritakan, salah satu yang disesalinya hanya satu: mengapa ia tidak mendoÂkumentasikan semua karya-karya awal kariernya. “Semua karya yang saya buat sewaktu kuliah saat ini sudah entah ke mana. Beberapa ada di teman saya bahkan sudah ada yang sampai di tangan kolekÂtor. Hahaha. Ya, tidak apa-apalah, anggap saja amal,†ujar Masriadi santai sambil tertawa.
Pria yang pandai melukis namun tidak andal memasak ini memang memiliki pribadi yang nrimo. Ia bahÂkan menganggap kariernya sebagai pelukis adalah sebuah terapi psikologi untuk mengungkapkan ekspresi yang terpendam di dalam dirinya.
Orang-orang menganggap karÂya saya bernada satir dan penuh kritik. Saya memang banyak terinÂspirasi membuat karya parodi, tapi saya tidak pernah membentuknya seperti itu,†kata Masriadi.
“Saya bahkan tidak terpikir unÂtuk membuat lukisan dengan peÂnuh amanat untuk orang lain. Jika banyak orang menilai karya saya ini itu ya mau gimana lagi, anggap saja bonus,†lanjut Masriadi samÂbil menyengir.
Masriadi menambahkan, kaÂlau berkarya itu harus dari dalam hati, tidak perlu dipaksakan. “Mengkritik keadaan melalui karya boleh-boleh saja, tapi harus tahu konsekuensinya lho. Di luar sana tidak semua orang sepemikiran dengan kita,†ujar Masriadi.