pssi-logo1

SEMARANG, Today – Kabar heboh datang dari Jawa Ten­gah. Klub-klub profesional di Jateng yang sebelumnya berkompetisi di Divisi Utama terancam bangkrut akibat ti­dak ada kompetisi resmi ber­gulir.

Apalagi setelah PSSI di­jatuhi sanksi oleh induk sepakbola tertinggi dunia, FIFA, lantaran turut cam­purnya Menpora terhadap sepakbola dalam negeri.

Praktis, harapan untuk kembali bergulirnya kompe­tisi kasta kedua di Tanah Air, masih jauh dari k e ­nyataan. Jika tidak ada kompe ­tisi, tentu pendapa­tan tim akan nol.

K l u b bisa bangk­rut, pe­nyebabnya, karena klub yang dinaungi oleh Perseroan Ter­batas (PT), atau telah memiliki badan hu­kum resmi, sudah tidak bisa lagi mendapatkan pemasukan dari usah­anya dalam mengelola klub.

“Kalau tidak ada keringanan, kami akan ko­laps. Kami tidak ada subsidi dan tidak dekat den­gan pemangku kepentingan, yang dengan mudah bisa mendapatkan suntikan dana,” kata CEO Persip Pekalongan, Budi Setiawan.

BACA JUGA :  Tom Haye dan Ragnar Oratmangoen Sah jadi Pemain Timnas Indonesia

Budi mengaku tidak bisa berbuat banyak atas kondisi persepakbolaan di Tanah Air saat ini.

Pihaknya juga sudah ti­dak bisa lagi mengeluh, sebagai pengelola klub kecil di daerah. “ K a l a u kami mengeluh percuma, sudah capek. Kalau dip­ikir terlalu dalam, nanti malah bisa kena stroke, eman-eman (sayang-say­ang),” ujarnya.

Dia tidak habis pikir, para elite sepak bola di atas, masih pada keras kepala, sehingga tetap pada pendirian masing-masing. Hal senada diutarakan oleh CEO PT Mahesa Jenar Semarang, pe­rusahaan pen­gelola PSIS S e m a r a n g Yoyok Su­kawi.

Menurut­nya, akibat sanksi yang di­jatuhkan FIFA terhadap PSSI, membuat tim p r o f e s i o n a l kelimpungan. Dampaknya, akan dirasakan jika kompetisi ini akan berhenti hingga beber­apa tahun.

“Kalau berhenti satu ta­hun mungkin belum begitu terasa. Tapi kalau sudah lima tahun, dampaknya cu­kup dirasakan klub,” kata pemilik nama lengkap Alam­syah Satyanegara Sukawi­jaya ini

BACA JUGA :  Erspo Rilis Jersey Baru Timnas Indonesia

Yoyok mengatakan, setiap tahun klub yang sudah ber­badan usaha harus membayar pajak kepada pemerintah. Nominal yang harus dibayar­kan pun tidak kecil. Setiap pe­main yang memiliki pendapa­tan di atas Rp500 juta, pajak yang dikenakan sebesar 30 persen.

Selama ini pajak yang dibayarkan diambilkan dari usaha mengelola klub. “Saya masih punya utang kepada pajak Rp3 miliar. Setiap bulan harus saya cicil,” jelasnya.

Pihaknya berharap ada political will dari pemerintah agar bisa diputihkan pajaknya dan itu mestinya tidak perlu ditunda-tunda lagi. Pemer­intah selama ini yang punya kebijakan untuk memutihkan pajak.

“Apalagi kondisi persepak bolaan masih seperti ini,”kata pria yang juga menjabat Ketua Komisi E DPRD Jateng ini.

(Imam/net)

============================================================
============================================================
============================================================